Pernah menghitung berapa denyut jantung Anda per menit? Ukurlah irama denyut nadi di pergelangan tangan atau di bagian leher. Angka normal untuk orang dewasa adalah 60-100 detak (rata-rata 80 detak) per menit. Nah, jika denyut jantung Anda 100-175 denyut per menit alias lebih cepat dari ukuran normal, waspadalah. Fibrilasi atrium sedang mengintai Anda.
Fibrilasi atrium merupakan kelainan irama jantung ketika serambi (atrium) jantung berdenyut dengan tidak beraturan dan cepat. Kondisi ini meningkatkan risiko terjadinya penggumpalan darah, stroke, dan gagal jantung. Penderita kelainan ini memiliki risiko lima kali lebih tinggi mengalami stroke dibanding orang tanpa kelainan itu.
Denyut cepat dan tak beraturan itu akan menyebabkan bekuan darah di jantung, yang bila lepas ke sirkulasi sistemik, dapat menyebabkan stroke. Kelumpuhan merupakan bentuk kecacatan yang sering dijumpai pada kasus stroke dengan pada kelainan ini. Di Indonesia, 37 persen pasien fibrilasi atrium berusia kurang dari 75 tahun.
Jumlah penderita stroke di Indonesia mengalami peningkatan cukup besar. Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa jumlah penderita stroke pada 2007 adalah 8,3 per 1.000 penduduk. Pada 2013, ada peningkatan menjadi 12,1 per 1.000 penduduk.
Satu dari enam pasien stroke disebabkan oleh fibrilasi atrium. Prevalensi ini makin meningkat dengan 1-2 persen dari masyarakat mengalami gangguan tersebut. Ketakteraturan denyut jantung dapat mempengaruhi kinerja peredaran darah dan oksigen dalam tubuh.
Dokter spesialis jantung, Daniel Tanubudi, mengatakan adanya bekuan darah justru akan makin berbahaya. Bekuan darah yang terbentuk di jantung bisa mengalir menuju pembuluh darah di otak. "Ketika bekuan darah itu sampai di pembuluh darah otak, yang terjadi adalah penyumbatan. Bagian otak tidak akan mendapat suplai darah, dan kondisi tersebut berujung pada stroke," kata Daniel dalam acara "Kabar Baik bagi Pasien Fibrilasi Atrium di Asia, Hasil Studi XANAP" di Hotel Double Tree, Jakarta Pusat, pekan lalu.
Daniel mengatakan, ketika kita mengukur denyut jantung, dan mendapati tidak normal, kita harus memeriksakan diri ke rumah sakit. Apabila pasien yang mengalami gejala fibrilasi atrium atau sudah memiliki penyakit stroke wajib meminum obat pengencer darah.
"Beberapa gejala fibrilasi atrium dan stroke, yang disebut dengan ‘SEGERA’, meliputi senyuman yang tidak simetris pada wajah, bicara pelo atau tiba-tiba tidak dapat berbicara, kebas atau kesemutan pada separuh tubuh," kata Daniel, yang juga berpraktik di Rumah Sakit Eka Hospital, Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan. "Ada pula yang rabun pandangan sebelah, mata kabur, serta sakit kepala hebat secara tiba-tiba."
Daniel pun menyarankan siapa pun untuk rajin berolahraga, menghindari merokok dan minuman keras, serta bergaya hidup sehat agar denyut jantung berlangsung normal. "Harus sering dilakukan sosialisasi gerakan masyarakat hidup sehat, hindari makanan cepat saji," tuturnya.
Beberapa metode yang bisa dilakukan untuk mengatasi fibrilasi atrium, menurut Daniel, adalah menggunakan alat kejut jantung. Cara kerjanya, jantung akan berhenti untuk sesaat, setelah itu berdetak kembali seperti semula. "Metode lain yang bisa dilakukan adalah ablasi. Pasien akan dibius lokal, kemudian dimasukkan sebuah alat berupa kabel," ucapnya. "Cara kerjanya, kabel tersebut akan membakar beberapa otot bagian dalam jantung yang menyebabkan jantung tidak berdetak beraturan."
Dokter spesialis saraf dan staf medis divisi neurovaskular dan stroke Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Mohammad Kurniawan, mengatakan hasil studi XANAP (Rivaroxaban for Prevention of Stroke in Patients with Atrial Fibrillation in Asia) memberi kabar baik bagi pasien fibrilasi atrium di Indonesia. Studi ini dipublikasikan di The Journal of Arrhythmia (publikasi resmi Perkumpulan Heart Rhythm Asia Pasifik dan Jepang). Rivaroxaban adalah obat pengencer darah.
Studi XANAP melibatkan 2.273 pasien di 10 negara Asia, termasuk 126 pasien dari Indonesia. "Penelitian ini merupakan studi pertama dan terbesar di Asia yang meneliti penggunaan anti-koagulan (pengencer darah) oral antagonis non-vitamin K (NOAC) Rivaroxaban pada populasi pasien yang besar dengan gangguan ritme jantung non-valvular fibrilasi atrium," ujar dokter peneliti investigator utama studi XANAP ini.
Menurut Kurniawan, data menunjukkan rendahnya tingkat perdarahan (1,5 persen per tahun) dan rendahnya tingkat kejadian stroke (hanya 1,7 persen per tahun) pada pasien fibrilasi atrium yang diterapi dengan Rivaroxaban. Studi ini juga mengkonfirmasi bahwa Rivaroxaban memiliki tingkat keamanan dan keyakinan yang kuat pada pasien untuk sembuh.
"Lebih dari 96 persen pasien yang diobati dengan Rivaroxaban dalam penelitian ini tidak mengalami perdarahan mayor, stroke atau emboli sistemik, ataupun kematian karena penyebab apa pun," ujar Kurniawan. "Penelitian ini melibatkan pasien lanjut usia dengan berbagai tingkat risiko stroke serta berbagai penyakit penyerta medis yang signifikan, termasuk gagal jantung, hipertensi, diabetes melitus, dan stroke."
Obat-obatan antikoagulan, menurut Kurniawan, adalah terapi untuk mencegah atau mengobati penyakit serius yang berpotensi mengancam jiwa. Sebelum memulai terapi dengan obat-obatan antikoagulan, dokter harus tepat dalam menilai manfaat dan risiko untuk tiap kondisi pasien.
Soal aturan pakai berapa lama obat pengencer harus diminum, misalnya, dalam berbagai studi disebutkan sekitar dua tahun. "Tapi kami di dunia medis biasanya merekomendasikan harus meminum seumur hidup, apalagi pada pasien dengan filtrasi atrium, karena ada risiko gangguan pembuluh darah ke otak seumur hidup," tutur Kurniawan.
Masyarakat, Kurniawan menyebutkan, penting pula memanfaatkan golden period penyakit stroke dengan segera membawa seseorang ke rumah sakit. Periode emas itu berlangsung sekitar tiga jam setelah serangan agar kecacatan akibat rusaknya pembuluh darah di otak yang lebih luas terhindar.
"Ada yang mengatakan seseorang kena stroke ringan. Ucapan seperti itu hanya dokter yang menentukan karena pada setiap pasien stroke ada skor masing-masing untuk menentukan kondisinya," ujarnya. MUHAMMAD KURNIANTO