YOGYAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menegaskan partisipasi publik tidak akan tereduksi dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Ia menyatakan hal itu untuk menanggapi kritik masyarakat yang menilai hak warga negara untuk menggugat kegiatan yang merusak lingkungan tereduksi lantaran RUU Cipta hanya mengizinkan gugatan dilakukan oleh pihak yang terkena dampak.
Siti mengatakan frasa "masyarakat terdampak" dalam RUU Cipta Kerja pengertiannya luas. Alasannya, sejumlah pihak yang memiliki kepedulian terhadap isu lingkungan juga termasuk bagian masyarakat yang terkena dampak. "Akademikus dan peneliti yang merasa peduli dengan lingkungan juga termasuk (masyarakat yang terkena dampak)," katanya saat ditemui di Yogyakarta, Sabtu lalu.
Menurut Siti, RUU Cipta Kerja sama sekali tidak mengurangi partisipasi publik. Bahkan, dia mengimbuhkan, RUU Cipta Kerja mengakomodasi jika ada kelompok masyarakat sipil yang ingin membantu masyarakat yang terkena dampak kerusakan lingkungan untuk mengajukan gugatan hukum. "Itu enggak masalah dong. Tidak ada masalah," ujarnya.
Siti juga menampik tudingan bahwa kewenangan pengawasan daerah akan diambil oleh pemerintah pusat. Ia menjelaskan, kewenangan daerah akan diatur melalui peraturan pemerintah dan tidak akan dikurangi. Siti juga menjamin pemerintah daerah tetap bisa menerapkan sanksi administratif, termasuk mencabut izin lingkungan bagi perusahaan yang terbukti merusak lingkungan.
Ia menambahkan, pasal-pasal yang mengatur hal ini dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga tidak dicabut dari RUU Cipta Kerja, sehingga kewenangan daerah tidak berkurang. "Pasal-pasal tentang itu di undang-undang lamanya kan enggak dicabut," kata dia.
Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 76 diusulkan untuk diubah dalam omnibus law Cipta Kerja. Perubahan ini memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap persetujuan lingkungan.
Ketentuan lebih lanjut ihwal sanksi tersebut diatur melalui peraturan pemerintah. Adapun dalam aturan yang saat ini berlaku, wewenang untuk menerapkan sanksi administratif berada di tangan menteri, gubernur, bupati, dan wali kota.
Kelompok masyarakat sipil mengkritik RUU Cipta Kerja yang diajukan pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat karena dianggap menghapus partisipasi publik dalam mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap pihak yang menyalahi aturan perihal analisis mengenai dampak lingkungan.
Mereka berargumen, dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 93 tertulis "setiap orang dapat mengajukan gugatan", tapi di RUU Cipta Kerja frasa tersebut berubah menjadi "masyarakat terdampak".
Selain perihal tereduksinya partisipasi publik, pegiat lingkungan hidup menyoroti penghilangan nomenklatur izin lingkungan yang diganti menjadi persetujuan lingkungan. "Ketika berganti menjadi persetujuan lingkungan, bagaimana negara melakukan kontrol terhadap aktivitas perusahaan?" kata peneliti dari Yayasan Auriga Nusantara, Syahrul Fitra.
Syahrul khawatir perubahan nomenklatur ini berdampak pada beban biaya yang harus ditanggung masyarakat atau pemerintah akibat aktivitas perusahaan. "Jika ada perusahaan membuang limbah ke sungai, pemerintah menegur pakai apa? Harusnya izinnya dicabut dan dievaluasi. Lalu sungai yang tercemar siapa yang menanggung? Harusnya menjadi beban perusahaan."
Tenaga ahli Menteri Lingkungan Hidup Bidang Legislasi Legal dan Advokasi, Ilyas Asaad, mengatakan persetujuan lingkungan tetap bisa dipakai sebagai acuan menindak pelaku usaha yang merusak lingkungan. Sebabnya, persetujuan lingkungan bersifat mengikat dan menjadi dasar penerbitan perizinan berusaha.
Ilyas menjelaskan bahwa ketentuan tersebut diatur melalui RUU Cipta Kerja Pasal 76. "Apabila terjadi pelanggaran terhadap keputusan perizinan berusaha, tetap bisa ditindak. Apabila terjadi (pelanggaran), bisa dibatalkan, dicabut perizinan berusahanya," Ilyas mengungkapkan. AVIT HIDAYAT | DIKO OKTARA
Menteri Lingkungan Jamin Partisipasi Publik dalam RUU Cipta Kerja