Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Alex Noerdin ditetapkan sebagai tersangka korupsi dalam kasus berbeda.
Berselang satu bulan setelah penetapan tersangka Alex, giliran putranya, Dodi Reza Alex, yang ditetapkan sebagai tersangka kasus suap.
Perkara korupsi Alex Noerdin dan Dodi Reza tak bisa dipisahkan dalam konteks dinasti politik.
JAKARTA – Kekuasaan keluarga Alex Noerdin di Sumatera Selatan runtuh akibat kasus korupsi. Setelah Alex Noerdin ditetapkan sebagai tersangka dalam dua kasus korupsi berbeda, giliran Dodi Reza Alex Noerdin, putra sulung Alex, yang dijadikan tersangka kasus suap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penetapan tersangka terhadap Dodi diawali operasi penangkapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat pekan lalu. Tim KPK menangkap Bupati Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, itu bersama dua anak buahnya, yaitu Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Musi Banyuasin, Herman Mayori; serta Kepala Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPR Musi Banyuasin, Eddi Umari. Direktur PT Selaras Simpati Nusantara, Suhandy, juga ditangkap. Keempatnya lantas ditetapkan sebagai tersangka kasus penyuapan terkait dengan proyek-proyek infrastruktur di Musi Banyuasin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti dari Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan perkara Alex tidak bisa dilepaskan dari kasus Dodi Reza dalam konteks dinasti politik. Zaenur menyatakan korupsi ayah dan anak ini merupakan contoh buruk kekuasaan dominan dan absolut di suatu daerah yang justru meningkatkan potensi terjadinya korupsi.
Zaenur menilai daerah yang terdapat dinasti politik lebih berisiko terjadi tindak pidana korupsi sebagai akibat monopoli kekuasaan di tangan satu keluarga, meski jabatan terakhir Alex dan Dodi Reza berbeda tingkatan. “Mereka masih di wilayah yang sama dan membuktikan, di Sumsel, keluarga Noerdin sudah sangat kuat dominasinya di berbagai lini kekuasaan,” kata Zaenur, kemarin.
Penyidik KPK menunjukkan barang bukti milik tersangka dalam konferensi pers penahanan pejabat Kabupaten Musi Banyuasin di Gedung KPK, Jakarta, 16 Oktober 2021. TEMPO/Magang/Daniel Christian D.E
Pertengahan September lalu, Kejaksaan Agung menetapkan Alex Noerdin sebagai tersangka kasus korupsi pembelian gas bumi oleh Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumatera Selatan periode 2010-2019. Saat itu, Alex menjabat Gubernur Sumatera Selatan. Selain Alex, mantan Komisaris PDPDE Sumatera Selatan, Muddai Madang, ditetapkan sebagai tersangka kasus serupa.
Sesuai dengan penghitungan Badan Pemeriksa Keuangan, kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan Alex mencapai US$ 30,194 juta. Angka itu berasal dari hasil penerimaan penjualan gas dikurangi biaya operasi selama periode 2010-2019. Adapun kerugian lain sebesar US$ 63.750 dan Rp 2,131 miliar merupakan setoran modal yang tidak seharusnya dibayarkan oleh PDPDE Sumatera Selatan.
Sepekan berikutnya, Alex kembali ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan menyatakan Alex terlibat dalam kasus korupsi pembangunan Masjid Raya Sriwijaya.
Tidak berselang lama, giliran Dodi Reza yang terseret kasus korupsi. KPK menduga Dodi menerima suap terkait dengan empat proyek pengadaan barang dan jasa di Musi Banyuasin. Ketua DPD Golkar Sumatera Selatan itu diduga telah ikut merekayasa pelaksanaan proyek. Dodi ditengarai mendapat jatah 10 persen dari total anggaran proyek.
Kiprah politik ayah dan anak ini bertautan. Awalnya Alex Noerdin menjadi pegawai negeri di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumatera Selatan. Ia kemudian menjadi Kepala Dinas Pariwisata Kota Palembang. Pada 2001, ia mengikuti pemilihan Bupati Musi Banyuasin, daerah asal ibunya. Politikus Golkar ini terpilih sebagai bupati selama dua periode, yaitu 2001-2006 dan 2006-2011.
Alex Noerdin tidak menyelesaikan masa jabatannya sebagai bupati lantaran mengikuti pemilihan Gubernur Sumatera Selatan pada 2008. Ia memenangi pemilihan itu. Alex menjabat gubernur selama dua periode. Dari gubernur, Alex melenggang ke Senayan setelah terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024.
Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin di Gedung KPK, Jakarta, 16 Oktober 2021. TEMPO/Magang/Daniel Christian D.E
Saat Alex menjadi gubernur, Dodi mengikuti jejak ayahnya. Dodi mengikuti pemilihan Bupati Musi Banyuasin pada 2011, tapi ia kalah. Ia baru terpilih menjadi Bupati Musi Banyuasin untuk periode 2017-2022. Dodi sempat maju dalam pemilihan Gubernur Sumatera Selatan pada 2018 untuk meneruskan posisi ayahnya, tapi ia gagal terpilih.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, saat dimintai konfirmasi belum bersedia membeberkan perkembangan penyidikan kasus Alex Noerdin di kejaksaan. “Perkembangannya akan kami sampaikan nanti pada saatnya dan pertanyaannya sudah masuk materi,” katanya, kemarin.
Adapun juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan penyidik lembaganya akan mendalami kasus yang menjerat Dodi Reza. “Setiap informasi akan dilakukan pendalaman lebih lanjut melalui pemeriksaan saksi dan alat bukti lain,” kata Ali.
Zaenur Rohman menyayangkan karena di tengah kasus korupsi yang membelit ayahnya, Dodi Reza masih berani melakukan tindak pidana korupsi. Zaenur menduga hal itu disebabkan faktor eksternal, seperti tidak adanya pengawasan yang cukup dari inspektorat maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada pemerintahan Dodi Reza.
Faktor eksternal lainnya adalah soal pendanaan politik dalam pemilihan kepala daerah. Zaenur menduga terdapat faktor pendanaan politik untuk mengembalikan modal yang keluar saat pencalonan atau untuk mencalonkan diri kembali pada periode berikutnya, baik di jabatan yang sama atau di tingkat yang lebih tinggi. “Ini semakin mempertegas korupsi di daerah sudah sistemik, apalagi pada daerah-daerah yang berkembangnya politik dinasti,” ujarnya.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin, mengatakan dinasti politik tidak selalu berakhir dengan penangkapan oleh aparat penegak hukum. Tidak jarang dinasti politik bisa tetap bertahan, meski ada anggotanya yang tersangkut kasus korupsi. “Di Banten masih berlangsung, meski Ratu Atut (mantan Gubernur Banten) ditangkap. Tapi untuk Alex Noerdin dan anaknya, rasanya berakhir,” kata Ujang.
Ujang menyatakan dinasti politik tidak ada untungnya bagi masyarakat lantaran tak ada kesempatan bagi pihak lain menjadi pemimpin di wilayah itu. Apalagi, kata Ujang, dinasti politik dalam banyak kasus diduga mampu mengkondisikan sejumlah pihak, termasuk aparat penegak hukum di daerah. “Dinasti politik korup karena semua sumber daya kekuasaan, finansial, dan jaringan dikuasai secara turun-temurun,” katanya.
CAESAR AKBAR | ANDITA RAHMA | DIKO OKTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo