Frans Maniagasi
Anggota Tim Asistensi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua 2001
Pada 11 Januari 2021 saat pembukaan masa sidang Dewan Perwakilan Rakyat tahun ini, pemerintah secara resmi menyerahkan surat Presiden Joko Widodo beserta lampiran rancangan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Ada beberapa hal yang patut menjadi sorotan yang layak diketahui oleh masyarakat, terutama rakyat Papua, yang menjadi subyek dan obyek dari pemberlakuan revisi undang-undang baru nanti.
Saya punya kekhawatiran bahwa revisi tersebut akan meniadakan substansi dari otonomi khusus Papua. Kebijakan itu, sadar atau tidak, telah dipreteli secara parsial menurut selera yang melakukan revisi tanpa berkonsultasi dengan masyarakat Papua serta persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
Substansi dari undang-undang ini tak dapat disamakan dengan undang-undang teknis atau sektoral atau bahkan dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Otonomi khusus Papua memiliki nilai dan substansi sebagai undang-undang politik yang bertujuan menyelesaikan salah satu masalah bangsa yang belum pernah dituntaskan sejak Indonesia merdeka hingga kini, yakni soal Papua.
Undang-undang ini merupakan landasan bagi rekonsiliasi lewat pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi antara negara dan masyarakat Papua akibat konflik yang terjadi sejak wilayah ini menyatu dengan Republik Indonesia. Ia sekaligus sebagai dasar untuk menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia berat yang dilakukan oleh aparat keamanan atas nama negara. Tiga kata kuncinya adalah proteksi, afirmasi, dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua dan hak-haknya.
Berkaitan dengan rancangan revisi yang telah diajukan pemerintah kepada DPR, amendemen dilakukan terhadap dua pasal, yakni Pasal 34 tentang keuangan dan Pasal 76 mengenai pemekaran wilayah.
Keuangan dan Dana Otonomi Khusus
Pasal 34 mengatur mengenai keuangan dan kebijakan fiskal antara pemerintah pusat dan Papua. Dana otonomi khusus berubah, dari 2 persen menjadi 2,25 persen dari dana alokasi umum nasional. Hal ini perlu pembicaraan dan diskusi yang intens dan lebih detail, tak hanya menyangkut dana otonomi khusus, tapi juga penerimaan pendapatan dari sumber daya alam Papua dan Papua Barat.
Perubahan tersebut merupakan perwujudan dari komitmen pemerintah untuk memajukan dan meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua. Namun makna substantif dari dana otonomi khusus adalah sebagai stimulus bagi pemerintah daerah Papua untuk menggali sumber-sumber pendapatan lain dari sumber daya alamnya untuk membiayai kegiatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakatnya. Ini perlu agar terjadi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, sehingga tercapai kesetaraan antara orang asli Papua dan masyarakat daerah lain.
Perubahan persentase ini juga disertai dua catatan. Pertama, dana otonomi khusus tidak lagi dicairkan seperti 20 tahun yang lalu, melainkan mengikuti program. Program-program prioritas itu seperti pendidikan, kesehatan dan ekonomi rakyat, sehingga memenuhi unsur afirmasi bagi masyarakat asli sesuai dengan tujuan otonomi khusus. Dengan demikian, pusat pun ikut mengawasi pelaksanaan dana tersebut, apakah telah sesuai dengan pemanfaatannya dan tepat sasaran. Para pemangku kepentingan, seperti MRP, yang memiliki tugas mengawasi penggunaan otonomi khusus, juga berperan di sini.
Kedua, determinasi waktu yang hanya 10 tahun dalam pemberian dana otonomi khusus mencerminkan bahwa pemerintah daerah di Papua harus mulai memikirkan dan melakukan tugas dan fungsinya untuk mengupayakan alternatif sumber-sumber pendapatan lain. Ini agar nanti mereka tidak bergantung lagi pada subsidi dari pusat. Pengalaman saya selama menjadi Staf Ahli Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (2015-2019) menunjukkan bahwa hampir 90 persen pendapatan Papua dan Papua Barat tergantung dari dana transfer pemerintah pusat, sedangkan pendapatan asli daerah berkisar 5 persen. Hal ini tentunya berimplikasi kurang baik dalam menata pemerintahan di Papua maupun dalam relasi pemerintahan antara pusat dan Papua.
Pemekaran Wilayah
Hal lain yang akan direvisi adalah Pasal 76 mengenai pemekaran wilayah. Pasal ini sebelum menggariskan bahwa pemekaran Provinsi Papua dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, serta kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa mendatang.
Pasal itu akan berubah dalam dua hal. Pertama, pemekaran itu kini dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan kesatuan sosial-budaya. Kedua, pemerintah dapat melakukan pemekaran untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat. Perubahan untuk hal kedua ini tidak melalui tahapan daerah persiapan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai pemerintahan daerah.
Perubahan pada bagian kedua ini jelas mencerminkan bahwa pemerintah dapat secara sewenang-wenang melakukan pemekaran daerah di Papua tanpa melalui prosedur dan mekanisme yang diatur dalam undang-undang. Cara seperti ini dilatarbelakangi oleh kecurigaan yang berlebihan dalam mengantisipasi dan mengeliminasi aspirasi dan tuntutan Papua merdeka. Padahal, pengalaman menunjukkan bahwa Provinsi Papua Barat sebagai hasil pemekaran pun tidak meminimalkan aspirasi dan tuntutan Papua merdeka.
Pemekaran adalah soal teknis administrasi dan manajemen pemerintahan. Adapun aspirasi dan tuntutan Papua merdeka adalah masalah ideologi politik, yang solusinya bukan melalui pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi.
Kesalahan pusat ini selalu diulang, tapi diberi legitimasi politik dan hukum seperti merevisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua ini. Cara dan mekanisme pusat seperti itu merefleksikan bahwa pemerintah, dalam mengelola Papua, masih menggunakan paradigma lama yang sudah kedaluwarsa seperti pemadam kebakaran. Padahal tujuan dari dibentuknya Undang-Undang Otonomi Khusus Papua amat transparan, yakni hendak menyelesaikan soal Papua secara komprehensif dan menyeluruh dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kalau tujuan dari revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua ini adalah mencari jalan pintas untuk memberikan legitimasi sepihak kepada pemerintah pusat untuk mengatur dan mengelola Papua seperti itu, maka sampai kapan pun masalah Papua tak akan pernah tuntas. Tidak tertutup kemungkinan pula bahwa dengan kebijakan semacam inilah Jakarta mendorong Papua keluar dari Republik Indonesia.