maaf email atau password anda salah


Sengsara Si Miskin Akibat Perubahan Iklim

Peneliti UI mendapati masyarakat miskin jadi kelompok paling terdampak perubahan iklim. Akibat ketimpangan pembangunan kota.

arsip tempo : 171460646592.

Asap tebal mengepul dari lokasi kebakaran di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumompo, Manado, Sulawesi Utara, 1 Oktober 2023. ANTARA/Adwit Pramono. tempo : 171460646592.

Cuaca ekstrem akibat perubahan iklim menyebabkan begitu banyak kejadian dan bencana di seluruh dunia.

Pada pertengahan 2023, banjir bandang membuat jalan-jalan terendam dan jutaan orang mengungsi di Amerika Serikat, Korea Selatan, Pakistan, dan Turki. Asia juga mengalami lebih dari seratus kematian akibat periode monsun tahun ini. Di India utara, banjir mematikan akibat hujan ekstrem menelan 22 korban jiwa.

Di Indonesia, banjir parah pada April 2023 yang melanda Kalimantan Tengah menimbulkan 16 ribu korban. Rumah-rumah dan bangunan publik turut terkena dampak. Sementara itu, saat kemarau tiba, kekeringan makin menyulitkan warga kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), mengakses air bersih.

Dalam riset terbaru, kami mencoba menggali bagaimana cuaca ekstrem berdampak pada kawasan urban, khususnya terhadap masyarakat miskin yang sangat dirugikan akibat kejadian tersebut.

Warga Miskin dan Masalah Terkait dengan Air

Kami mempelajari tiga kota rawan banjir di Indonesia: Pontianak, Kalimantan Barat; Bima, Nusa Tenggara Barat; dan Manado, Sulawesi Utara.

Penelitian kami berbasiskan studi lapangan, observasi, wawancara, dan analisis dokumen. Kami mewawancarai 57 informan sepanjang proses pengumpulan data. Mereka terdiri atas aktor pemerintah, pemimpin komunitas, aktivis organisasi masyarakat sipil, dan pelaku usaha.

Penelitian kami bertujuan mempelajari bagaimana pembangunan perkotaan berdampak pada masalah seputar air, terutama yang berkaitan dengan perubahan iklim.

Riset kami menemukan masalah yang berkaitan dengan iklim, seperti banjir, kekeringan, dan serangan panas, dapat berdampak pada seluruh kota, miskin ataupun kaya. Namun warga miskin menjadi golongan yang paling terkena dampak karena beberapa alasan. Sementara penduduk berpenghasilan menengah ke atas tinggal di kawasan perumahan yang nyaman dan terencanakan, kaum miskin kota terpaksa tinggal di kawasan yang paling rawan banjir.

Antre distribusi minyak goreng curah di Manado, Sulawesi Utara, 8 April 2022. ANTARA/Adwit B Pramono

Selain itu, mereka tinggal di permukiman yang padat dan kumuh, dengan akses air bersih yang terbatas. Di lokasi yang kami datangi, warga permukiman ini tidak mendapat pasokan air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) setempat, meskipun jaringannya berdekatan dengan rumah mereka. Walhasil, masyarakat miskin menggunakan cara-cara tersendiri untuk bertahan hidup, seperti menggunakan sumur gali, memompa air tanah, hingga membangun kolam penampungan ataupun tandon air untuk menampung air hujan.

Cara senada dilakukan masyarakat miskin saat menghadapi banjir. Mereka langsung memindahkan barang-barang berharga ke tempat yang tinggi serta memantau kenaikan muka air di selokan, parit, dan sungai. Mereka juga membuat saluran komunikasi dengan platform digital untuk berbagi info cepat guna merumuskan langkah antisipasi jika risiko banjir meningkat.

Sayangnya, langkah-langkah tersebut cenderung reaktif dan belum menyentuh akar persoalan sebenarnya.

Akibat Pembangunan Tak Merata

Kami menemukan bahwa masalah yang berkaitan dengan air di Indonesia, seperti banjir dan kelangkaan air, berhubungan erat dengan pembangunan yang tak merata di berbagai kawasan perkotaan. Semua kota yang kami pelajari menunjukkan pola serupa.

Di beberapa kawasan kota, pertumbuhan ekonomi meningkat pesat. Gedung-gedung pencakar langit menjulang. Kawasan bisnis bergeliat. Jumlah perumahan mewah dengan pusat belanja di dekatnya pun bertumbuh.

Pesatnya pembangunan memicu lonjakan harga tanah, biaya sewa rumah, dan ongkos kebutuhan dasar, seperti air bersih dan listrik. Akibatnya, area-area mewah ini menjadi tidak terjangkau oleh masyarakat miskin.

Sementara itu, di perdesaan dan kawasan yang kurang berkembang, orang-orang mengubah hutan menjadi lahan pertanian untuk memenuhi permintaan penduduk kota. Perubahan ini kemudian mengganggu siklus alami air.

Akhirnya, ketika cuaca ekstrem melanda, kawasan kota ketiban bencana. Hujan deras meningkatkan risiko banjir, sedangkan kemarau membuat warga kota sulit mendapatkan air bersih.

Sungai Kapuas yang diselimuti kabut asap di Pontianak, Kalimantan Barat, 27 September 2023. ANTARA FOTO/Jessica Wuysang/rwa.

Apa yang Bisa Kita Lakukan

Temuan kami menunjukkan aktivitas berburu keuntungan oleh para pengembang, ditambah kebijakan yang lemah, telah memperparah bencana terkait dengan air dan dampaknya paling dirasakan oleh kaum miskin kota. Di tengah situasi tersebut, kaum miskin kota kelimpungan dalam menyesuaikan diri, apalagi meningkatkan kehidupan mereka.

Riset kami merekomendasikan sejumlah langkah untuk membenahi kondisi warga miskin kota dalam menghadapi bencana terkait dengan air, bukan cuma bertahan dari bencana itu.

Sebagai langkah pertama, kita harus memastikan praktik pengelolaan air dapat meningkatkan ketangguhan masyarakat. Penting juga bagi kita untuk mempertimbangkan dan menangani ketimpangan di seluruh kawasan. Misalnya, kita dapat mengembangkan lingkungan terpadu yang dapat menghubungkan kembali kehidupan warga kota dengan sungai.

Lalu langkah kedua adalah kita harus mempertimbangkan risiko perubahan iklim saat merumuskan kebijakan tentang pelayanan dan kelembagaan terkait dengan air. Kita harus mencari cara mendanai aksi-aksi pencegahan dan penanggulangan bencana supaya lebih berkelanjutan dan responsif.

Terakhir, penting bagi kita untuk berhati-hati saat merencanakan pembangunan infrastruktur. Kita harus memasukkan opsi-opsi yang valid, tapi itu bisa terus diperbarui dan diperbaiki. Opsi semacam ini membutuhkan keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan dan peningkatan kesadaran mereka soal isu ini.

Untuk jangka panjang, rekomendasi ini dapat mengintegrasikan aksi kita dalam seluruh siklus air guna melindungi akses air, lingkungan, dan kesehatan masyarakat.

---

Artikel ini ditulis oleh M. Rifqi Damm (University of Gothenburg), Cindy Rianti Priadi, Inaya Rakhmani, dan M. Irvan (Universitas Indonesia). Terbit pertama kali di The Conversation. 

Konten Eksklusif Lainnya

  • 2 Mei 2024

  • 1 Mei 2024

  • 30 April 2024

  • 29 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan