Simpang-siur kabar penunjukan calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) pengganti Jenderal Idham Azis, yang pensiun pada 1 Februari nanti, tak perlu terjadi kalau prosesnya berlangsung patut dan transparan. Tidak terangnya sikap Presiden Joko Widodo soal kriteria Kapolri baru yang dia inginkan memberi ruang bagi para kandidat untuk bermanuver dengan berbagai cara.
Aturan yang menyebutkan pengangkatan Kapolri baru sepenuhnya hak prerogatif Presiden menutup rapat-rapat proses pemilihan orang nomor satu di institusi kepolisian itu. Komisi Kepolisian Nasional (Komplonas), yang semestinya menjadi kepanjangan tangan Presiden dalam mengawasi institusi kepolisian, selama ini hanya seperti “tukang pos” yang menyerahkan surat berisi daftar nama perwira tinggi ke Istana. Kompolnas tidak menjadi panitia seleksi yang dengan percaya diri merekomendasikan calon Kapolri terbaik kepada Presiden.
Akan sangat baik bila Kompolnas menyeleksi para perwira tinggi polisi secara terbuka, dengan menguji visi dan misi mereka dalam mengelola organisasi. Dengan proses seleksi yang transparan, mereka yang punya ambisi menjadi Kapolri tidak perlu memakai trik-trik “norak” untuk mencari perhatian publik dan Presiden. Publik juga tak perlu bingung menebak-nebak siapa yang akan dipilih Presiden. Toh, siapa pun yang lolos seleksi di Kompolnas seharusnya merupakan perwira terbaik di kepolisian.
Pemilihan calon Kapolri yang terbuka penting karena Korps Bhayangkara sejatinya tidak dalam kondisi baik-baik saja. Sebagai lembaga yang “dimerdekakan” oleh gerakan reformasi dari bayang-bayang Tentara Nasional Indonesia, Polri sejauh ini belum berhasil mereformasi dirinya agar menjadi pelayan, pengayom, dan pelindung masyarakat.
Berpisah dari TNI dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, Polri juga belum sepenuhnya menjadi lembaga independen. Lembaga ini justru kerap menjadi instrumen penguasa untuk mengintimidasi kelompok yang memilih menjadi oposisi.
Alih-alih tumbuh sebagai institusi yang profesional, Polri kerap terbebani oleh intrik-intrik politik internal. Untuk memenangi pertarungan politik internal, bukan rahasia lagi, tak sedikit perwira tinggi polisi yang mencari-cari dukungan politik di luar lembaganya, seperti ke Dewan Perwakilan Rakyat atau partai politik.
Akibatnya, faksionalisme di tubuh kepolisian semakin mengakar kuat. Siapa pun yang menjadi Kapolri, akibat perkubuan ini, sudah hampir pasti akan terperangkap dalam persoalan laten: memilih orang untuk jabatan strategis di kepolisian atas faktor kedekatan atau perkubuan—dengan mengabaikan prinsip orang yang tepat di tempat yang tepat.
Dalam penegakan hukum, perilaku anggota Polri juga belum lepas dari kultur kekerasan, seperti ketika lembaga ini belum disapih dari militer. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, anggota kepolisian diduga terlibat dalam 921 kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sepanjang Juli 2019 sampai Juni 2020. Korbannya, 1.627 orang luka-luka dan 304 orang tewas. Yang terbaru, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyimpulkan anggota kepolisian diduga terlibat pembunuhan di luar hukum terhadap empat anggota Front Pembela Islam.
Dengan proses seleksi tertutup seperti saat ini, sulit berharap akan terpilih Kapolri baru yang memiliki visi dan misi untuk membenahi korpsnya secara drastis. Dari nama-nama jenderal polisi yang diusulkan Kompolnas ke Presiden, tak ada yang menunjukkan keinginan kuat mereformasi institusi kepolisian. Tak berbeda dengan seniornya, mereka telah menjadi bagian dari sistem yang membuat reformasi di tubuh Polri jalan di tempat.*