JAKARTA – Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerald Plate mengklarifikasi polemik rencana pembuatan aturan baru mengenai pemblokiran media sosial yang memuat konten tidak benar. Ia mengatakan pemerintah tidak akan membuat aturan baru jika peraturan yang lama sudah cukup mengakomodasi. "Kalau tata kelolanya sudah diatur, undang-undangnya ada, peraturan pemerintahnya juga ada, ya, enggak perlu keluar aturan baru," kata Johnny kepada Tempo, kemarin.
Johnny mengatakan pemblokiran akun media sosial sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Aturan itu menyebutkan penyelenggara sertifikasi elektronik berwenang melakukan pemeriksaan, penerbitan, perpanjangan, hingga pemblokiran dan pencabutan sertifikat elektronik. Menteri Komunikasi dan Informatika melakukan pengawasan terhadap penyelenggara sertifikasi elektronik.
Peraturan Menteri Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 lebih jelas mengatur soal prosedur pemblokiran konten Internet bermuatan negatif oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Pemerintah dapat memblokir konten yang melanggar privasi serta memuat pornografi, kekerasan, SARA, ataupun muatan lain yang meresahkan masyarakat.
Meski memiliki kewenangan melakukan pemblokiran, Johnny menegaskan bahwa pemerintah tidak akan sembarangan menghapus konten ataupun akun media sosial. Menurut dia, pemerintah harus melakukan verifikasi lebih dulu dari sumber-sumber tepercaya. Hingga pekan ini, Kementerian telah mengidentifikasi 2.020 konten hoaks yang beredar di media sosial. Sebanyak 1.759 konten telah diturunkan oleh Kemkominfo.
Pada Senin lalu, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Semuel Abrijani, mengumumkan akan menyiapkan peraturan menteri baru agar ada mekanisme yang lebih jelas dalam pemblokiran media sosial. Menurut dia, akan ada tahap pemberian sanksi administratif seperti denda lebih dulu sebelum memutuskan untuk memblokir konten.
Dia mengatakan aturan ini diperlukan agar pemblokiran akun tidak dilakukan sembarangan. "Kita sudah di era demokrasi. Enggak mungkin pemerintah itu bermain tangan besi. Kami lebih senang untuk melakukan literasi," kata Semuel.
Johnny menuturkan, hingga kemarin, ia belum mengetahui ihwal perumusan peraturan menteri soal tahapan pemblokiran media sosial. Ada kemungkinan, kata dia, Dirjen Aplikasi Informatika melihat ada mekanisme yang perlu diatur lebih detail dalam peraturan menteri. "Jangankan rumusannya, satu kalimat pun saya belum tahu," ujar dia.
Pakar komunikasi digital dari Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, mengatakan peraturan pemblokiran media sosial pada dasarnya adalah pelanggaran hak asasi manusia. Karena itu, kata dia, pemerintah perlu berhati-hati membuat aturan main dalam melakukan pemblokiran. "Blokir itu sama dengan menghukum seseorang. Itu kan menyangkut HAM (hak asasi manusia), maka harus dibuktikan. Tidak semata-mata menteri bilang hoaks, lalu media sosial diblokir. Itu namanya kita jadi negara otoriter," ucap dia.
Anggota lembaga kajian demokrasi Public Virtue Institute, Anita Wahid, mengatakan peraturan yang memuat kewenangan pemerintah untuk memblokir media sosial menuai banyak perdebatan di berbagai negara. Di Jerman, misalnya, para penyedia platform berbondong-bondong memblokir konten dan akun karena takut terkena denda yang tinggi oleh negara. Kebijakan ini berakibat pada menurunnya kebebasan berekspresi di ranah digital.
Anita mengatakan kewenangan negara untuk memblokir media sosial tak diimbangi dengan literasi kepada masyarakat. Pemerintah, kata dia, seharusnya lebih banyak memberikan literasi agar tak ada lagi akun-akun yang menyebarkan berita hoaks ataupun informasi yang meresahkan. "Kalaupun harus ditutup, pemerintah harus transparan kenapa akun ini diblokir, sehingga tidak mudah kewenangan itu disalahgunakan untuk menutup narasi yang tidak sesuai dengan negara," kata dia.
MAYA AYU PUSPITASARI
Johnny Plate: Pemblokiran Media Sosial Sudah Diatur