maaf email atau password anda salah


Kebangkitan Kembali Gagasan 'The Lesser Evil’

Keterbatasan pilihan dalam pemilu membangkitkan dilema moral yang berujung pada kembalinya prinsip 'the lesser evil'. Mengapa gagasan ini tak lagi relevan digunakan?

arsip tempo : 171461911435.

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko. tempo : 171461911435.

Rendy Pahrun Wadipalapa

Peneliti politik dan PhD dari School of Politics and International Studies, University of Leeds, Inggris

Pemilu kerap menghadirkan kecemasan dalam menimbang keputusan di bilik suara. Indonesia, dan beberapa negara demokrasi besar di dunia, menderita pengalaman serupa dalam momen pemilu. Kecemasan meruap dan coba diselesaikan dengan sebuah prinsip keputusan etis bernama "the lesser evil"—mantra tua yang pada dasarnya hendak menyelesaikan dilema moral dengan cara memilih kandidat dengan risiko kejahatan terkecil. 

Laporan jajak pendapat terbaru dari Harvard Youth Poll yang dirilis The Economist edisi 20 Desember 2023 menunjukkan jejak sentimen prinsip ini di Amerika Serikat. Dalam rilis itu, sebagian besar responden, yang didominasi oleh pemilih berusia muda, memutuskan untuk memilih Joe Biden semata-mata karena mereka membenci Donald Trump. 

Di Prancis, perkembangan politik justru jauh lebih radikal: para pemilih mengekspresikan rasa muak atas prinsip the lesser evil, mengkritik miskinnya perang gagasan antar-kandidat presiden dan tak mau lagi dipaksa oleh moralitas memilih kandidat dengan risiko kejahatan yang lebih kecil ketimbang kandidat lainnya. Seperempat pemilik suara menolak hadir pada hari pemungutan suara—sebuah aksi dramatik pembangkangan pemilu terbesar sejak 2002 (Dodman 2022).

Hasil polling Harvard Youth Poll memperlihatkan relevansi prinsip the lesser evil, sedangkan ilustrasi di Prancis menunjukkan tren berkebalikan. Dua "hasil" yang berbeda ini, betapa pun kontrasnya, lahir dan dipersatukan oleh kecemasan atas antagonisme politik serta sempitnya pilihan. Karakter dan rekam jejak para calon pemimpin sama buruk dan cacatnya. Hal inilah yang membuat orang pada akhirnya dikepung oleh keharusan etis dalam memilih di bilik suara. 

Kecemasan atas hal ini pun menimpa kita yang sedang dihadapkan pada dilema yang sama dalam Pemilu 2024. Bagaimanakah publik bersikap di antara pilihan yang sama tak sempurna? Masihkah prinsip the lesser evil memandu kita?

Keberpihakan Negatif

Alan Abramowitz dan Steven Webster (2018) menggunakan istilah "keberpihakan negatif" (negative partisanship) dalam menjelaskan keputusan pemilih yang semakin didorong oleh ketidaksukaan terhadap lawan ketimbang antusiasme nyata terhadap kandidat yang dipilih. Berkaca pada kasus politik Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat, partisipasi negatif berkontribusi terhadap peningkatan polarisasi serta merusak potensi untuk dialog yang konstruktif.

Penggunaan prinsip the lesser evil juga merupakan keberpihakan negatif yang merefleksikan sejenis frustrasi politik lantaran pilihan yang sangat terbatas. Era baru intensifikasi pemanfaatan media sosial telah berhasil dengan mudah membuka tabir serta rekam jejak dari tiga calon presiden dan wakil presiden kita. Lebih dari itu, elemen sensitif lain dari jejaring bisnis, pernyataan-pernyataan pada masa lalu, hingga kesaksian-kesaksian dapat diarsipkan dengan mudah. Semuanya mengarah pada satu fakta: tiada calon yang sungguh bersih dari catatan miring. 

Dalam situasi ini, kita kembali masuk pada masa sensasi kegawatan tiba-tiba hadir. Orang dipaksa bersikap lekas menjatuhkan pilihan pada satu pasang nama. Bagi satu kubu, kegawatan muncul karena ada kandidat lain yang dituding hendak memutus keberlanjutan pembangunan dan menarik mundur ritme kemajuan. Sementara itu, bagi kubu lain, sensasi kedaruratan mengemuka lantaran kandidat lain dianggap memiliki dosa sejarah masa lalu yang belum dituntaskan. Setiap versi memiliki klaim kegawatannya sendiri-sendiri. Keberpihakan menjadi sangat negatif karena didorong oleh kebencian atas rival politik.

Dari sini kemudian narasi the lesser evil menemukan relevansinya. Tiap kandidat dapat menuding yang lain sebagai iblis yang "lebih berisiko" ketimbang dirinya. Psikologi politik ini menuai langsung implikasi moral yang rumit: adakah ukuran obyektif yang dapat secara pasti menentukan level dan derajat "ke-iblis-an" masing-masing kandidat? Kemudian, apa yang dapat menggaransi bahwa setiap kandidat, yang sama-sama menanggung persoalan masa lalu dan kecacatan rekam jejak, pada akhirnya tidak berkoalisi satu sama lain sehingga tak mengkhianati pemilih mereka? 

Ilmuwan politik telah mencoba dengan keras menjawab pertanyaan pertama dengan kesimpulan yang murung bahwa apa pun pendekatan dan ukuran yang dipakai selalu ada ruang subyektivitas yang sangat tinggi yang menghalangi sebuah kesimpulan bulat serta obyektif. Ada hal-hal lain non-politik yang sering menentukan orang dalam memilih. Misalnya pada aspek "karisma persona", keturunan dan genealogi, atau karakter fisik tertentu yang menjadikannya penting di atas kompetensi politik.

Kecemasan yang sama juga muncul terhadap pertanyaan kedua. Tatkala narasi the lesser evil mengemuka dengan ragam sensasi manipulatifnya, para pemilih memersepsi pilihannya sebagai yang terbaik. Suara mereka adalah sumbangsih untuk menyelamatkan bangsa ini dari ancaman kandidat lain yang dipersepsi sebagai bahaya. Namun bayangan ini buyar ketika kita melihat, tidak hanya di Indonesia, para elite yang semula berbeda jalan secara tajam tiba-tiba dipersatukan oleh kepentingan politik pembagian jabatan kekuasaan. 

Dengan kata lain, mempertahankan prinsip the lesser evil secara praktis tidak ada gunanya lagi. Frustrasi politik semacam ini bukan hanya secara kurang ajar mendudukkan para pemilik suara dalam posisi subordinat yang lemah, tapi juga karena ujung dari pertentangan antar-kandidat tak dapat ditebak. Ada kemungkinan bergabungnya setiap kekuatan menjadi satu dengan trade off pembagian kekuasaan adalah salah satu kemungkinan terkuat yang dapat terwujud ke depan. 

Peluang paling realistis adalah melakukan uji publik terus-menerus tanpa henti sampai pada satu titik segala sudut gagasan, kontroversi, dan visi ke depan diklarifikasi serta dibenturkan. Publik harus dibebaskan dari rasa khawatir bahwa suaranya dapat terbuang percuma. Sebaliknya, negara semestinya memfasilitasi ruang kritis seluas-luasnya bagi masyarakat dalam menyelami isi kepala kandidat, aktivitas-aktivitasnya di masa lalu, dan proyeksi rencananya di masa depan. Dengan cara ini, kita akan dapat menyaksikan mana kandidat yang paling ideal dan pantas dipilih.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 2 Mei 2024

  • 1 Mei 2024

  • 30 April 2024

  • 29 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan