Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Anak-anak yang obesitas dan keluarganya punya riwayat diabetes punya risiko lebih besar.
Gejala penyakit itu pada anak sama seperti pada orang dewasa.
Keluarga perlu mengubah gaya hidup agar lebih sehat, seperti mengatur makanan dan rajin berolahraga.
Anita Sabidi , 38 tahun, sempat shocked ketika didiagnosis menderita diabetes melitus tipe 1 saat berusia 13 tahun. Situasi itu sering membuatnya tak nyaman. Dalam satu jam, ia beberapa kali minta izin ke toilet. Saat ulangan pun, ia tak bisa berkonsentrasi karena harus bolak-balik ke kamar kecil. Selain itu, ia sering minta izin ke UKS karena kerap kali merasa tiba-tiba lemas. Hingga suatu ketika, ia pingsan dan didiagnosis menderita diabetes melitus tipe 1.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyakitnya itu terlambat didiagnosis karena kesadaran keluarganya tentang diabetes melitus masih rendah. Awalnya, ia menampik kondisinya. Namun lambat laun ia harus menerimanya meski sulit. “Waktu itu untuk membawa insulin dan suntikan insulin sangat berat. Takut kalau ada guru tiba-tiba memeriksa,” ujar Anita Sabidi dalam diskusi Instagram Live Mitos dan Fakta Seputar Diabetes Melitus pada Anak dan Remaja, Kamis, 11 November 2021. Pada usia 17 tahun, ia memakai pompa insulin sebagai pengganti suntikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anita adalah perwakilan Ikatan Diabetes Anak dan Remaja (Ikadar), kelompok yang memberi dukungan kepada mereka yang mempunyai penyakit gula ini. Ia telah menjalani hidup dengan diabetes selama 25 tahun. Berkaca pada pengalamannya, sejak bayi ia selalu memeriksa gula darah kedua anaknya jika mereka lemas, demam, atau ada gejala lain. Apalagi putra sulungnya sempat dalam keadaan pradiabetes pada usia 5 tahun. Saat putranya bersekolah TK, Anita juga iseng menghitung berapa kali putranya ke kamar kecil.
Anita dan keluarganya pun sangat berdisiplin mengatur gaya hidup mereka, terutama untuk asupan makanan. Mereka tetap menjalani diet dengan mengatur jumlah kalori yang dikonsumsi dan berpantang makanan manis. “Tetap makan nasi, tapi porsi dikurangi, lebih banyak makan sayur yang mengandung serat dan lebih mengenyangkan,” ujarnya. Putranya pun diminta banyak bergerak dan berolahraga, seperti bersepeda.
Shutterstock
Diabetes melitus (DM) bukan hanya mitos penyakit orang dewasa atau lanjut usia. Ketua Divisi Endokrinologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM, Dr Frida Soesanti, SpA (K), menjelaskan saat ini di Indonesia terdapat sekitar 1.400 anak dengan diabetes melitus tipe 1. “Ini seperti puncak gunung es, yang tidak terdiagnosis mungkin lebih banyak lagi,” ujar Frida dalam diskusi tersebut.
Menurut dia, diabetes pada anak lebih banyak tipe 1, yakni karena kerusakan kelenjar pankreas. Anak dan remaja juga punya risiko sebagai penyandang diabetes tipe 2 karena gaya hidup seperti orang dewasa. Anak dan remaja menghadapi risiko lebih besar jika ia mengalami obesitas dan punya riwayat keluarga dengan diabetes melitus.
Gejala penyakit itu pada anak, kata Frida, sama seperti pada orang dewasa. Biasanya mereka sering buang air kecil, minum banyak dan terus merasa haus, lemas, berat badan menurun drastis, sampai ngompol. Jika lupa disiram, air kencingnya pun disemuti. Ia mengingatkan orang tua untuk memperhatikan tanda-tanda ini, terutama pada anak dengan obesitas.
Ia juga mengingatkan para orang tua untuk mencegah anaknya mempunyai berat badan berlebih ataupun terlalu kurus. “Jangan happy kalau anak gemuk, obese. Bukan lucu lagi, tapi berisiko. Ada risiko DM, kolesterol, dan darah tinggi juga. Harus yang sedang (berat badan), jangan kurus juga,” ujarnya.
Ilustrasi anak memeriksa darah. Shutterstock
Anak usia di atas 10 tahun dengan obesitas berisiko terkena DM tipe 2. Apalagi jika punya riwayat keluarga dengan penyakit yang sama, risikonya lebih besar. Frida menganjurkan, jika ada keluarga yang diabetes, stroke, sakit jantung, dan anak dengan obesitas harus mulai menjalani screening dan berkonsultasi dengan dokter. Ini upaya pencegahan DM tipe 2. Selanjutnya, mengubah gaya hidup agar lebih sehat, baik dari makanan maupun olahraga.
“Tidak bisa hanya menyuruh anaknya tidak boleh makan ini-itu, sementara ayah ibunya makan sembarangan. Semua, satu keluarga, harus mengubah kebiasaan.”
Para dokter anak, kata Frida, kini juga berupaya memberikan edukasi kepada anak dan orang tua demi mendukung semangat pasien dan tumbuh-kembang anak. “Edukasi kepada orang tua dan sekolah penting dilakukan.” Menurut dia, walau hidup dengan DM, mereka bisa hidup normal seperti biasa. “Dengan insulin seumur hidup, anak-anak tetap bisa hidup dengan normal. Bisa jadi apa pun, gaul seperti kawan-kawannya,” kata dia.
Frida mengatakan, IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) juga sedang berupaya mengedukasi masalah diabetes kepada sekolah, guru, dan teman-teman pasien. Dengan demikian, orang tua dan guru bisa menjaga anak dan remaja dengan diabetes ini. “Memang ini tantangan ya, berat, tapi butuh waktu dan proses. Jadi, mari kita dampingi mereka.”
Frida menegaskan, DM tipe 2 bisa dicegah dengan pola hidup sehat, dari makanan dan olahraga sejak dini hingga menghindari obesitas. Ia meminta orang tua untuk memastikan anak harus bergerak dan beraktivitas fisik. Sementara DM tipe 1 tidak bisa diprediksi. Tapi hal penting yang bisa dilakukan adalah deteksi dini.
DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo