Jojo
Kandidat doktor ekonomi pertanian IPB
Sengkarut industri perunggasan yang tak kunjung usai membuat resah para pelaku usaha ternak unggas. Bongkar-pasang kebijakan belum memberikan hasil yang memuaskan. Di samping gejolak harga yang tak menentu, peternak ayam broiler cemas akan bayang-bayang impor daging ayam, yang lebih menjanjikan secara kualitas dan kuantitas, yang dikhawatirkan akan memukul harga pasar ayam dalam negeri.
Setidaknya ada 15 negara importir unggas yang antre masuk pasar Indonesia. Dimotori Brasil, mereka siap membanjiri pasar Tanah Air pada Februari 2021 mendatang. Impor tersebut merupakan imbas dari kekalahan Indonesia oleh Brasil di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2017. Saat itu, Brasil menggugat Indonesia karena melarang produknya masuk karena tak sesuai dengan aturan main perdagangan bebas.
Hal tersebut membuat peternak lokal waswas. Tanpa produk impor pun, beberapa tahun belakangan ini mereka merugi terus. Kelebihan pasokan menjadi alasan utama anjloknya harga ayam. Sebagai contoh, menurut info Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar), harga ayam hidup di tingkat peternak Jawa pada Oktober 2018 menyentuh Rp 19 ribu per kilogram. Namun, pada Februari 2019, angka itu turun menjadi Rp 17 ribu per kilogram dan pada Maret 2019 sebesar Rp 14-15 ribu per kilogram. Sementara itu, harga pokok produksi (HPP) masih Rp 19 ribu per kilogram, sehingga banyak peternak merugi.
Bila disandingkan dengan data Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kementerian Perdagangan, penurunan harga terus terjadi pada tahun ini. Selama Oktober-Desember 2019, harga unggas naik mendekati HPP. Tapi, pada Maret 2020, harganya turun ke Rp 15.333 per kilogram dan terus turun menjadi Rp 10.855 per kilogram pada September lalu. Pada Mei-Juni lalu harganya membaik, tapi masih di bawah harga ketetapan pemerintah sebesar Rp 19-21 ribu per kilogram.
Produksi daging ayam broiler kita juga surplus. Badan Pusat Statistik menyebutkan, pada 2017 terdapat 3,17 juta ton daging, naik ke 3,4 juta ton pada 2018, dan menyentuh 3,49 juta ton pada 2019. Adapun Kementerian Pertanian mencatat, pada 2018 produksi daging ayam sebesar 116,9 persen dari kebutuhan nasional yang mencapai 3 juta ton. Produksi naik lagi hingga 121,17 persen pada 2019 dari total kebutuhan sebesar 3,25 juta ton.
Di lain pihak, unggas ekspor Brasil merupakan produk berlebih. Harganya juga sangat murah karena poduksinya lebih efisien dan disubsidi negara. Menurut catatan BPPP, disparitas harga daging ayam domestik dengan internasional pada 2019 sebesar Rp 44.045 per kilogram dan Rp 25.932 per kilogram. Adapun pada Agustus 2020, jumlahnya Rp 31.257 per kilogram dan Rp 22.087 per kilogram. BPPP juga mencatat perbandingan harga di konsumen dan peternak domestik pada September 2019 sebesar Rp 30.799 per kilogram dan Rp 13.320 per kilogram. Data tersebut meyakinkan kita bahwa daya saing perunggasan kita masih jauh tertinggal.
Keberhasilan industri perunggasan sangat tergantung bagaimana kecepatan dan kesungguhan semua pemangku kepentingan untuk meningkatkan daya saing. Model baru industri perunggasan bercirikan konsumen yang mulai lebih peduli terhadap aspek keamanan pangan, kesehatan, dan ancaman penyakit hewan. Industri harus mampu menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen ini dan memprioritaskan penciptaan produk baru yang memiliki nilai tambah.
Strategi meningkatkan daya saing bisa dilakukan dengan sejumlah cara. Pertama, penggunaan label mid-range yang mengedepankan standar ayam. Kedua, penggunaan label premium pada daging ayam dan olahannya dengan mengaitkannya dengan aspek kesehatan, kesejahteraan hewan, kenyamanan dalam pembelian (e-commerce), serta kepraktisan menyajikan dan menyantapnya. Ketiga, dengan memanfaatkan segementasi pasar cerukan, seperti ayam organik atau produk lokal yang mengedepankan kekhasan daerah. Keempat, menempatkan faktor harga sebagai penentu utama untuk menarik konsumen dengan menawarkan harga yang rendah dan diskon.
Untuk melindungi pasar unggas dalam negeri dari produk impor, pemerintah bisa mengupayakan penetapan tarif dan memperketat sertifikasi halal. Dalam jangka panjang, pemerintah dapat menyelidiki dugaan dumping bila harga jualnya sangat murah atau di bawah ongkos produksi wajar. Jika pemerintah terlambat bertindak, Indonesia hanya menjadi pasar cerah bagi produk unggas asing, tapi kelam bagi produk unggas lokal.