Risiko Penggunaan Amonia di PLTU
Mengapa Indonesia perlu mengkaji ulang penggunaan amonia dalam upaya transisi energi dari PLTU.
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menjajal berbagai cara untuk mengurangi penggunaan batu bara pada pembangkit listrik.
Salah satu cara yang diterapkan perseroan adalah penggunaan bahan bakar pendamping batu bara atau co-firing. Melalui cara ini, PLN menggunakan bahan bakar lain agar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) tidak bergantung sepenuhnya pada batu bara.
Namun cara ini dihujani berbagai kritik karena co-firing, selain hanya memperpanjang umur PLTU, berisiko memperparah emisi dan deforestasi karena menggunakan bahan bakar pendamping berupa biomassa yang berasal dari pelet kayu.
Nyatanya, PLN jalan terus. Perseroan menggunakan biomassa sebesar 20 persen dari total kebutuhan bahan bakar PLTU. Hingga Mei 2022, sebanyak 32 PLTU sudah menerapkan co-firing. PLN mengklaim berhasil menurunkan emisi karbon sebesar 184 ribu ton CO2.
PLN bahkan melirik sumber lain, yaitu amonia, sebagai opsi bahan bakar co-firing di PLTU besar di Jawa Barat dan Jawa Timur. Selama ini amonia digunakan sebagai bahan baku industri pupuk kimia.
Walau begitu, sama seperti biomassa, amonia memiliki risiko lingkungan yang tidak bisa diremehkan. Jika diteruskan, tindakan PLN ini justru menjadi bumerang bagi usaha Indonesia meredam perubahan iklim dan menekan polusi dari operasi PLTU.
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap. Shutterstock
Bahaya Lingkungan Amonia
Indonesia menempati posisi kelima sebagai penghasil amonia terbesar di dunia. Industri ini juga menjadi tulang punggung pangan bagi ratusan juta penduduk Indonesia selama puluhan tahun.
Namun amonia yang diproduksi di Tanah Air memiliki jejak karbon karena dihasilkan dari pengolahan gas bumi. Proses pembuatannya membutuhkan energi dengan intensitas sangat tinggi (dengan suhu sekitar 500 °C dan tekanan hingga 250 kali dari tekanan atmosfer). Jadi, secara global, produksi amonia menyumbang emisi yang sangat besar, yaitu mencapai 500 juta ton CO2 atau 1,8 persen dari keseluruhan emisi CO2 di dunia. Angka ini setara dengan 6.000 kali perjalanan pergi-pulang 15 orang pada rute penerbangan terpanjang saat ini, yaitu dari New York ke Singapura.
Riset juga menyebutkan emisi yang dihasilkan untuk keseluruhan proses produksi amonia fosil dan co-firing dua kali lipat dari emisi yang dihasilkan PLTU.
Penggunaan amonia memang tidak menghasilkan emisi CO2. Namun amonia menghasilkan gas nitrogen oksida (N20) yang mempunyai efek rumah kaca 298 kali lipat lebih besar daripada CO2. Artinya, N2O jauh lebih kuat memerangkap panas di atmosfer.
Selain memakan banyak energi dan melepaskan emisi, produksi amonia di Indonesia menimbulkan risiko lingkungan, terutama bagi penduduk di sekitar pabrik.
Salah satu pabrik pupuk urea di Indonesia, menurut studi, melepaskan polusi amonia ke udara dalam bentuk gas dan aerosol (uap air kecil) yang membahayakan hingga 55 ribu penduduk di sekitarnya. Dampak kesehatannya bermacam-macam, dari iritasi kulit hingga gangguan paru-paru.
Perusahaan teknologi, dengan sokongan kampus-kampus ternama, mencoba membuat amonia dari sumber nonfosil untuk menghilangkan jejak karbonnya, yang dikenal dengan “amonia hijau”. Material ini dibuat melalui proses melistriki air untuk menghasilkan hidrogen—dikenal sebagai elektrolisis—dan ekstraksi nitrogen dari udara.
Namun dampak lingkungan amonia bukan cuma berasal dari karbonnya. Para ahli menganggap amonia juga bertanggung jawab atas paparan nitrogen yang mencapai dua kali lipat dari batas aman untuk kehidupan bumi. Paparan nitrogen ini merupakan hasil transformasi dari amonia yang memang tersusun dari hidrogen dan nitrogen.
Kelebihan nitrogen mengakibatkan kerusakan ekosistem dan hujan asam. Di laut ataupun perairan lain, situasi ini memicu ledakan alga yang dapat mematikan berbagai makhluk akuatik dan merusak terumbu karang.
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap. Shutterstock
Rekomendasi
PLN perlu mengkaji ulang rencana co-firing PLTU menggunakan amonia dengan lebih teliti agar tidak menambah emisi. Lebih lanjut, perusahaan harus memiliki peta jalan yang jelas untuk memastikan co-firing hanya menjadi tujuan sementara guna memuluskan pengakhiran operasi PLTU dan penggunaan batu bara.
Tujuan besar transisi energi, menurut kami, adalah pemakaian energi terbarukan seluas-luasnya, berdasarkan sumber energi dengan dampak lingkungan terkecil, termasuk juga dampak sosialnya. Jangan sampai pengakhiran PLTU batu bara justru menciptakan masalah baru ataupun tidak mengubah persoalan energi yang sudah ada.
Agar tujuan itu tercapai, PLN harus melakukan asesmen daur hidup seluruh sumber energi potensialnya secara ketat. Harapannya, PLN dapat mengetahui sumber energi mana yang memiliki emisi paling rendah dari aspek material, infrastruktur, hingga proses pembangkitan listriknya.
Supaya transisi berjalan lebih mulus, pemerintah Indonesia juga perlu menghapus subsidi yang bersifat menghambat pengembangan energi baru dan terbarukan. Misalnya, harga khusus (diskon) batu bara untuk kebutuhan domestik (domestic market obligation).
Terkhusus amonia, Indonesia masih bisa melirik potensi amonia hijau untuk menjadi sumber energi alternatif. Meski memiliki bahaya lingkungan, amonia hijau masih dapat digunakan untuk memangkas emisi gas rumah kaca dari industri manufaktur, seperti semen, pupuk, dan bahan bakar kapal besar yang sejauh ini masih mengandalkan energi fosil.
------------------
*) Artikel ini ditulis oleh Hidayatul Mustafidah Rohmawati, staf peneliti di The Purnomo Yusgiantoro Center dan Vivi Fitriyanti, peneliti di The Purnomo Yusgiantoro Center. Pertama kali terbit di The Conversation.