maaf email atau password anda salah


Menakar Kebijakan Penanganan Stunting Para Capres

Isu stunting jadi perhatian khusus para capres-cawapres peserta Pemilu 2024. Sudah tepatkah program-program mereka untuk mengatasi persoalan ini?

arsip tempo : 171468243957.

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko. tempo : 171468243957.

Fajri Azhari

Staf Peneliti Ideas (Institute for Demographic and Poverty Studies)

Debat pamungkas calon presiden peserta Pemilihan Umum 2024 pada Ahad lalu sedikit memperlihatkan bagaimana rencana para calon pemimpin negeri ini mengatasi persoalan stunting pada anak. Isu ini, dalam dokumen visi dan misi para pasangan capres-cawapres, juga telah mendapat perhatian khusus. Tapi apakah rencana-rencana mereka itu relevan dan tepat dalam mengatasi masalah stunting?

Pada dasarnya, segala bentuk malnutrisi yang terjadi pada setiap anak dapat dicegah. Untuk mencegah hal itu, dibutuhkan akses makanan bergizi yang berkelanjutan, layanan kesehatan yang mudah dijangkau, pola asuh orang tua yang benar, dan lingkungan tempat tinggal yang higienis dengan sanitasi layak. Namun saat ini akses masyarakat miskin untuk mendapatkan berbagai kebutuhan di atas masih jauh dari kondisi ideal. Kondisi itu diperburuk oleh adanya ancaman krisis pangan dan nutrisi global yang dipengaruhi oleh kemiskinan, konflik geopolitik, perubahan iklim, serta dampak pemulihan ekonomi pascapandemi yang pertumbuhannya tak merata.

Salah satu ancaman serius dari kondisi malnutrisi adalah stunting atau gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak usia di bawah 5 tahun akibat kekurangan gizi kronis. Akibatnya, anak-anak yang terkena stunting menderita kerusakan kognitif dan fisik yang tidak dapat diperbaiki, bahkan juga berdampak pada generasi berikutnya. Pemahaman isu ini secara komprehensif hingga ke akarnya perlu dimiliki para peserta Pemilu 2024. Stunting merupakan masalah krusial dan harus menjadi perhatian serius bagi calon pemimpin negeri ini. 

Fokus ke Tingkat Keberhasilan Program

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, dalam satu dekade terakhir, sebetulnya terjadi tren penurunan prevalensi stunting di Indonesia menjadi 21,6 persen pada 2022 dari 37,6 persen pada 2013. Tidak hanya di Indonesia, penurunan ini juga terjadi secara global. Sayangnya, Indonesia masih termasuk kategori negara dengan status stunting yang tinggi menurut klasifikasi Organisasi Kesehatan Dunia. Artinya, perlu ada upaya yang berfokus pada tingkat keberhasilan program yang lebih besar, yaitu kegiatan pencegahan sebelum menuju stunting.

Laporan terbaru hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 menunjukkan, setelah dilakukan intervensi spesifik pada bayi usia di bawah 5 tahun (balita) yang memiliki masalah gizi, efektivitas tertinggi program penanganan ini berupa pemberian makanan tambahan dari sumber protein hewani selama 90 hari. Dalam kasus anak balita gizi kurang, efektivitas intervensi ini mencapai 62,1 persen. Sementara itu, upaya intervensi pemberian pangan keperluan medis khusus selama dua bulan di rumah sakit kepada anak balita yang sudah stunting, tingkat keberhasilannya hanya 21,7 persen. Data ini menunjukkan hanya satu dari lima anak stunting yang bisa diselamatkan status gizinya.

Adapun dalam hal intervensi sensitif, pemerintah seharusnya berpedoman pada angka morbiditas penduduk, seperti penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), diare, dan campak, yang masih ditemukan pada anak usia di bawah 2 tahun. Menurut laporan Badan Pusat Statistik, saat ini terdapat peningkatan angka kasus secara nasional untuk anak usia 0-4 tahun yang memiliki keluhan kesehatan, dari 34,9 persen pada 2021 menjadi 37,4 persen pada 2023. Peningkatan terbanyak terutama terjadi di wilayah perdesaan. Hal ini diperparah oleh rendahnya akses masyarakat ke jaminan kesehatan bagi anak usia 0-4 tahun, yakni hanya sebesar 52,8 persen. Kondisi ini paling banyak terjadi di keluarga dengan status ekonomi paling rendah.

Relevansi Arah Kebijakan Stunting

Para capres-cawapres dalam Pemilu 2024 memang sudah terlihat menaruh perhatian pada isu stunting. Hal ini setidaknya terlihat dalam dokumen visi-misi masing-masing kandidat. Namun, pada kenyataannya, tidak semua capres-cawapres dapat memahami masalah ini secara mendasar. Program pemberian makan siang dan susu gratis harian di sekolah dan pesantren yang diusung kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, misalnya, tak tepat jika diarahkan untuk menangani stunting. Seharusnya yang menjadi sasaran program semacam ini adalah para anak balita. Dengan target penerima manfaat lebih dari 80 juta orang, program ini tidak lebih dari sekadar janji populis. Program ini juga justru berpotensi menimbulkan masalah kesehatan lain, seperti malabsorpsi laktosa yang dalam jangka panjang berdampak pada nyeri perut, mual, dan diare pada anak usia 3 hingga 12 tahun.

Sementara itu, target penurunan prevalensi stunting di bawah 9 persen yang ditawarkan oleh kubu Ganjar Pranowo-Mahfud Md. juga tidak realistis dan kurang memiliki dasar yang kuat. Faktanya, angka stunting di Indonesia pada 2022 masih di atas 20 persen, kasus berat badan lahir rendah meningkat, pemberian ASI eksklusif enam bulan menurun, dan pemberian susu formula kepada anak usia 0-11 bulan melonjak (Kemenkes, 2022). Ditambah pada 2023, menurut data BPS, tingkat konsumsi lima dari delapan kelompok makanan pada anak usia 6-23 bulan juga masih rendah. Jadi tantangan untuk menurunkan angka tersebut sangatlah besar. Ganjar-Mahfud perlu melihat seluruh faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan program.

Target penurunan prevalensi stunting yang ditetapkan kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menjadi sebesar 11-12,5 persen juga terkesan sekadar melanjutkan program penurunan angka stunting yang sudah ada. Misalnya kolaborasi lintas sektor serta penguatan dukungan bagi kader desa atau kelurahan untuk menjamin ketersediaan pangan seimbang, pencegahan infeksi, dan perbaikan lingkungan. Dengan kata lain, pasangan ini kurang memperlihatkan inovasi kebijakan yang lebih strategis.

Penanggulangan stunting dalam 10 tahun terakhir memperlihatkan hasil yang belum maksimal. Pemerintah harus melakukan upaya lebih intensif untuk menyelamatkan generasi Indonesia dari ancaman stunting melalui kebijakan pangan terjangkau dan bergizi seimbang. Selain itu, salah satu faktor yang menghambat penurunan angka stunting dan jarang diperhatikan adalah tingginya perilaku konsumsi rokok yang selalu menempati posisi pengeluaran terbesar, terutama bagi masyarakat miskin. Porsi pengeluaran untuk rokok ini jauh di atas belanja daging, ikan, telur, dan susu yang kaya protein hewani. 

Apabila iklim kondusif bagi kebiasaan merokok di Indonesia dapat dihentikan, secara bersamaan risiko infeksi pernapasan pada anak-anak dapat menyelamatkan potensi ekonomi keluarga untuk kebutuhan konsumsi pangan. Dengan demikian, ke depannya program pencegahan stunting dapat lebih efektif dan mampu direalisasi tanpa harus memberikan tekanan fiskal pada anggaran negara.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 2 Mei 2024

  • 1 Mei 2024

  • 30 April 2024

  • 29 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan