JAKARTA – Selama dua dekade pelaksanaan otonomi khusus, tak ada perubahan yang signifikan dalam berbagai aspek di Papua. Manajer Advokasi Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Tigor Hutapea, mengatakan otonomi khusus masih belum menyentuh hak dasar masyarakat Papua. "Otonomi khusus gagal dilaksanakan oleh pemerintah daerah untuk melindungi hak orang asli Papua," ujar Tigor kepada Tempo, kemarin.
Berdasarkan pantauan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat—lembaga riset dan advokasi kebijakan terhadap hak-hak masyarakat—banyak sekolah dasar dan menengah yang tutup di kampung-kampung di Papua. Tutupnya sekolah itu, menurut Tigor, rata-rata karena ketiadaan tenaga guru. Kalaupun ada, menurut mereka, para guru itu hanya datang menjelang ujian.
Dari aspek kesehatan, warga Papua juga masih kerap kesulitan menjangkau fasilitas kesehatan. Masyarakat sering dirujuk ke rumah sakit besar, tapi biaya perjalanan yang besar harus ditanggung sendiri. "Akhirnya, masyarakat enggan berobat. Lebih banyak menggunakan obat tradisional," ujar Tigor.
Dari segi pembangunan ekonomi, Tigor menuturkan, masyarakat Papua tertekan oleh adanya investasi besar. Mayoritas warga Papua, kata dia, masih menggantungkan kehidupan ekonominya dari hutan ataupun alam. Adanya investasi di bidang perkebunan, pembalakan kayu, menyingkirkan ekonomi asli masyarakat. "Pilihannya menjadi buruh kasar, tapi tidak berlangsung lama karena adanya perubahan cepat budaya dari yang awalnya berkebun, berburu, menjadi buruh industri," kata dia.
Menurut Tigor, pelaksanaan otonomi khusus Papua selama ini tidak melibatkan suara masyarakat. Representasi orang Papua melalui Majelis Rakyat Papua (MRP) kerap dibatasi. "Masih ada penyingkiran hak-hak. Tidak ada perlindungan berarti," ujar dia.
Jalur Trans Papua di ruas jalan Wamena-Habema, Papua, 2017. ANTARA
Otonomi khusus Papua lahir dari ketidakpuasan masyarakat Papua terhadap situasi sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya di Papua. Di era reformasi, pemerintah lantas menetapkan otonomi khusus kepada rakyat Papua, tapi tetap dalam kerangka wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Otonomi Khusus Papua diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Undang-Undang ini mengalami perubahan pertama pada 2008 dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008. Pemerintah berencana memperpanjang pemberian dana otonomi khusus Papua yang sedianya berakhir pada Desember tahun ini lewat perubahan undang-undang.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng, mengatakan selama ini tidak pernah ada evaluasi yang komprehensif dalam penggunaan dana otonomi khusus Papua. Tanpa evaluasi yang rigid mengenai penggunaan dana otonomi Papua, kata Robert, otonomi khusus hanya akan jadi kompromi politik agar Papua tetap menjadi bagian dari NKRI. Apalagi, selama ini Papua masih belum mentas dari masalah maladministrasi, inefisiensi, dan korupsi. "Ketika lingkup internal pemerintahan Papua tidak beres, integritas diragukan, yang jadi korban adalah masyarakat. Banyak yang menggugat 20 tahun otonomi khusus Papua, tapi tidak ada peningkatan," ujar dia.
Melalui keterangan tertulis, Wakil Presiden Ma'ruf Amin meminta penyaluran dana otonomi khusus untuk Papua dan Papua Barat dievaluasi menyeluruh. Ma'ruf ingin memastikan keefektifan penggunaan dana otonomi khusus bagi pembangunan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. "Evaluasi secara menyeluruh terkait dengan tata kelola dan efektivitas penyaluran dana otonomi khusus," kata dia.
Menurut Ma'ruf, kebijakan otonomi khusus harus dikonsultasikan dengan seluruh komponen masyarakat yang ada di Papua ataupun Papua Barat. "Sehingga kita rumuskan sebuah kebijakan yang terbaik, yang akan membuat Papua dan Papua Barat semakin maju dan sejahtera," ucap dia.
MAYA AYU PUSPITASARI