Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebanyak 45,5 persen dari 7.700 ton sampah harian di Jakarta merupakan sisa makanan.
Setiap penduduk membuang makanan sekitar 184 kilogram per tahun atau 0,5 kilogram per hari.
Kebiasaan membuang makanan disebabkan oleh buruknya cara atau proses penyimpanan.
JAKARTA – Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta terus mengkampanyekan pengurangan sampah sisa makanan alias food waste. Sebab, dari 7.700 ton sampah yang dihasilkan oleh warga Ibu Kota per hari, sebanyak 45,5 persen merupakan sisa makanan dari rumah tangga.
Kepala Seksi Penyuluhan dan Hubungan Masyarakat Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Yogi Ikhwan, menuturkan penyuluhan kepada pengurus rukun warga (RW) agar warga menghabiskan makanan atau mengolah masakan secukupnya terus dilakukan. Tujuannya untuk mengurangi sampah sisa makanan. “Di setiap RW ada PJLP (penyedia jasa lainnya perorangan) pendamping yang sudah terlatih,” tutur dia kepada Tempo, kemarin.
Sampah menjadi persoalan serius bagi Jakarta. Sebab, Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi, sudah mendekati ambang batas. Pada September lalu, ketinggian tumpukan sampah di TPST seluas 104 hektare itu sudah mencapai 50 meter.
Menurut data Dinas Lingkungan Hidup DKI, pada 2020, volume sampah yang dikirim dari Ibu Kota ke TPST Bantargebang mencapai 7.424 ton per hari. Padahal, pada 2016, volume sampah yang dibuang ke tempat pengelolaan sampah itu hanya 6.562 ton per hari.
Dinas Lingkungan Hidup tengah menginisiasi program pengelolaan sampah di 2.738 RW. Sejak awal tahun, sebanyak 147 RW telah mendapat pendampingan dan pelatihan khusus untuk menjadi percontohan. Targetnya, pada bulan ini, seluruh masyarakat di 1.369 RW sudah bisa mengelola sampah secara mandiri.
Dinas, Yogi melanjutkan, juga mengajak masyarakat bertanggung jawab terhadap sampah organik yang dihasilkan setiap rumah tangga. Ia menuturkan sejumlah RW percontohan telah mampu mengolah sampah sisa makanan menjadi media tanam ataupun pupuk dengan menggunakan komposer.
Sampah organik ini juga bisa dijadikan pakan ternak, unggas, dan ikan. Caranya dengan mengolah habis sampah makanan melalui teknologi biokonversi maggot. “Jadi, kalau (sisa makanan) memang jadi sampah, harus diolah,” ujar Yogi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampah organik milik warga Cempaka Putih Timur di Jakarta, 11 Agustus 2021. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penelitian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menyebutkan, dalam satu tahun, seorang penduduk Indonesia membuang bahan pangan dan makanan jadi hingga 184 kilogram atau 0,5 kilogram per hari. Makanan yang dibuang itu setara dengan 4-5 persen produk domestik bruto (PDB).
Makanan yang berakhir di tempat sampah itu juga bisa dimakan oleh 61-125 juta orang. “Ini secara ekonomi merugikan sekali,” tutur Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Medrilzam.
Medrilzam menerangkan dampak buruk dari sampah makanan ialah meningkatnya emisi gas rumah kaca. Seluruh sampah makanan itu bisa menghasilkan 1,73 gigaton karbondioksida atau setara dengan 7 persen dari total emisi gas rumah kaca dalam satu tahun.
Menurut Medrilzam, saat ini angka food loss lebih rendah dibanding pada 2000 karena perkembangan teknologi produksi bahan pangan. Namun angka food waste justru meningkat dari 45 menjadi 60 persen. “Artinya, perilaku masyarakat membuang makanan masih tinggi,” ujarnya.
Ketua tim peneliti food loss and waste dari Waste4Change, Annisa Ratna Putri, mengatakan terbuangnya makanan atau bahan pangan juga disebabkan oleh buruknya proses penyimpanan. Sebagian masyarakat masih memiliki kebiasaan menyimpan makanan dalam kulkas hingga kedaluwarsa atau busuk. Beberapa pertokoan atau warung juga tak memiliki pemetaan kebutuhan konsumen, sehingga sejumlah barang dagangannya rusak di tempat penyimpanan karena tak laku.
Selain rumah tangga, Annisa melanjutkan, sampah makanan banyak berasal dari restoran atau warung makan. Sebab, konsumen terbiasa memesan makanan lebih banyak dari kemampuan konsumsinya. Padahal seharusnya konsumen tidak memesan banyak makanan kalau tak bisa menghabiskannya. "Kalau bersisa, usahakan dibawa pulang untuk dikonsumsi kembali," katanya.
FRANSISCO ROSARIANS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo