JAKARTA – Fraksi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masih berjuang agar bisa memuluskan rencana merevisi Undang-Undang Pemilu. Rencana merevisi UU Pemilu sempat mendapat dukungan mayoritas fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat. Tapi belakangan sejumlah fraksi berubah sikap, sehingga tersisa hanya Demokrat dan PKS yang mendukung agenda tersebut.
Ketua Kelompok Fraksi Demokrat di Komisi Pemerintahan DPR, Anwar Hafid, mengatakan fraksinya masih berusaha melobi fraksi-fraksi lain agar kembali mendukung revisi UU Pemilu. Ia optimistis lobi-lobi itu akan mampu meyakinkan sejumlah fraksi lainnya. “Kami terus menyadarkan fraksi yang ada untuk bersama mempertimbangkan dua asas, yakni kemanusiaan dan prinsip regularitas pemilu,” katanya, kemarin.
Anwar juga menegaskan bahwa, hingga saat ini, sikap fraksinya masih tetap sama, yaitu mendukung revisi UU Pemilu. Fraksi Partai Demokrat juga mendukung upaya menormalisasi jadwal pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak, yaitu digelar pada 2022 dan 2023.
Rabu lalu, fraksi-fraksi di Komisi Pemerintahan DPR membahas rencana revisi RUU Pemilu. Rapat itu menyimpulkan mayoritas fraksi mengusulkan agar membatalkan rencana merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam revisi ini, Komisi Pemerintahan hendak menggabungkan UU Pemilu dan UU Pemilihan Kepala Daerah.
Fraksi yang menolak revisi UU Pemilu menginginkan agar pilkada serentak tetap digelar pada 2024. Berbeda dengan sikap Partai Demokrat dan PKS yang menghendaki pelaksanaan pilkada digelar pada 2022 dan 2023.
Warga mengikuti Pemilihan Kepala Daerah serentak di Mekarsari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 9 Desember 2020. TEMPO/Prima Mulia
Penasihat Fraksi Demokrat, Benny Kabur Harman, mengatakan keputusan untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan pembahasan RUU Pemilu seharusnya dibahas lewat rapat paripurna DPR. "Pembahasan belum selesai dilakukan, bahkan beberapa fraksi telah menyatakan menolak melanjutkan pembahasan draf RUU itu untuk dibawa dalam rapat paripurna DPR," kata Benny.
Menurut Benny, revisi UU Pemilu merupakan keniscayaan politik agar demokrasi semakin kokoh, sekaligus mencegah terjadinya praktik otoritarianisme oleh pemerintah. Selain itu, revisi tersebut mulanya disepakati oleh mayoritas fraksi untuk masuk dalam program legislasi nasional periode 2019-2024.
Ia menjelaskan, sebenarnya DPR dan pemerintah telah menyepakati bahwa revisi UU Pemilu menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional 2020. Ketika itu, kata dia, DPR menugasi Komisi Pemerintahan untuk menyiapkan naskah akademis dan draf Rancangan UU Pemilu. Setelah naskah akademis dan draf RUU Pemilu tuntas dibuat, Komisi Pemerintahan melimpahkannya ke Badan Legislasi untuk diharmonisasi dan disinkronisasi. “Seharusnya Badan Legislasi membawa ke paripurna DPR untuk disepakati bersama, namun tak kunjung dilakukan,” ujar Benny.
Benny juga mengkritik sikap pemerintah yang dikabarkan menyatakan menolak revisi RUU Pemilu. Ia berpendapat, sikap pemerintah tersebut seharusnya disampaikan dalam rapat pembahasan RUU Pemilu yang diselenggarakan antara DPR dan eksekutif. Sebab, sejak awal telah disepakati bahwa RUU Pemilu merupakan usul DPR.
Anggota Komisi Pemerintahan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, mencurigai ada sejumlah pihak di belakang sikap partai pendukung pemerintah yang menolak revisi UU Pemilu. "Secara teknis, ada invisible hand ketika Jokowi menyatakan perubahan, kemudian mengundang juru bicara, lalu berubah," kata Mardani.
Menurut Mardani, penolakan revisi UU Pemilu ini berimplikasi pada bahaya praktik pemerintahan tirani dan otoriter. Alasannya, draf RUU Pemilu telah masuk ke Badan Legislasi DPR untuk diharmonisasi. Tapi tiba-tiba mayoritas fraksi berubah sikap dan revisi UU Pemilu ini ada kemungkinan batal dilakukan.
Mardani mengatakan ada risiko yang harus ditanggung apabila pilkada serentak tetap digelar pada 2024. Risiko itu seperti terjadinya sentralisasi kekuasaan ke pemerintah pusat serta sentralisasi perhatian publik. Ia mencontohkan pengalaman pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif secara serentak pada 2019. Saat itu, perhatian publik terpusat pada pertarungan dua kandidat calon presiden, yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto. “Akibatnya, tidak ada diskursus di partai politik, apalagi paparan calon legislator di pusat dan daerah,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi Pemerintahan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Luqman Hakim, menganggap kecurigaan mengenai adanya agenda terselubung dari Presiden Jokowi dan partai koalisi pemerintah terhadap penolakan revisi UU Pemilu merupakan tuduhan yang mengada-ada. Apalagi jika kecurigaan itu dikaitkan dengan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang disebut-sebut akan didorong berkontestasi dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2024. "Tapi namanya spekulasi atau menduga, siapa pun dan apa pun boleh saja," kata Luqman.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan sikap partainya sudah jelas, yaitu menolak rencana revisi UU Pemilu. “Sudah jelas sikap Gerindra via Sekjen Ahmad Muzani,” katanya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Gerindra, Ahmad Muzani, mengatakan partainya berkomitmen mempertahankan UU Pemilu 2017. Ia juga menyinggung bahwa sistem pemilu di Indonesia selalu berubah setiap lima tahun, seperti perubahan metode penghitungan suara, sistem pemilu, ambang batas parlemen, metode konversi suara dan kursi, serta daerah pemilihan. Perubahan secara terus-menerus itu dianggapnya akan menyulitkan perbaikan kualitas pemilu karena partai politik harus menyesuaikan diri dengan undang-undang yang baru setiap lima tahun.
AVIT HIDAYAT | BUDIARTI UTAMI PUTRI | ANT