maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Google

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin


Perlindungan Sosial bagi Anak Korban Kekerasan

Perlindungan sosial bagi anak korban kekerasan dapat dilakukan dengan mengintegrasikan layanan Kementerian Sosial dan PPPA.

arsip tempo : 171324472874.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 171324472874.

Angelina Theodora
Direktur Nasional Wahana Visi Indonesia

Kondisi kekerasan pada anak masih mengkhawatirkan dan upaya pemulihan terhadap mereka masih jauh dari harapan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat sebanyak 30 persen anak laki-laki serta 40 persen anak perempuan berusia 13-17 tahun mengalami setidaknya satu kekerasan dalam hidupnya pada 2022. Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) merekam total 8.447 laporan anak yang menjadi korban kekerasan pada tahun tersebut. Adapun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebutkan terjadi 91 persen kenaikan permohonan perlindungan khusus untuk kasus kekerasan seksual pada anak. Selain itu, studi Wahana Visi Indonesia (WVI) pada 2017 menemukan 92,2 persen orang tua atau pengasuh menggunakan hukuman fisik dan kekerasan terhadap anak sebagai mekanisme pendisiplinan. Artinya, baik di luar maupun di dalam rumah, anak sama-sama rentan menjadi korban kekerasan.

Kekerasan terhadap anak dapat berdampak jangka panjang. Itulah alasan pentingnya anak korban kekerasan mendapatkan layanan perlindungan bagi anak dan perlindungan sosial agar mereka dapat mengakses pemulihan. Negara wajib memenuhi hak anak untuk dipulihkan, termasuk memberikan jaminan perlindungan sosial. Sayangnya, anak korban kekerasan belum menjadi indikator penerima perlindungan sosial.

Kementerian PPPA dan WVI melakukan riset kolaboratif tentang integrasi layanan perlindungan bagi anak serta perlindungan sosial di DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Salah satu temuan kami adalah bahwa anak korban kekerasan yang tidak mendapatkan perlindungan sosial rentan putus sekolah, menjadi pekerja anak, menjalani kawin anak, dieksploitasi seksual, dan mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki.

Layanan perlindungan sosial bagi anak korban kekerasan penting untuk mengurangi kerentanan anak mengalami kekerasan berulang (reviktimisasi). Integrasi layanan perlindungan bagi anak dan perlindungan sosial harus dilakukan. Integrasi ini akan memberikan dukungan atau layanan yang utuh dan membantu proses reintegrasi sosial korban.

Layanan perlindungan sosial dan perlindungan bagi anak yang saat ini telah dimiliki pemerintah adalah Sapa 129 pada Kementerian PPPA berupa pengaduan, penjangkauan, serta pengelolaan kasus. Kementerian Sosial memiliki layanan dukungan pemenuhan kebutuhan hidup layak; perawatan sosial; dukungan keluarga; terapi fisik, psikis, dan spiritual; pelatihan vokasional; bantuan sosial; serta dukungan aksesibilitas.

Untuk perlindungan sosial, Kementerian PPPA memberikan bantuan khusus Covid-19 untuk anak. Adapun Kementerian Sosial memberikan bantuan makanan pokok bergizi, Kartu Indonesia Sehat, jaminan persalinan, Kartu Indonesia Pintar, pemberdayaan ekonomi keluarga, dan Program Keluarga Harapan.

Sayangnya, layanan-layanan ini belum terintegrasi satu sama lain, meskipun telah ada landasan hukum yang menyebutkan soal mandat integrasi layanan perlindungan bagi anak dan perlindungan sosial. Prosedur operasi standar (SOP) teknis yang mengatur layanan perlindungan sosial bagi korban juga belum ada. Selama ini, anak korban yang berasal dari keluarga miskin mendapat perlindungan sosial karena kondisi kemiskinan keluarganya, bukan karena statusnya sebagai korban.

Perlu kita ingat bahwa tidak semua korban merupakan orang miskin. Jika perlindungan sosial diberikan hanya kepada anak yang berasal dari keluarga miskin, bagaimana dengan korban yang berasal dari keluarga mampu? Bagaimanapun, keduanya sama-sama korban dan membutuhkan pemulihan.

Setiap anak korban berhak mendapatkan akses atas pelayanan dasar yang inklusif dan berpartisipasi dalam upaya pemberantasan kemiskinan. Akses dasar ke pendidikan, kesehatan, air bersih, sanitasi, pangan, dan gizi akan mendorong peningkatan modal manusia (human capital). Dalam upaya memberikan pelayanan dasar ini, bukan hanya pemerintah, tapi juga semua lapisan masyarakat harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi di dalamnya.

Jika korban tidak dipulihkan, dampaknya bagi mereka bisa berlangsung lama dan terakumulasi sehingga berakibat pada kemiskinan anak. Untuk mencegah terjadinya kemiskinan multidimensi ini, korban harus dipulihkan. Integrasi antara perlindungan bagi anak dan perlindungan sosial mutlak diperlukan.

Hal ini memang akan menjadi pekerjaan banyak pihak serta membutuhkan keseriusan dan komitmen bersama. Saat ini masing-masing lembaga memiliki indikator tersendiri untuk perlindungan sosial dan perlindungan bagi anak tidak masuk di dalamnya. Standar formulir dan laporan serta penguatan kapasitas sumber daya manusia di setiap lembaga juga perlu dilakukan.

Program Atensi dari Kementerian Sosial, yang direncanakan menjadi satu pintu untuk seluruh layanan penyandang masalah kesejahteraan sosial, hingga kini belum terlaksana. Sejauh ini baru ada 41 sentra serta sembari berjalan akan terus dipersiapkan seluruh infrastruktur agar dapat terintegrasi antara perlindungan bagi anak dan perlindungan sosial ini.

Pemerintah, yang telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak PBB (UNCRC), memegang mandat untuk memberikan perlindungan bagi anak. Bila dalam tataran pencegahannya masih terus berbenah, di tataran layanan pemulihan korban, pemerintah harus memberikannya. Perjalanan masih panjang dan berat. Tapi, jika ingin Indonesia ditopang oleh generasi mendatang yang sehat jasmani dan rohani, kolaborasi serta komitmen berbagai pihak mutlak diperlukan.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 16 April 2024

  • 15 April 2024

  • 14 April 2024

  • 13 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan