JAKARTA – Pegiat antikorupsi dan pakar hukum meminta pemerintah meninjau ulang rencana untuk mengaktifkan kembali Tim Pemburu Koruptor. Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan pemerintah harus mengevaluasi kinerja tim terdahulu sebelum mengaktifkannya kembali.
"Harus ada laporan apa yang dilakukan tim lama, capaiannya seperti apa, apa yang menjadi problemnya. Ini sekaligus laporan ke publik," kata Zainal, kemarin.
Zainal mengatakan pemerintah harus belajar dari kesalahan tim pemburu koruptor era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar tim baru bisa menjawab persoalan. Misalnya, kata dia, jika tim lama terhambat dalam urusan personel, tim baru harus mencari personel yang mau bekerja serius.
Ia menyarankan agar pembentukan Tim Pemburu Koruptor memiliki target dan tawaran kerja yang jelas. Tim juga harus memiliki pemetaan lokasi buron yang kabur. "Jangan sampai gagah di awal tapi gagap di kerja," ujarnya.
Rencana pemerintah mengaktifkan kembali Tim Pemburu Koruptor dilontarkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md. pekan ini. Rencana ini muncul setelah pemerintah kecolongan dengan kedatangan Joko Soegiarto Tjandra, terpidana kasus korupsi hak tagih Bank Bali. Padahal ia bertahun-tahun menjadi buron Kejaksaan Agung. Saat Joko mendaftarkan pemohonan peninjauan kembali kasus hak tagih Bank Bali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 8 Juni lalu, kejaksaan sama sekali tak mengetahuinya. Kejaksaan baru mengetahuinya setelah persidangan dan Joko sudah berada di Malaysia.
Kejaksaan Agung dan Imigrasi saling lempar tanggung jawab saat mengetahui Joko kembali ke Indonesia. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan Joko seharusnya bisa tertangkap karena status cegah tangkalnya masih berlaku selama menjadi buron. Namun Imigrasi berdalih bahwa nama Joko sudah terhapus dalam basis data Interpol karena Kejaksaan Agung tak mengajukan perpanjangan red notice atas nama Joko. Pihak Imigrasi juga menyatakan nama Joko tak masuk sistem perlintasan.
Tim Pemburu Koruptor mulanya dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004. Tim ini beranggotakan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, Kementerian Luar Negeri, serta Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan. Saat itu, tim ini dipimpin Jaksa Agung Basrief Arief. Hasil kerja tim ini antara lain membawa pulang koruptor kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, David Nusa Wijaya.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, mengatakan, sejak terbentuk pada 2004, tim itu tidak pernah mempublikasikan evaluasi hasil kinerjanya. Dari catatan ICW, tim ini hanya berhasil menangkap empat buron dari 16 target penangkapan selama delapan tahun. "Evaluasi terhadap tim ini juga tidak pernah dipublikasikan oleh pemerintah," kata Wana.
Sejak 1996-2018, ICW mencatat ada 40 buron kasus korupsi yang belum tertangkap. Menurut Wana, pemerintah semestinya berfokus memperkuat koordinasi antar-penegak hukum dan lingkup internal masing-masing instansi dibanding mengaktifkan lagi tim tersebut. "Kebijakan untuk membuat tim baru malah berpotensi tumpang-tindih dari segi kewenangan," ujarnya.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, tak yakin pemerintah bisa menangkap Joko Tjandra di bawah pengejaran Tim Pemburu Koruptor. Sebab, selama ini Joko bisa melenggang ke luar masuk Indonesia tanpa terciduk. "Atas dasar itu, saya pesimistis Tim Pemburu Koruptor dapat mencapai targetnya," kata Fickar.
Ia mensinyalir Joko memiliki jaringan yang membantunya di dalam negeri sehingga bisa bolak-balik, bahkan membuat paspor dan kartu tanda penduduk elektronik.
DEWI NURITA | MAYA AYU PUSPITASARI