JAKARTA – Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei nasional soal tren persepsi publik tentang demokrasi, korupsi, dan intoleransi. Sebanyak 83 persen warga menilai demokrasi adalah bentuk pemerintahan terbaik. Namun, berdasarkan survei tersebut, angka itu tidak sejalan antara dukungan publik terhadap demokrasi dan sikap pro-pemberantasan korupsi.
Peneliti senior Lembaga Survei Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan idealnya dukungan terhadap demokrasi berbanding lurus terhadap sikap antikorupsi dari warga negaranya, seperti akuntabilitas, keterbukaan, dan kesetaraan. "Tapi ini belum mewarnai sikap warga terhadap korupsi," ujar Burhanuddin di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, kemarin.
Temuan LSI menyebutkan mayoritas warga atau sebanyak 67 persen warga berpendapat bahwa pemberian uang atau hadiah ketika berinteraksi dengan instansi pemerintah adalah hal tidak wajar. Namun masih ada 27 persen warga yang menilai pemberian gratifikasi adalah wajar. Burhanuddin mengatakan interaksi warga dengan pegawai pemerintah paling banyak untuk mengurus kelengkapan administrasi publik, pelayanan kesehatan, sekolah negeri, dan kepolisian.
Ia menyebutkan probabilitas tindakan korupsi terjadi ketika warga berurusan dengan polisi. Dari 10,7 persen warga yang berinteraksi dengan polisi, sebanyak 33,7 persen melakukan praktik korupsi. "Di antaranya pernah diminta memberi hadiah atau uang di luar biaya resmi," ujar dia. Praktik korup terbesar juga diikuti instansi pengadilan.
Survei nasional LSI ini melibatkan 1.520 responden dengan metode multi-stage random sampling. Survei dilakukan pada Agustus 2018 dengan wawancara tatap muka terlatih. Margin of error sebesar +/- 2,6 persen pada tingkat kepercayaan mencapai 95 persen.
Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo mengatakan tidak segarisnya dukungan masyarakat pada demokrasi dan sikap antikorupsi mengejutkan. Ia berkaca pada sejumlah negara yang tak menerapkan demokrasi sebagai sistem negara tapi memiliki kebijakan antikorupsi lebih baik, seperti Singapura. "Kalau demokrasi kita menang banyak, tapi soal antikorupsi di sana lebih bagus," ujarnya.
Menurut dia, kecenderungan masyarakat kini hanya melihat persepsi korupsi dari banyaknya operasi tangkap tangan dari penegak hukum. Padahal, menurut dia, persepsi meningkatnya korupsi di suatu negara tidak bisa diukur dari pelaku korupsi yang ditangkap. ARKHELAUS W. | FRISKI RIANA