maaf email atau password anda salah


Laporan Keberlanjutan Minus Dinamika Internal

Penelitian mengungkapkan bahwa laporan keberlanjutan yang dibuat korporasi tidak mempertimbangkan dinamika internal perusahaan.

arsip tempo : 173078028142.

Petugas memeriksa instalasi panel surya di Jakarta, 3 September 2020. TEMPO/Tony Hartawan. tempo : 173078028142.

PELAPORAN environmental, social, dan governance atau ESG—laporan dampak aktivitas perusahaan terhadap ekonomi, lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan—tengah menjadi perbincangan hangat di Indonesia ataupun dunia dalam beberapa tahun belakangan. Tak sulit bagi publik menemukan lowongan pekerjaan yang berkaitan dengan laporan tersebut di situs web pencarian kerja, termasuk di platform media sosial LinkedIn.

Di tengah pemanasan global dan tuntutan investor, para pembuat kebijakan di berbagai negara memang mewajibkan perusahaan merilis laporan yang juga dikenal sebagai laporan keberlanjutan itu.

Dalam laporan keberlanjutan, perusahaan menyertakan strategi dan target ESG yang akan dicapai dalam jangka waktu tertentu. Perusahaan juga menjelaskan mengapa laporan mereka menekankan topik-topik seperti energi, emisi, limbah, atau kesetaraan gender—dikenal sebagai topik material.

Kewajiban pelaporan keberlanjutan mengundang para peneliti membangun kajian dan teori untuk memahami mengapa dunia bisnis makin memperhatikan dan melaporkan isu ESG kepada publik. Kajian ini juga berguna memantau dan menilai peningkatan kualitas pelaporan ESG dari waktu ke waktu.

Setidaknya, ada tiga teori yang umumnya menjadi landasan argumen para peneliti dalam memandang komitmen pengungkapan serta pelaksanaan inisiatif keberlanjutan suatu perusahaan, yaitu teori institusional (institutional theory), teori legitimasi (legitimacy theory), dan teori pemangku kepentingan (stakeholder theory).

Ketiga teori ini, yang muncul dalam bidang akuntansi, menempatkan perusahaan sebagai sebuah entitas yang umumnya selalu responsif terhadap para pemangku kepentingan, dari investor, karyawan, pemerintah, hingga masyarakat. Sayangnya, pandangan ini luput menganalisis dinamika internal perusahaan yang berimplikasi terhadap kualitas laporan dan topik ESG yang disajikan kepada publik.

Teori Institusional: Regulasi Tak Menjamin Kualitas

Teori institusional memandang bahwa regulasi adalah cikal-bakal institusionalisasi laporan keberlanjutan sehingga menjadi norma dalam dunia bisnis, yang kemudian mendorong perusahaan mengikutinya.

Selain didorong regulasi, teori ini berargumen bahwa pelaku bisnis tak selalu menggunakan pertimbangan yang sepenuhnya rasional. Justru faktor yang mempengaruhi pebisnis berlomba-lomba menyusun laporan keberlanjutan adalah para perusahaan sejawatnya. Dengan kata lain, perusahaan cenderung meniru aksi sejawat agar tidak "ketinggalan" atau "kalah" oleh kompetitornya. Mereka juga menginginkan keselarasan dengan praktik umum yang menjadi norma karena dilaksanakan institusi lain.

Sayangnya, teori yang menekankan pada regulasi dan pembentukan norma ini luput mempertimbangkan persepsi perusahaan terhadap pentingnya laporan keberlanjutan. Padahal persepsi turut menentukan sejauh mana mereka akan berupaya meningkatkan kualitas laporan dan memantau praktik keberlanjutan oleh perusahaan sejawat.

Ilustrasi laporan environmental, social, dan governance (ESG). FREEPIK

Ketika perusahaan memposisikan laporan keberlanjutan untuk sekadar menjadi patuh atau box-ticking, data yang disajikan bisa jadi kurang berkualitas. Sebuah survei investor global menunjukkan bahwa 94 persen investor mempercayai laporan keberlanjutan mengandung informasi yang tidak selalu akurat. Konten pelaporan cenderung meragukan, meskipun popularitas dan kewajiban pelaporan keberlanjutan makin tinggi.

Regulasi yang tak memberikan sanksi serta insentif yang konkret dan tegas ini bisa jadi turut melanggengkan pelaporan "yang-penting-ada". Pemahaman perusahaan seputar manfaat praktik keberlanjutan bagi keberlangsungan bisnis mungkin masih terbatas. Apalagi saat ini pemerintah belum mewajibkan audit laporan keberlanjutan oleh pihak independen, meskipun regulasi pelaporan keberlanjutan di Indonesia telah mengharuskan penyertaan sejumlah topik ESG, seperti emisi, energi, dan kesetaraan kesempatan bekerja, untuk dilaporkan.

Teori Legitimasi: Norma Sosial Bisa Jadi Penghalang

Teori legitimasi memposisikan perusahaan sebagai aktor yang senantiasa aktif membangun legitimasi di hadapan publik dengan cara memenuhi harapan masyarakat di sekelilingnya.

Tanpa dukungan masyarakat, perusahaan tak dapat menjalankan operasinya dengan lancar. Namun bagaimana bila topik ESG tertentu tidak selalu sejalan dengan norma dominan yang berlaku dalam masyarakat?

Isu keberlanjutan tidak hanya terkait dengan lingkungan hidup, tapi juga isu sosial, seperti kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Bisa jadi keduanya bertentangan dengan norma dominan yang berlaku di masyarakat.

Misalnya, pengungkapan perusahaan tentang dukungan dan perlakuan non-diskriminatif terhadap minoritas gender dan seksual boleh jadi menuai kontroversi di ruang publik. Ini dapat berdampak pada reputasi bisnis.

Di sinilah teori legitimasi menemukan keterbatasan. Keharusan perusahaan mempertahankan relasi dan dukungan dari masyarakat mendorongnya waspada terhadap risiko yang dapat menggerus legitimasi tersebut bila mereka salah mengambil langkah.

Pertimbangan semacam ini tentu berpengaruh pada topik-topik yang menjadi fokus pelaporan keberlanjutan perusahaan. Akibatnya, gerak perusahaan bisa menjadi terbatas dalam membuat perubahan yang sesuai dengan tuntutan global. Alih-alih menciptakan transformasi, perusahaan mungkin memilih mematuhi norma dominan masyarakat.

Singkat kata, harapan dan norma sosial-budaya yang berlaku dalam masyarakat tidak selalu berdampak positif bagi topik ESG tertentu yang cenderung "sensitif".

Teori Pemangku Kepentingan: Politik 'Memilih' untuk Hasil Terbaik

Sesuai dengan namanya, teori ini memposisikan tekanan pemangku kepentingan sebagai pendorong perusahaan untuk melaporkan inisiatif keberlanjutan sebagai bentuk tanggung jawab korporasi.

Ada beragam pemangku kepentingan, dari investor, pemerintah, karyawan, pemasok, hingga masyarakat lokal. Namun tidak semua pemangku kepentingan ini dianggap penting oleh perusahaan. Ada kemungkinan perusahaan memprioritaskan harapan dari aktor yang dapat menentukan hidup-mati korporasi, misalnya investor. Konsekuensinya, perusahaan akan mengutamakan topik ESG yang paling relevan untuk memenuhi harapan investor atau aktor-aktor lain dengan sumber daya mumpuni ini.

Beberapa riset pun membuktikan bahwa tuntutan investor bisa berujung pada strategi jangka pendek, beban berat yang membuat perusahaan melapor "ala kadarnya", hingga potensi greenwashing atau klaim ramah lingkungan yang tak sesuai dengan fakta.

Ilustrasi laporan environmental, social, dan governance (ESG). FREEPIK

Pendekatan ini bertentangan dengan semangat pelaporan keberlanjutan. Dalam standar pelaporan Global Reporting Initiatives (GRI), standar internasional yang paling banyak digunakan di dunia untuk melaporkan dampak ESG, pelibatan pemangku kepentingan seharusnya mempertimbangkan kelompok rentan atau yang paling terkena dampak aktivitas perusahaan. Harapannya, mereka dapat memberikan informasi lengkap untuk membantu perusahaan merumuskan fokus serta strategi keberlanjutan yang tepat dan efektif dalam mengatasi dampak negatif yang telah atau berpotensi terjadi.

Namun bagaimana bila kelompok rentan ini tidak dianggap sama pentingnya dengan investor? Bagaimana bila sebuah kelompok tidak selalu monolitik dan memiliki isu perhatian yang sama? Misalnya, karyawan sebagai pemangku kepentingan bisa jadi punya perbedaan pandangan dan kepentingan antar-anggota.

Inilah dimensi politis di balik topik dan data ESG yang diungkapkan dalam laporan keberlanjutan. Pemilihan pemangku kepentingan dan pemilihan "suara mana" yang akan diprioritaskan mempengaruhi topik ESG yang menjadi fokus dan akan dilaporkan oleh suatu perusahaan.

Butuh Analisis Proses

Ketiga teori tersebut luput mempertimbangkan proses di balik penyusunan laporan keberlanjutan. Dalam proses inilah, peneliti berpotensi menemukan pertimbangan risiko, motivasi, dan pemilihan pemangku kepentingan tertentu yang berperan penting dalam menentukan konten laporan keberlanjutan.

Pendekatan semacam ini dimungkinkan bila peneliti tidak sekadar melihat konten laporan secara apa adanya atau at face value. Karena itu, teori-teori ini dapat dilengkapi dengan kajian organisasi untuk melihat lebih lanjut konteks dan dinamika internal perusahaan yang mendorong mereka melaporkan sekaligus tidak melaporkan topik ESG tertentu.

Laporan keberlanjutan bukanlah sekadar dokumen tertulis. Di baliknya terdapat dinamika organisasi yang tak kasatmata untuk merumuskan apa yang dapat sekaligus tidak dapat diungkapkan.

Terbit pertama kali di The Conversation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 5 November 2024

  • 4 November 2024

  • 3 November 2024

  • 2 November 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan