JAKARTA – Pemerintah terus berusaha memacu pelaksanaan program vaksinasi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Kementerian Kesehatan menerbitkan surat edaran untuk kepala dinas kesehatan di provinsi dan kabupaten/kota tentang optimalisasi pelaksanaan vaksinasi Covid-19.
Surat yang terbit pada Senin lalu dan diteken pelaksana tugas Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Maxi Rein Rondonuwu, itu meminta daerah menambah alternatif jeda penyuntikan dosis pertama dan kedua menjadi 28 hari untuk populasi dewasa pada rentang usia 18-59 tahun. Kementerian Kesehatan juga meminta daerah menggunakan vaksin Covid-19 secepat mungkin agar tidak kedaluwarsa.
Juru bicara vaksinasi Covid-19, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan penambahan rentang waktu jeda suntikan pertama dan kedua dari 14 hari menjadi 28 hari merupakan strategi Kementerian untuk memperbanyak sasaran vaksinasi. Dengan adanya penambahan masa tunggu tersebut, pemerintah bisa memperluas suntikan vaksin kepada masyarakat.
Pengemudi mobil masuk area penyuntikan dosis pertama vaksin Covid-19 buatan Bio Farma di Arcamanik Sport Jabar, Bandung, Jawa Barat, 16 Maret 2021. TEMPO/Prima Mulia
Sejak program vaksinasi Covid-19 dimulai pada 13 Januari hingga kemarin, baru tercatat sekitar 4,7 juta penerima vaksin. Jika dirata-rata, saban hari pemerintah hanya bisa menyuntikkan sekitar 73 ribu dosis vaksin. Tambahan vaksinasi suntikan pertama per kemarin mencapai 236.297 orang. Vaksinasi suntikan dosis kedua bertambah 159.391 orang per kemarin. Padahal Presiden Joko Widodo menargetkan vaksinasi kelar dalam satu tahun. Dengan target ini, jika dirata-rata, penyuntikan vaksin harus dilakukan sebanyak 30 juta dosis setiap bulan atau 1 juta dosis per hari.
Menanggapi hal ini, Kementerian Kesehatan membantah anggapan bahwa pelaksanaan vaksinasi lambat. Menurut Nadia, kecepatan penyuntikan vaksin terus meningkat secara signifikan. "Sampai 300 ribu per hari," kata Nadia, kemarin.
Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengapresiasi keputusan Kementerian Kesehatan untuk menambah jeda suntikan vaksin kedua dari 14 hari menjadi 28 hari. Menurut dia, cara ini manjur untuk menambah jumlah penerima vaksin. Bahkan, menurut Pandu, jeda suntikan kedua hingga empat pekan bisa berdampak positif pada keampuhan vaksin. "Antibodi di dalam tubuh akan semakin terdorong jika jeda vaksin lebih dari dua pekan," kata Pandu ketika dihubungi, kemarin.
Pandu mencontohkan Inggris yang memperpanjang jeda suntikan kedua vaksin Covid-19 hingga tiga bulan. Pemerintah negara itu memilih pemerataan vaksinasi tahap pertama kepada seluruh masyarakat dalam kategori rentan, seperti orang lanjut usia. Menurut Pandu, strategi ini jitu untuk menurunkan angka kematian dan sakit berat pada orang lansia di Inggris. "Seharusnya Indonesia mencontoh. Diratakan dulu suntikan vaksin dosis pertama sembari tetap menerapkan ketat protokol kesehatan 3M. Hasilnya lebih bagus," kata Pandu.
Dia pun berharap pemerintah bisa bergerak cepat menyuntikkan vaksin kepada orang lansia di seluruh negeri. Sebab, perayaan Lebaran sudah dekat, yakni pertengahan Mei mendatang. Sesuai dengan tradisi, masyarakat akan mudik ke kampung halaman untuk bertemu dengan orang tua. Mobilitas tinggi seperti ini sangat berpotensi menjadi transmisi penularan Covid-19.
Ironisnya, sikap pemerintah hingga kini seakan-akan tak melarang masyarakat untuk mudik tahun ini. Untuk mencegah risiko tingginya jangkitan Covid-19 pada orang lansia, Pandu berharap vaksinasi kepada lansia bisa selesai sebelum Lebaran. "Jangan sampai orang lansia jadi korban setelah Lebaran nanti," kata dia.
Pandu menduga proses distribusi vaksin dari pusat ke daerah menjadi salah satu penyebab lambatnya vaksinasi. Ia memahami bahwa fasilitas distribusi dan penyimpanan vaksin di daerah tak akan mampu dipakai dalam partai besar seperti saat ini. Pandu menyarankan agar pemerintah lebih masif mengajak pihak swasta ikut andil mendistribusikan serta menyimpan sementara vaksin Covid-19. Menurut dia, pemerintah bisa menggandeng perusahaan es krim. “Mereka punya jalur distribusi sampai lemari pendinginnya," ujar Pandu.
Epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, juga menduga roda distribusi vaksin menjadi penyebab pelannya vaksinasi. Menurut dia, jumlah vaksin yang dikeluarkan pemerintah hingga kemarin sebanyak 6,5 juta dosis. Suntikan pertama sebanyak 4,7 juta dan suntikan kedua 1,8 juta. Jumlah ini dirasa terlalu sedikit. Sebab, sampai saat ini, pemerintah mengantongi 39,1 juta vaksin yang diimpor dalam bentuk siap suntik maupun bahan setengah jadi. "Mengapa penyalurannya ke daerah lambat? Apakah cara membuat vaksin di Bio Farma memakan waktu lama atau bagaimana? Dalam pandemi, semua harus cepat," kata Windhu ketika dihubungi, kemarin.
Windhu lantas menyinggung kemampuan vaksinasi setiap daerah yang berbeda. Menurut dia, terdapat sejumlah kabupaten/kota yang cepat menyuntikkan vaksin kepada masyarakat dan sebaliknya, ada daerah yang masih menyimpan ribuan vaksin dari pemerintah pusat. Windhu berharap dengan adanya surat edaran dari Kementerian Kesehatan tentang optimalisasi vaksinasi, proses pemberian vaksin di daerah bisa lebih cepat. Jika pemerintah daerah masih lambat menyuntikkan vaksin, ia khawatir penyelesaian pandemi di Tanah Air bisa memakan waktu bertahun-tahun. "Belum lagi masa simpan vaksin Covid-19 pendek. Jadi, pemerintah harus kejar-kejaran dengan waktu agar vaksinnya tidak terbuang percuma karena kedaluwarsa," kata dia.
Selain itu, Windhu berharap pemerintah bisa menjamin ketersediaan vaksin secara berkelanjutan. Sebab, saat ini semua negara di dunia berebut jatah vaksin dari para produsen vaksin. Intinya, pemerintah harus punya stok vaksin yang memadai untuk disuntikkan secara berkala kepada sekitar 180 juta penduduk.
Adapun Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan bahwa pemerintah belum menyuntikkan vaksin dengan kecepatan 1 juta vaksinasi per hari karena terhambat jumlah vaksin yang terbatas. Menurut dia, pada Januari dan Februari, vaksin yang tersedia di Tanah Air hanya 3 juta dosis. Karena itu, pemerintah merancang vaksinasi sebanyak 100 ribu dosis per hari. "Kalau 1 juta vaksinasi sehari, nanti tiga hari habis. Nanti ada protes dari semua bupati dan wali kota karena enggak ada vaksin untuk rakyatnya. Itu sebabnya kenapa kita atur di seratus ribu," kata Budi Gunadi, Sabtu lalu.
Pada Maret dan April, dia melanjutkan, pasokan vaksin yang tersedia sekitar 10 juta dosis. Karena itu, pada periode tersebut, vaksinasi diatur di kisaran 300 ribu dosis per hari. Dengan demikian, selama satu bulan pasokan vaksin itu bisa terserap. Berikutnya, pasokan vaksin pada Mei dan Juli diperkirakan naik menjadi sekitar 20 juta vaksin per bulan.