maaf email atau password anda salah


Terjerumus Orang Laut Jadi Pemulung

Akar kekerasan infrastruktur yang menjerumuskan Orang Laut menjadi pemulung. Akibat kebijakan pemerintah mendaratkan mereka.

arsip tempo : 172203896568.

Warga suku laut Pulau Air Mas memulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Telaga Punggur, Kota Batam, Kepulauan Riau, 19 November 2023. TEMPO/Yogi Eka Sahputra . tempo : 172203896568.

MUNCULNYA berita tentang perempuan Orang Laut dari Kampung Air Mas, Batam, Kepulauan Riau, yang memulung sampah bak puncak gunung es yang tersingkap setelah puluhan tahun tertutup kabut. Bagaimana tidak, selama ini Orang Laut sangat jarang menjadi sorotan. Kehidupan mereka tak sepopuler masyarakat Badui di Banten ataupun orang Bajau di perairan Indonesia timur.

Orang Laut adalah salah satu penghuni asli kawasan perairan Riau. Sejak dulu, mereka sehari-hari tinggal di sampan dan hanya sesekali singgah ke daratan.

Kepiawaian Orang Laut di bidang maritim tak bisa dianggap enteng. Pada masa lampau, mereka menjadi aktor penting dalam kegemilangan Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka, Kesultanan Johor, hingga Kesultanan Riau Lingga. Banyak sumber sejarah menunjukkan peran penting Orang Laut sebagai penguasa maritim (lautan) dalam mempertahankan hegemoni sebuah kesultanan. Termasuk Sultan Johor Riau Lingga Pahang, Mahmud Riayat Syah, yang kekuasaannya ditopang Orang Laut dalam menghadapi perang melawan Belanda.

Kini, Orang Laut terkucilkan dalam sederet proyek pembangunan di Kepulauan Riau. Nasib mereka, terutama yang bermukim di sekitar Pulau Rempang, makin terombang-ambing karena megaproyek infrastruktur energi terbarukan dan kawasan hijau seluas 17 ribu hektare.

Diabaikannya nasib Orang Laut dalam berbagai pembangunan tidak terjadi dalam semalam. Ini hasil tumpukan pengabaian selama puluhan tahun akibat pembangunan yang tidak berorientasi pada kehidupan laut. Perlahan dan pasti, Orang Laut menjadi korban kekerasan infrastruktur di perairannya sendiri.

Warga suku laut Pulau Air Mas memulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Telaga Punggur, Kota Batam, Kepulauan Riau, 19 November 2023. TEMPO/Yogi Eka Sahputra

Sejarah Orang Laut

Banyak penamaan untuk masyarakat adat ini. Tapi yang paling familier adalah Orang Laut. Ada juga yang menyebut Orang Mantang, Orang Sampan, Orang Barok, atau Orang Selat. Orang asing menyebut mereka sea nomads atau gipsi laut.

Secara fisik, Orang Laut umumnya memiliki raut wajah agak keras dan warna kulit agak gelap. Nenek moyang Orang Laut diperkirakan bangsa Proto-Melayu (Melayu tua) yang bermigrasi dari Vietnam dan Kamboja sebelum abad ke-10 Masehi.

Ada juga yang memperkirakan Orang Laut telah ada sebelum masa Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi. Orang Laut, yang tergolong ras Austronesia, berasal dari daerah Sambas di Kalimantan yang kemudian berdiaspora ke wilayah pantai timur Sumatera. Mereka mendiami daerah rawa-rawa di pesisir pantai.

Selain bentuk fisik, bahasa sehari-hari yang digunakan mereka—berbeda dengan bahasa Melayu—makin menguatkan asumsi bahwa etnis ini berbeda dengan etnis Melayu masa kini.

Jumlah Orang Laut di Kepulauan Riau lumayan besar. Yayasan Kajang—lembaga yang berfokus pada pelindungan dan pemberdayaan Orang Laut—menaksir jumlah Orang Laut mencapai 12.800 jiwa, yang mendiami 44 titik (perkampungan) di lima kabupaten/kota di Kepulauan Riau. Data riilnya bisa jadi jauh lebih besar karena selama ini dinas sosial setempat, Badan Pusat Statistik, dan instansi lainnya tidak memiliki data yang akurat tentang Orang Laut.

Pembangunan yang masif membuat sejumlah Orang Laut memiliki pola hidup menetap dan semi menetap, yakni meninggalkan rumah sementara untuk melaut. Beberapa di antara mereka masih bertempat tinggal di sampan kajang—perahu beratap daun nipah—yang berlayar dalam kelompok kecil.

Hal menarik lainnya adalah adanya perubahan sosial budaya dari transisi perpindahan Orang Laut, yang semula memiliki pola hidup nomaden menjadi masyarakat lokal pesisir yang hidup menetap. Meski begitu, perubahan ini bersifat negatif akibat kekerasan infrastruktur yang mereka alami sejak puluhan tahun silam sampai sekarang.

Akar Kekerasan terhadap Orang Laut

Dalam kasus Orang Laut, kekerasan infrastruktur terjadi akibat kebijakan pemerintah mendaratkan Orang Laut yang awalnya hidup nomaden di perairan Batam.

Kekerasan infrastruktur kerap tak disadari karena adanya kekeliruan pemahaman pemerintah mengenai kebudayaan masyarakat berbasis laut yang amat bias dengan perspektif masyarakat berbasis darat. Kebijakan yang dilahirkan sebagai “pemaksaan” untuk menangani masalah-masalah masyarakat kelautan pun pada akhirnya meleset dan justru melahirkan kekerasan.

Kekerasan ini berhulu pada pembangunan besar-besaran Kota Batam sebagai pusat investasi sejak 1970-an. Saat itu Batam, sebagai wilayah strategis daerah perbatasan negara, tumbuh menjadi daerah industri, perdagangan, galangan kapal, dan pariwisata yang mempunyai otoritas pengembangan wilayah.

Agar Kota Batam lebih "berstandar internasional", pemerintah secara khusus mencanangkan program Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing (PKMT) di Batam dan sekitarnya pada 1980-an. Melalui PKMT dan dalih pembangunan nasional, pemerintah berupaya mengubah pola hidup Orang Laut dengan mendaratkan mereka di sejumlah pulau yang telah disiapkan infrastrukturnya, termasuk menyediakan perumahan.

Di Kota Batam, Orang Laut mendiami Pulau Caros (Kelurahan Karas), Tanjung Undap (Kelurahan Tembesi), Pulau Nipah (Kelurahan Galang Baru), Pulau Nanga (Galang Baru), dan Pulau Bertam (Bulang). Orang Laut juga ada di Pulau Lingka (Bulang), Pulau Gara (Bulang), dan Pulau Air Mas (Ngenang).

Inilah kesalahan pertama. Sedari awal, negara membalikkan konstruksi moral dan kultural Orang Laut dengan melabeli mereka “masyarakat terasing”, kaum miskin, terbelakang, dan seterusnya. Padahal fakta historis dan etnografis menunjukkan sebaliknya. Mereka memiliki sistem sosial yang kuat dalam mendukung keberlangsungan hidup sebagai suku bangsa pengembara laut.

Akhirnya, kehidupan Orang Laut mulai berubah seiring dengan derasnya pembangunan. Mereka tak lagi hidup mengembara dengan sampan di lautan bebas. Mereka tidak pula bebas beraktivitas ekonomi secara subsistence atau untuk kebutuhan sehari-hari.

Rumah panggung Suku Laut Air Mas di Pulau Tanjung Sauh, Ngenang, Nongsa, Kota Batam, Kepulauan Riau, 16 November 2023. TEMPO/Yogi Eka Sahputra

Terkungkung Paradoks

Kehidupan Orang Laut kemudian terkungkung paradoks: menjadi manusia modern atau bertahan dalam tradisi moyang mereka di tengah bentang alam dan iklim yang berubah. Akses mereka terhadap sumber daya perairan, seperti ikan, dikurangi akibat maraknya reklamasi pantai untuk kawasan industri dan riuhnya lalu lintas kapal.

Perubahan inilah yang pada gilirannya melahirkan kesadaran baru dalam komunitas Orang Laut, yakni "mendarat". Banyak Orang Laut yang akhirnya memilih bermukim, tapi tetap melaut untuk mencari nafkah.

Mereka juga melengkapi sampan tradisional dengan perkakas modern, seperti mesin perahu. Meski bisa bergerak lebih cepat, mesin membutuhkan bahan bakar yang kemudian menambah beban mereka.

Sayangnya, tidak mudah mencari nafkah di laut di tengah bentang alam Batam yang berubah. Ikan-ikan juga tak lagi mudah didapat. Mereka harus melaut lebih jauh. Artinya, ongkos bahan bakar lebih besar dan lebih sedikit keuntungan yang dibawa pulang.

Kekerasan infrastruktur tak mereda setelah era reformasi. Banyak program pembangunan desa dan daerah yang tidak digunakan secara utuh oleh Orang Laut. Di antaranya bantuan panel surya, alat tangkap jaring, serta inisiasi pembuatan rumah yang menetap di satu pulau atau kawasan pesisir.

Studi pada 2014 turut menggarisbawahi bahwa program merumahkan Orang Laut di pulau-pulau sekitar Batam, seperti Pulau Bertam, memiliki sejumlah kelemahan. Program tersebut tidak mempertimbangkan analisis kebutuhan komunitas sasaran dan mengesampingkan aspek budaya serta adat dan istiadat komunitas setempat.

Studi tersebut juga menyebutkan Orang Laut di Pulau Bertam terjebak pada kehidupan tokenisme, alias sangat tergantung bantuan. Ini membuat Orang Laut sulit bangkit dari kemiskinan.

Kondisi Orang Laut saat ini justru makin nahas karena perubahan iklim yang memperparah musim badai di perairan Kepulauan Riau. Sebagian dari mereka yang nelayan tak bisa berlayar mencari ikan. Sementara itu, di daratan, tak banyak kesempatan karena pendidikan Orang Laut yang rendah dan stigma mereka sebagai warga kelas dua. Pencarian pun berakhir di pembuangan akhir untuk mengais sisa-sisa makanan dan pakaian.

Masa Depan Orang Laut

Hingga saat ini pembangunan di Batam belum menunjukkan tanda-tanda berhenti.

Pada 2024, atas nama transisi energi terbarukan, rencana pengembangan kawasan industri Rempang Eco-City akan berdampak pada Orang Laut yang ada di Rempang-Galang. Belum lagi rencana pembangunan jembatan Batam-Bintan melewati Tanjungsauh, yang diyakini akan berdampak pada Orang Laut di Kampung Air Mas.

Pemerintah sepatutnya memberi perhatian pada kondisi Orang Laut di Kota Batam. Alangkah memilukan kalau Orang Laut, yang merupakan penduduk asli Kota Batam, malah tersisih dalam pembangunan di wilayah mereka sendiri.

Pemerintah dapat menginisiasi pemberdayaan Orang Laut sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Jika mereka membutuhkan alat tangkap atau sampan untuk berlayar mencari hasil laut, pemerintah seharusnya tidak menjalankan program perbaikan rumah.

Sudah saatnya pemerintah turut menghentikan pola pembangunan top down alias dari atas ke bawah yang sudah berlangsung sekian lama. Proyek infrastruktur ataupun investasi besar lainnya perlu didahului dengan dialog bersama Orang Laut untuk mencegah kekerasan terulang.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conservation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 27 Juli 2024

  • 26 Juli 2024

  • 25 Juli 2024

  • 24 Juli 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan