maaf email atau password anda salah


Langkah Hadapi Ancaman Penyebaran Konten Intim

Bagaimana menghadapi ancaman penyebaran konten intim tanpa persetujuan? Simak uraiannya di Klinik Hukum Perempuan.

arsip tempo : 172800185751.

Ilustrasi perempuan menerima ancaman penyebaran konten intim. Foto: Freepik. tempo : 172800185751.

SAYA Yana. Teman saya diancam oleh pacarnya yang akan menyebarkan foto bugilnya. Bagaimana saya dapat memberi dukungan dan membantu menyelesaikan permasalahan teman saya? Saya harus lapor ke mana?


Jawaban: 

Halo, Yana. Saya Tutut Tarida dari Advokat Gender. Sebelumnya, terima kasih telah berupaya membantu korban dengan berkonsultasi pada Klinik Hukum Perempuan. Namun, sebelum menjawab pertanyaan Yana, saya ingin menyampaikan beberapa hal penting yang perlu diketahui untuk membantu korban. Saya akan menjelaskan "Panduan Sigap Hadapi Penyebaran Konten Intim Non-Konsensual" yang disusun @awasKBGO bekerja sama dengan Advokat Gender dan SAFEnet. 

Pertama: Bantu Identifikasi Kebutuhan Korban

Ancaman penyebaran foto bugil merupakan salah satu bentuk penyebaran konten intim tanpa persetujuan atau penyebaran non-konsensual, yang dampaknya sangat berat bagi korban. Korban pasti bertanya-tanya, apakah ada yang dapat membantu menyelesaikan permasalahannya atau tidak. Tentu sebagai teman, Anda dapat membantu korban memahami apa yang sebenarnya terjadi dengan mengidentifikasi kebutuhannya sebagai berikut.

  1. Psikologis
    Menghadapi situasi ini tentu dapat sangat berdampak pada kondisi psikologis korban. Layanan psikologis dapat membantu proses pemulihan kondisi psikologis korban dari trauma yang dihadapi.
  2. Hukum
    Layanan bantuan hukum dapat membantu korban dalam mencari keadilan dan penyelesaian melalui proses hukum.

  3. Teknologi
    Ihwal keamanan digital, terutama membantu dalam proses pelaporan kepada platform digital yang bersangkutan. Biasanya platform digital memiliki panduan keamanan digital.

Sebagai teman, Anda dapat membantu mencarikan dan mengarahkan korban untuk mengakses layanan di atas sesuai dengan kebutuhannya. Anda juga dapat mendukung pemulihan hingga korban siap mencari keadilan.

Ilustrasi perempuan menerima ancaman penyebaran konten intim. TEMPO/Nita Dian

Kedua: Bantu Korban Pahami Penyebaran Konten Intim Non-Konsensual Adalah Tindak Pidana

Jika korban secara psikologis sudah stabil dan siap mencari opsi penyelesaian atas kasus tersebut, Anda dapat membantunya memahami bahwa penyebaran konten intim non-konsensual merupakan tindak pidana kekerasan seksual berbasis elektronik. Ancaman pidananya diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Lebih lanjut, Anda dapat membantu mengidentifikasi tindak pidana apa saja yang terjadi sebagai berikut.

Jika perekaman atau pengambilan gambar konten intim tersebut atas kehendak dan persetujuan orang yang menjadi obyek perekaman atau gambar, yang menjadi permasalahan pidana adalah tindakan ancaman penyebarannya.

“Setiap orang yang tanpa hak mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik. Dalam hal perbuatan dilakukan dengan maksud untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”

Pasal 14 ayat 1 huruf b dan ayat 2 huruf a UU TPKS

Namun, jika perekaman atau pengambilan gambar konten intim tersebut di luar kehendak dan tanpa persetujuan orang yang menjadi obyek perekaman atau gambar, yang diancam pidana adalah tindakan perekaman, termasuk ancaman penyebarannya:

“Setiap orang yang tanpa hak melakukan perekaman dan/atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar, dan mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik. Dalam hal perbuatan dilakukan dengan maksud untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”

Pasal 14 ayat 1 huruf a, b dan ayat 2 huruf a UU TPKS

Mengingat situasi dan kondisi yang dihadapi korban berbeda-beda, penanganan penyebaran konten intim non-konsensual tidak memiliki solusi tunggal serta membutuhkan partisipasi korban. Namun, secara umum, Anda dapat membantu korban untuk: 

  1. Menyimpan barang bukti
    Untuk menghindari trauma, korban dapat menyimpan barang bukti di tempat yang tidak terlihat, tapi aman. Direkomendasikan untuk menyimpan barang bukti dalam bentuk catatan kejadian kronologis untuk memudahkan korban saat mencari bantuan atau melapor ke polisi. Catatan kejadian ini dapat mengurangi kebutuhan untuk berulang kali menceritakan kekerasan yang dialami.

  2. Memutuskan komunikasi dengan pelaku
    Korban dapat menutup semua jalur komunikasi dengan pelaku untuk menghindari ancaman yang dilakukan secara terus-menerus dan mengurangi tingkat kecemasan. Memutus komunikasi dengan pelaku dapat dilakukan dengan memblokir kontak pelaku, deaktivasi akun media sosial sementara waktu, serta mengganti atau menghapus akun secara permanen.

    Namun, jika korban belum dapat memutuskan komunikasi dengan pelaku, sebaiknya korban tidak menuruti keinginan atau permintaan pelaku dengan mengulur waktu sampai korban mendapatkan bantuan. Menuruti kehendak pelaku sering kali tidak akan menghentikan ancaman atau intimidasi karena pelaku akan terus mengulanginya.

  3. Memetakan risiko
    Pemetaan risiko pada kasus ancaman penyebaran konten intim non-konsensual bertujuan mencari tahu kebutuhan utama dan hal-hal yang dapat diantisipasi selanjutnya. Anda bisa membantu korban untuk mengidentifikasi dan memetakan beberapa hal penting, seperti:

    - Kekhawatiran utama dalam menghadapi ancaman penyebaran konten ini
    - Informasi tentang diri korban yang dimiliki pelaku
    - Konten intim yang dimiliki pelaku menunjukkan wajah atau hal lain yang dapat mengidentifikasi diri korban secara jelas
  4. Melaporkan ke platform digital
    Melaporkan akun media sosial atau unggahan yang dibuat pelaku pada platform digital tempat kekerasan seksual terjadi dilakukan untuk mencegah konten intim tersebar lebih lanjut dan menghindari teror dari pelaku.

Ilustrasi perempuan menerima ancaman penyebaran konten intim. TEMPO/Nita Dian

Ketiga: Bantu Korban Mempertimbangkan dan Memilih Opsi Penyelesaian

Terdapat dua opsi penyelesaian yang dapat ditempuh oleh korban, yakni melalui jalur litigasi dan non-litigasi. 

Litigasi

Setelah disahkannya UU TPKS, penyelesaian perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak (Pasal 23). Kekerasan seksual berbasis elektronik merupakan delik aduan, kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas (Pasal 14 ayat 3). 

Dalam pertanyaan Anda tidak diinformasikan lebih lanjut, apakah korban adalah anak atau penyandang disabilitas. Jika korban adalah orang dewasa, orang yang dapat melaporkan kepada pihak kepolisian adalah korban langsung yang dirugikan atas kekerasan seksual yang terjadi. Anda sebagai teman tidak dapat secara langsung melaporkan hal tersebut ke kepolisian. Namun Anda tetap dapat berpartisipasi memberikan informasi ihwal adanya kejadian tindak pidana kekerasan seksual kepada aparat penegak hukum, lembaga pemerintah, dan lembaga non-pemerintah (Pasal 85 ayat 3 huruf a UU TPKS).

Jika ingin membantu korban dalam melakukan penyelesaian jalur hukum, Anda dapat menyampaikan hal-hal yang perlu disiapkan untuk pelaporan ke polisi. 

  1. Persiapan Psikis
    Pastikan memiliki sistem pendukung, seperti keluarga dan sahabat, termasuk pendampingan psikologis bila diperlukan karena prosesnya bisa memakan waktu panjang.

  2. Mencari Pendamping Hukum
    Semakin banyak lembaga bantuan hukum yang memberikan layanan gratis diharapkan dapat membantu korban, seperti dalam memetakan risiko, di antaranya mendiskusikan skenario-skenario yang ada kemungkinan terjadi saat melakukan proses hukum, termasuk mengantisipasi risiko balas dendam dari pelaku.

  3. Persiapan Dokumen 
    Memuat identitas pelaku yang diketahui, tempat dan waktu kejadian, kronologi kejadian, kerugian yang dialami, unsur pidana yang dilakukan pelaku, serta daftar bukti dan saksi. 

Dalam proses litigasi ini, Anda juga bisa membantu korban untuk memperhatikan beberapa hal, seperti apakah korban hanya ingin membuat pelaku berhenti melakukan ancaman dengan adanya bukti pelaporan ke polisi atau penetapan tersangka—terlepas dari perkaranya dilanjutkan ke tahap penyidikan atau tidak? Apakah korban ingin kasus dilanjutkan hingga proses persidangan dan pelaku dihukum penjara atau hanya ingin mengajukan permohonan ganti rugi kepada pelaku?

Sambil menjalani proses itu, korban perlu mempersiapkan diri saat menghadapi tahapan-tahapan yang harus dilalui, dari pelaporan, penyelidikan, sampai penyidikan. 

Non-Litigasi 

Dalam kasus kekerasan seksual, bukan hal yang tidak mungkin korban atau keluarga korban memilih penyelesaian kasus melalui musyawarah atau mediasi. Yang dapat Anda lakukan jika korban memilih penyelesaian jalur ini adalah mengedukasi tentang hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan yang dijamin dalam UU TPKS sebelum, selama, dan setelah proses peradilan. Korban, keluarga, atau pendamping juga berhak mendapatkan pelindungan untuk tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata.

Anda juga dapat membantu korban atau keluarga korban dalam memetakan dan memitigasi risiko dalam setiap kesepakatan penyelesaian kasus kekerasan seksual serta dampaknya bagi korban. Anda dapat mendampingi korban atau keluarga korban agar terhindar dari upaya manipulasi oleh pelaku, seperti mengaburkan tindak pidana kekerasan seksual yang terjadi. Korban atau keluarga korban pun perlu dipastikan agar menghindari kesepakatan yang tidak memberikan keadilan atau bahkan merugikan.

Tutut Tarida
Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender

Klinik Hukum Perempuan tayang dwimingguan untuk menjawab dan memberikan informasi di seputar isu hukum perempuan. Rubrik ini hasil kerja sama Koran Tempo, Konde.co, LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, dan Perempuan Mahardhika. 

Jika Anda atau kolega mengalami pelecehan seksual dan membutuhkan pendampingan hukum, Anda dapat menghubungi LBH APIK Jakarta atau Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 4 Oktober 2024

  • 3 Oktober 2024

  • 2 Oktober 2024

  • 1 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan