Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Amnesty International menyatakan penggusuran paksa juga tak sejalan dengan ketentuan standar HAM internasional terkait dengan perlindungan warga yang terkena dampak pembangunan.
Dugaan pelanggaran HAM dalam proyek Mandalika menjadi sorotan lantaran masyarakat yang terkena dampak adalah petani, nelayan, dan masyarakat adat Sasak yang berpuluh-puluh tahun tinggal serta mencari nafkah di kawasan itu.
Warga Mandalika sudah menyampaikan keinginannya untuk duduk bersama tapi belum terpenuhi, sehingga masalah konflik tanah semakin meruncing.
JAKARTA – Sejumlah pegiat hak asasi manusia menyebutkan sejumlah indikasi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam proyek pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Mereka menilai dugaan pelanggaran dalam proyek tersebut merupakan isu serius. Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, indikasi pelanggaran HAM itu adalah penggusuran lahan masyarakat, terutama mereka yang digusur tapi belum mendapat kompensasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usman menilai penggusuran merupakan pelanggaran hak untuk mendapatkan penghidupan dan pekerjaan serta hak mendapatkan tempat tinggal yang layak. “Penggusuran paksa juga tak sejalan dengan ketentuan standar HAM internasional terkait dengan perlindungan warga yang terkena dampak pembangunan,” kata Usman saat dihubungi, kemarin. “Ketentuan itu diatur dalam Komentar Umum Nomor 7 tentang Hak Atas Perumahan yang Layak.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Megaproyek Mandalika meliputi pembangunan sirkuit balap motor Grand Prix, hotel, dan lapangan golf di kawasan Lombok, Nusa Tenggara Barat. Proyek ini merupakan bagian dari strategi “10 Bali Baru” yang diusulkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2016 untuk meningkatkan pendapatan dari sektor pariwisata. Namun pakar HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan megaproyek pariwisata Mandalika telah menggusur penduduk lokal dan pribumi serta kawasan bentang alam sekitarnya di daerah tersebut.
Direktur Utama ITDC Abdulbar M. Mansoer (kiri), Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo, Managing Director of DORNA Sports SL Carlos Ezpeleta, Chief Executive Officer of MGPA Ricky Baheramsjah dan Vice President of MGPA Cahyadi Wanda meninjau proyek Mandalika International Street Circuit di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 7 April 2021. ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Usman menuturkan dugaan pelanggaran HAM dalam proyek Mandalika menjadi sorotan lantaran masyarakat yang terkena dampak adalah petani, nelayan, dan masyarakat adat Sasak yang berpuluh-puluh tahun tinggal serta mencari nafkah di tanah itu. Jika tak memiliki akses ke lahan, kelompok rentan ini tak bisa mendapatkan penghidupan yang layak. Jadi, kata dia, hal yang akan terjadi adalah pemiskinan massal.
Proyek Mandalika juga melibatkan kalangan luar negeri, seperti Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan perusahaan swasta multinasional. Mereka berkewajiban mengidentifikasi, mencegah, memitigasi, serta mempertanggungjawabkan dampak buruk proyek kepada masyarakat dan hak asasinya. “Kalau tidak, pihak-pihak itu akan menjadi terlibat (complicit) dalam dugaan pelanggaran HAM di proyek tersebut,” ujar Usman.
Menurut dia, sejak tahun lalu, warga Mandalika sudah menyampaikan keinginan untuk duduk bersama dengan kalangan yang berkepentingan di daerah dan tingkat pusat. Namun keinginan mereka belum bisa terpenuhi, sehingga masalah konflik tanah semakin meruncing. Bagi warga, menurut Usman, penggusuran bukan hanya soal kehilangan tempat tinggal, tapi juga penghidupan.
Pemerintah, kata dia, seharusnya tak menutup jalur komunikasi dengan masyarakat lokal yang menolak penggusuran, apalagi menilai mereka penghambat pembangunan. Pemerintah, Usman melanjutkan, seharusnya juga bisa mengevaluasi pendekatan yang dilakukan dalam menyelesaikan sengketa lahan selama ini. “Jangan-jangan memang selama ini pendekatannya bukan HAM, melainkan keamanan,” ucap dia.
Amnesty International Indonesia termasuk dalam Koalisi Pemantau Infrastruktur bersama Walhi, Kiara, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya. Dari pemantauan Koalisi, konflik lahan, penggusuran, dan penghilangan aset penghidupan masyarakat dalam proyek Mandalika tidak hanya terpusat di pembangunan sirkuit MotoGP. Konflik itu juga terjadi dalam proyek pengembangan kawasan wisata pantai, kawasan hotel dan resort mewah, serta perkantoran Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC).
Koalisi menyatakan memiliki sikap yang sama dengan PBB, yakni menganggap pengembangan wilayah Mandalika bertentangan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Mereka meminta proyek itu ditinjau ulang dan hak masyarakat yang menjadi korban atas proyek ini dipulihkan.
Direktur Yayasan Samanta sekaligus aktivis Serikat Tani NTB, Dwi Sudarsono, mengatakan dugaan pelanggaran HAM dalam proyek Mandalika terjadi lantaran ITDC sudah memulai proyek sebelum persoalan lahan warga benar-benar selesai. “Ada yang masih sengketa di pengadilan, ada lahan enclave yang masih belum dibayar, tapi proyek terus dipaksakan,” kata Dwi, kemarin. “Akibatnya, akses komunikasi dan ekonomi masyarakat saat ini terganggu.”
Dwi juga menyoroti dugaan keterlibatan aparat keamanan dalam sengketa lahan ITDC. “Memang tidak terlihat tindakan represif, tapi jumlah aparat yang banyak saat mengamankan proyek ITDC itu adalah tekanan bagi masyarakat,” ucap Dwi. Proyek ini juga ditengarai merusak bentang alam di Mandalika. “Ada sungai yang ditutup, ada rawa yang ditimbun, sehingga wajar kalau kemarin wilayah itu terendam banjir, termasuk permukiman warga,” ujarnya.
Menanggapi tudingan pelanggaran HAM dalam proyek sirkuit MotoGP Mandalika, Direktur Utama ITDC Abdulbar M. Mansoer menyebutkan bahwa pemerintah, melalui Kementerian Luar Negeri, sudah menjawab tuduhan itu. “Mereka sudah menjawab dengan jelas panjang-lebar. Intinya, tidak ada hal seperti yang dituduhkan itu,” kata Mansoer.
Juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman, mengatakan urusan ini sebaiknya dijelaskan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. “Yang pas menjawab ini adalah Pak Menkopolhukam Mahfud Md.,” kata dia, kemarin. Namun Mahfud Md. belum merespons pertanyaan yang diajukan Tempo ke nomor teleponnya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengatakan jawaban atas laporan PBB itu sudah disampaikan oleh Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) untuk PBB. Dalam tanggapannya, PTRI menyampaikan bahwa pemerintah berkeberatan atas siaran pers tersebut. Pemerintah menyayangkan karena Special Procedures Mandate Holders PBB salah mengartikan sengketa hukum penjualan tanah serta menempatkan hal ini pada narasi yang berlebihan (hiperbolis) dan tak tepat. “Pemerintah Indonesia menegaskan hak atas pembangunan harus terus dijamin agar dapat memenuhi kebutuhan pembangunan dan lingkungan generasi sekarang dan mendatang,” demikian PTRI menulis dalam keterangannya.
ABDUL LATIEF APRIAMAN (MATARAM) | DIKO OKTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo