JAKARTA -- Mahkamah Agung memvonis terdakwa perkara mafia pajak Gayus Halomoan Partahanan Tambunan dengan 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Hukuman ini lebih berat ketimbang putusan pengadilan negeri dan pengadilan banding.
“Lebih berat dua tahun dari hukuman yang dijatuhkan pengadilan tinggi dan lebih berat lima tahun dari putusan pengadilan tingkat pertama,” kata Krisna Harahap, anggota majelis hakim agung yang memvonis perkara itu, kemarin. Majelis hakim yang menyidangkan perkara ini dipimpin oleh Artijo Alkostar dengan anggota Krisna dan Syamsul Chaniago.
Pada 29 April 2011, Gayus divonis 10 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas permohonan banding yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Jaksa meminta banding karena Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman cuma 7 tahun penjara pada Januari 2011 karena terbukti korupsi ketika menangani kasus pajak PT Surya Alam Tunggal. Hingga berita ini diturunkan, pengacara Gayus, Hotma Sitompoel, tak bisa dihubungi.
Krisna menjelaskan, perkara ini terkait dengan suap Gayus terhadap hakim Pengadilan Negeri Tangerang agar divonis bebas dalam perkara penggelapan pajak PT Surya Alam Tunggal. Uang suap juga digelontorkan kepada penyidik Kepolisian RI. Kala itu Gayus adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
Majelis hakim menilai, terdakwa Gayus terbukti memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, yakni Ketua Pengadilan Negeri Tangerang Muchtadi Asnun, uang US$ 30 ribu, dan US$ 10 ribu untuk hakim lainnya. Terdakwa juga terbukti menyogok penyidik Polri, Arafat Enanie dan Sri Sumartini, masing-masing US$ 2.500 dan US$ 3.500. Uang suap juga diberikan lewat pengacaranya, Haposan Hutagalung, yakni sebesar Rp 800 juta dan US$ 45 ribu.
Krisna menjelaskan, dalam pemeriksaan perkara ini berkembang pendapat di majelis hakim bahwa, bagi Indonesia, pajak adalah sumber pendapatan negara yang terbesar. Maka, intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan harus dilakukan. Sebaliknya, setiap gangguan terhadap pemasukan pajak secara langsung akan mengganggu jalannya roda pembangunan, yang pada ujungnya semakin memelaratkan rakyat yang sudah melarat.
Kejahatan penggelapan di bidang restitusi pajak, ia meneruskan, adalah modus operandi yang harus terus dicermati. Sebab, hal itu bakal semakin memberatkan pendapatan negara. Sedangkan terdakwa adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak di pusat yang ternyata tidak hanya menjadi pegawai negeri benalu, tapi juga musuh pemerintah dan rakyat.
Menurut dia, terdakwa Gayus seharusnya menjadi abdi negara dan pelayan masyarakat. Namun Gayus justru secara rakus menggerogoti uang rakyat yang sudah sangat melarat. “Tak ada rasa penyesalan. Bahkan, sebaliknya, ia melakukan kejahatan-kejahatan lain sementara perkaranya sedang berproses di pengadilan,” kata Krisna. L DIANINGSARI | JOBPIE S