maaf email atau password anda salah


Akselerasi Perhutanan Sosial lewat Perpres

Perpres 28/2023 bertujuan mencapai target 12 juta hektare perhutanan sosial pada 2030. Sejauh mana keampuhan perpres tersebut?

arsip tempo : 171457236768.

Kawasan hutan lindung Jayagiri di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, 16 Juni 2023. ANTARA/Farisi. tempo : 171457236768.

Pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk menambah jangkauan program perhutanan sosial sampai 7,38 juta hektare (ha) hingga tujuh tahun mendatang. Targetnya, perhutanan sosial dapat mencapai 12 juta ha pada 2030. Sementara, per Mei 2023, baru ada sekitar 5,5 juta ha kawasan hutan negara yang dialokasikan untuk perhutanan sosial.

Perhutanan sosial adalah program pemberian izin pengelolaan hutan negara kepada warga setempat, termasuk masyarakat adat. Bentuknya bisa melalui hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan. Sejauh ini, program tersebut telah melibatkan sekitar 1,2 juta keluarga.

Pemenuhan target amat penting karena perhutanan sosial terbukti manjur melestarikan ekosistem hutan (ataupun memulihkan ekosistem yang rusak) sebagai "paru-paru" suatu wilayah. Pengelolaan hutan negara oleh warga juga mampu menurunkan angka kemiskinan di perdesaan. Harapannya, pembangunan berkelanjutan yang sesungguhnya dapat dirintis dari desa.

Untuk memenuhi target ini, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 28 Tahun 2023 tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial.

Dalam Pasal 6 perpres itu, pemerintah menetapkan berbagai strategi percepatan perhutanan sosial. Mulai dari penentuan skala prioritas dalam pemberian akses legal, penanganan konflik tenurial (batas tanah) dalam kawasan hutan, hingga penguatan mekanisme dan percepatan pemberian persetujuan pengelolaan hutan.

Baca: Perhutanan Sosial dan Arah Tata Kelola Hutan Jawa

Namun, sejauh mana perpres ini ampuh mengatasi berbagai masalah perhutanan sosial di lapangan?

Sejumlah wisatawan menaiki perahu saat berwisata di kawasan Hutan Mangrove Center Graha Indah, Balikpapan, Kalimantan Timur, 7 Juni 2023. ANTARA/Fakhri Hermansyah

Peran Pusat dan Daerah Menjadi Persoalan

Pelaksanaan perhutanan sosial memerlukan kolaborasi antarkementerian, lembaga, pemerintah daerah, maupun lembaga swadaya masyarakat, serta pihak lainnya yang terkait.

Publikasi Budi dan kolega dari IPB University dalam Jurnal Manajemen Hutan Tropika pada 2021 yang berjudul Implementation Gap of Social Forestry Policy: The Case of HKm (Hutan Kemasyarakatan) Beringin Jaya and HTR (Hutan Tanaman Rakyat) Hajran menemukan kesenjangan antara kebijakan dan penerapan kebijakan perhutanan sosial.

Riset studi kasus perhutanan sosial di Jambi dan Lampung ini mencatat kesenjangan terjadi karena peran pemerintah dan pemerintah daerah secara langsung masih sangat kecil. Program perhutanan sosial justru terwujud akibat proses fasilitasi oleh lembaga swadaya masyarakat.

Kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah yang diatur dalam berbagai aturan untuk memfasilitasi masyarakat, dalam praktiknya di kasus ini, belum dapat dilaksanakan secara memadai. Hal ini juga akibat sistem politik serta sentralisasi yang berjalan dengan kewenangan yang belum selaras antara pemerintah dan pemerintah daerah.

Kesenjangan tersebut sangat disayangkan karena ragam dan kapasitas jaringan yang dimiliki masyarakat sangat berbeda. Pemerintah, dalam program ini, semestinya dapat membantu masyarakat untuk menguatkan organisasi serta usaha melalui pemberdayaan.

Keberadaan perpres haruslah bisa meredam kesenjangan tersebut.

Baca: Kolaborasi Agar Perhutanan Sosial Naik Kelas

Per Desember 2022 sudah terdapat 9.985 kelompok usaha perhutanan sosial. Seluruh kelompok peserta terbagi ke dalam usaha wanatani (35 persen), hasil hutan bukan kayu (14 persen), ekowisata (10 persen), dan kopi (10 persen). Sedangkan sisa kelompok usaha lainnya (30 persen) tersebar ke usaha madu, buah-buahan, silvopastura (wanagembala), aren, rotan bambu, hingga silvofishery (perikanan di mangrove).

Namun, jumlah yang sudah mandiri atau mendekati mandiri tak sampai 1.000 kelompok. Masih banyak (sekitar 90 persen) kelompok yang membutuhkan pendampingan, terutama dari aparat pemerintah pusat dan daerah.

Untuk itu, secara umum, program perhutanan sosial memerlukan koordinasi dan sinergi antarpemerintah untuk memastikan setiap kelompok mendapatkan pendampingan yang memadai. Mereka harus bekerja dengan motivasi profesionalisme yang tinggi serta diskresi kebijakan apabila diperlukan.

Adapun profesionalisme yang dimaksudkan tidak melulu berarti semua kegiatan harus mematuhi aturan. Sebaliknya, apabila regulasi justru lemah karena tak sejalan dengan kondisi di lapangan, adanya kepentingan politik, atau ketidakcukupan syarat-syarat di masyarakat pengelola hutan, aparat pemerintah perlu menyiapkan jalan keluarnya.

Pada intinya, walaupun kondisi tidak cukup kondusif, masyarakat perlu mendapatkan ruang untuk dapat “menyiasati” berbagai kondisi dan faktor yang kurang mendukung. Harapannya, perhutanan sosial dapat benar-benar sesuai dengan tujuannya, yaitu menyejahterakan masyarakat.

Setelah kebijakan diskresi berjalan, seiring perubahan kondisi dan waktu, prosedur normal itu dapat ditempuh. Kita dapat mengambil contoh kasus rehabilitasi hutan di Way Seputih Way Sekampung, Lampung. Kawasan hutan di daerah ini diduduki sepenuhnya oleh masyarakat.

Pada tahap awal, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung belum mempersoalkan legalitas masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan negara. Namun, setelah mendapatkan manfaat dari hasil rehabilitasi hutan, masyarakat sendiri langsung mengajukan permohonan perhutanan sosial sebagai tanda pengakuan mereka terhadap hutan negara.

Warga melintas di hutan kota Pakansari, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 2 Juni 2023. ANTARA/Yulius Satria Wijaya

Memperkuat Aparat melalui Aturan Baru

Perpres Percepatan Perhutanan Sosial memandatkan penyediaan 25 ribu pendamping perhutanan sosial oleh pemerintah hingga 2030.

Amanat ini patut diapresiasi. Namun, menurut saya, pemerintah masih bisa menambah pendamping lebih banyak lagi. Salah satu alternatif tercepat yang bisa dilakukan adalah penguatan kapasitas Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang jumlahnya mencapai 549 unit se-Indonesia.

KPH adalah organisasi yang berwenang melakukan pengelolaan hutan, dari perencanaan, pemanfaatan, hingga penyuluhan dan penelitian. Karena itu, posisi KPH sangat vital sebagai lembaga negara yang paling dekat dengan masyarakat dalam melaksanakan kebijakan perhutanan sosial.

KPH dapat melakukan berbagai program penguatan kapasitas masyarakat. Misalnya penguatan kapasitas juga mencakup tahap pra-persetujuan (bisa dimulai sejak perencanaan) dan pasca-persetujuan perhutanan sosial. Penguatan kapasitas untuk akses sumber daya yang dimiliki pihak lain juga bisa dilakukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan hutan yang dikelola masyarakat.

Perhutanan sosial juga menuntut kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang lebih luwes. Harapannya, kebijakan dapat sejalan dengan kondisi yang dihadapi di lapangan.

Keluwesan ini penting karena peraturan-perundangan belum tentu sempurna, terutama bila dikaitkan dengan kondisi dan persoalan di lapangan yang beragam. Karena itu, dalam pelaksanaannya tidak dapat kaku layaknya pedoman administrasi.

Untuk melaksanakan amanat Perpres, pemerintah perlu menyediakan kebijakan teknis yang fleksibel tapi mampu mencegah manipulasi administrasi. Barangkali hal ini menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan percepatan perhutanan sosial.

Selain kebijakan, salah satu kunci keberhasilannya terletak pada bagaimana perencanaan operasional antarlembaga disusun dan dijalankan. Amanat seperti pembentukan kelompok kerja lintas kementerian dan lembaga mesti diterapkan secara maksimal untuk berkoordinasi, menyelaraskan, dan memadukan program-program.

Hal ini juga termasuk memastikan untuk strategi apa yang perlu ditempuh agar target perhutanan sosial pada 2030 dapat tercapai.

---

Artikel ini ditulis oleh Hariadi Kartodihardjo, guru besar kebijakan perhutanan IPB University. Terbit pertama kali di The Conversation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 1 Mei 2024

  • 30 April 2024

  • 29 April 2024

  • 28 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan