maaf email atau password anda salah


Ancaman di Destinasi Wisata Prioritas

Pengembangan destinasi wisata prioritas tak menjamin terjaganya masyarakat dan lingkungan sekitar.

arsip tempo : 171527730341.

Sejumlah wisatawan mengabadikan gambar Gunung Bromo dari Puncak Seruni Point di Probolinggo, Jawa Timur, 19 September 2023. ANTARA/Irfan Sumanjaya. tempo : 171527730341.

Kebakaran di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru karena penggunaan flare saat pengambilan foto pre-wedding baru-baru ini tak hanya menimbulkan pertanyaan soal etika pengunjung di tempat wisata. Isu ini juga menunjukkan semakin maraknya fenomena gentrifikasi pariwisata di Indonesia, termasuk di kawasan konservasi.

Gentrifikasi merupakan perubahan karakteristik wilayah akibat penetrasi kapital dan mobilitas masyarakat kelas menengah atas yang berpotensi menaikkan standar hidup wilayah tersebut di atas jangkauan masyarakat setempat. Gentrifikasi terjadi akibat komodifikasi ruang, yaitu ketika nilai guna ruang diuangkan demi mengejar keuntungan.

Dalam perkembangannya, isu gentrifikasi juga tidak terbatas pada fenomena yang terjadi di wilayah urban, tapi juga di perdesaan, ruang kosong, dan kawasan lindung. Isu gentrifikasi makin mendesak untuk dibahas mengingat makin besarnya perhatian dan dukungan pemerintah terhadap pariwisata sebagai sektor prioritas yang dianggap salah satu sumber pertumbuhan baru ekonomi Indonesia.

Secara kasat mata, gentrifikasi pariwisata memang terlihat menyejahterakan. Destinasi wisata diubah menjadi lebih modern, indah, dan tertata rapi. Namun, seperti halnya industri lain, gentrifikasi pariwisata juga berisiko merusak alam dan menimbulkan kesenjangan.

Wisatawan asing berjalan di area kolam renang Hotel Pullman Lombok, Kuta Mandalika, Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 5 Agustus 2023 ANTARA/Ahmad Subaidi

Destinasi Superprioritas = Destinasi Supermahal?

Meski bersifat lokal, status sebagai sektor prioritas membuat investasi skala besar—baik dari modal asing maupun dalam negeri—mengalir ke lokasi pariwisata ataupun daerah sekitarnya. Arus modal membuat hotel-hotel dan fasilitas lainnya, termasuk jalan raya, menjamur untuk memanjakan turis kelas atas. Segudang fasilitas itu kemudian menggantikan bentang alam, termasuk permukiman di sekitarnya. Perubahan inilah yang menunjukkan gentrifikasi pariwisata.

Kita bisa melihat fenomena ini terjadi di lima lokasi pariwisata superprioritas yang diharapkan menjadi “Bali Baru” oleh pemerintah, termasuk Borobudur, Mandalika, dan Labuan Bajo.

Di kawasan Candi Borobudur sebagai salah satu UNESCO World Heritage, misalnya, kisaran tarif salah satu hotelnya dapat mencapai Rp15-90 juta per malam. Meski sudah lama menjadi destinasi wisata, pembangunan di kawasan perdesaan di Magelang, Jawa Tengah, ini kini semakin marak dengan adanya status destinasi superprioritas.

Mandalika, kawasan pantai selatan Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang dulunya hanyalah "ruang kosong" tak berpenghuni, kini menjadi salah satu node dalam jejaring kapital global. Pada November 2021, Presiden Joko Widodo meresmikan Sirkuit Internasional Pertamina Mandalika di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika.

Pemerintah juga membangun jalan bypass Bandara Internasional Lombok-Mandalika dengan cepat untuk mendukung acara MotoGP. Selain itu, jejaring hotel global, seperti Pullman, resmi beroperasi untuk mendukung pariwisata, khususnya hajatan global seperti MotoGP dan World Superbike/WSBK di Sirkuit Mandalika.

Di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, pembangunan pariwisata juga berkembang sangat pesat. Meski jauh dari ibu kota provinsi, Labuan Bajo berkembang layaknya kota besar. Hotel dan resor mewah, jasa pelayaran pinisi mewah, termasuk kawasan pertemuan dan konferensi di Golo Mori, bisa ditemukan di Kabupaten Manggarai Barat. Pada Mei lalu, Labuan Bajo bahkan menjadi tuan rumah untuk hajatan internasional Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-42 ASEAN 2023.

Meski berkembang pesat, pariwisata tidak serta-merta menyejahterakan. Di Labuan Bajo, misalnya, walaupun Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat menetapkan upah minimum kabupaten setara dengan upah minimum provinsi, banyak perusahaan di sektor pariwisata kedapatan melanggar aturan tersebut.

Wisatawan asing saat berlibur di Pantai Kuta, Badung, Bali, 25 September 2023. ANTARA/Nyoman Hendra Wibowo

Ekspansi Kapital di Gunung dan Laut

Jika ditelisik lebih jauh, gentrifikasi pariwisata tidak hanya terjadi di Borobudur, Mandalika, dan Labuan Bajo, tapi juga di lokasi lain di Indonesia. Untuk mendukung data dalam tulisan ini, saya mencoba membuat riset kecil guna memetakan akomodasi pariwisata yang berada di wilayah non-perkotaan Nusantara.

Dengan Google Maps serta peta interaktif dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), saya mencoba mengidentifikasi fasilitas pariwisata yang bersinggungan dengan kawasan konservasi, seperti taman nasional, taman wisata alam (TWA), hutan lindung, dan kategori kawasan hutan lainnya.

Selain itu, saya membatasi pencarian akomodasi dengan tarif Rp 800 ribu-25 juta per malam. Asumsinya, mahalnya tarif menunjukkan orientasi profit dan siapa saja yang bisa menjadi turis di destinasi tersebut, yakni masyarakat kelas menengah ke atas.

Dari hasil penelusuran, saya menemukan sebesar 69,8 persen dari total 232 fasilitas pariwisata tersebut berada di kawasan konservasi yang tersebar di seluruh Indonesia. Misalnya, beberapa amenitas ada yang beroperasi di dalam taman nasional, seperti di kawasan Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh-Sumatera Utara, dan kawasan Menjangan di Taman Nasional Bali Barat. Kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Gili Trawangan-Gili Meno-Gili Air atau Gili Tramena bahkan memiliki ratusan amenitas dengan tarif di atas Rp 1 juta.

Keindahan alam memang selalu yang kita cari. Berdasarkan data KLHK, kunjungan wisata alam ke kawasan konservasi pada 2022 tercatat sebanyak 5,1 juta wisatawan domestik dan 189 ribu wisatawan mancanegara.

Secara hukum, kegiatan wisata di dalam kawasan konservasi, bahkan di kawasan lindung, memang dibolehkan. Namun beberapa fakta menunjukkan risiko pariwisata terhadap alam. Kebakaran di Taman Nasional Bromo, misalnya, berimbas pada ekosistem serta rusaknya sistem perpipaan air warga sekitar. Kebakaran yang pernah terjadi di Taman Nasional Komodo pada 2018 juga diduga disebabkan oleh ulah wisatawan.

Di Mandalika, dua desa terendam banjir akibat pemangkasan bukit-bukit dan belum siapnya sistem drainase di wilayah kawasan ekonomi khusus ini.

Pariwisata untuk Siapa?

Kita perlu kritis dalam melihat apakah kegiatan pariwisata mengarah ke industri yang berlebihan dan berpotensi merusak alam di sekitarnya.

Tidak hanya soal ancaman terhadap alam, kita juga perlu mengawal dampak sosialnya. Meski dianggap sebagai sumber pertumbuhan baru, pembangunan pariwisata sering menimbulkan kesenjangan sosial dengan masyarakat lokal. Pariwisata juga cenderung hanya bisa diakses oleh masyarakat menengah ke atas. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009, berwisata adalah hak setiap orang.

Untuk menekan dampak gentrifikasi pariwisata, pemerintah harus memperkuat regulasi agar sektor ini tidak hanya dinikmati oleh pebisnis besar. Pemerintah dapat membatasi kepemilikan aset properti pariwisata dan memperkuat pengawasan untuk mencegah eksploitasi berlebihan atas nama pariwisata.

Pemerintah harus bisa menjamin bahwa pembangunan pariwisata bisa melibatkan dan menyejahterakan warga lokal, serta menjunjung konservasi agar keadilan sosial dan kelestarian alam dapat terwujud.

---

Artikel ini ditulis oleh Dwiyanti Kusumaningrum, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Terbit pertama kali di The Conversation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 9 Mei 2024

  • 8 Mei 2024

  • 7 Mei 2024

  • 6 Mei 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan