Benang Kusut Perkawinan Anak
Revisi UU Perkawinan tak menghentikan kasus perkawinan anak. Penyebabnya dari kehamilan, budaya patriarki, sampai krisis iklim.
Perkawinan anak membawa dampak buruk bagi masa depan anak, khususnya untuk anak perempuan. Perempuan yang menikah di usia anak berisiko besar mengalami gangguan kesehatan reproduksi, kematian ketika melahirkan, putus sekolah, kekerasan, kesehatan mental, dan rentan kemiskinan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022 menunjukkan adanya tren penurunan angka perkawinan anak di Indonesia. Proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin atau hidup bersama sebelum umur 18 tahun selama 2022 sebesar 8,06 persen. Angka ini lebih rendah daripada tahun-tahun sebelumnya, yakni 9,23 persen pada 2021 dan 10,35 persen pada 2020.
Berdasarkan data Badan Peradilan Agama, terdapat 50.673 dispensasi perkawinan anak yang diputus Pengadilan Agama pada 2022. Jumlah ini lebih rendah 17,54 persen dibanding pada 2021. Meski tren tiga tahun terakhir menunjukkan penurunan, terjadi lonjakan tinggi dispensasi perkawinan anak pada periode awal Covid-19, yakni dari 23.145 pada 2019 menjadi 63.382 pada 2020.
Hasil riset terbaru PUSKAPA Universitas Indonesia terhadap putusan dispensasi perkawinan Pengadilan Agama seluruh Indonesia menunjukkan tren serupa: penurunan jumlah dispensasi perkawinan anak selama 2020-2022. Terdapat 70 persen perkawinan anak dari 40 putusan pada 2020, 60 persen dari 40 putusan pada 2021, dan 53,66 persen dari 41 putusan pada 2022.
Baca: Tantangan Menekan Perkawinan Anak
Meski demikian, prevalensi perkawinan anak di Indonesia masih sangat mengkhawatirkan dan terhitung tinggi jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Data UNICEF menempatkan Indonesia di peringkat ke-8 di dunia dan tertinggi ke-2 di Asia Tenggara dalam hal persentase perkawinan anak usia di bawah 18 tahun.
Prosesi pernikahan di Makassar. Dok Tempo/Fahmi Ali
Kemajuan dalam Kebijakan Perkawinan Anak
Advokasi kebijakan perkawinan anak oleh gerakan perempuan di Indonesia menunjukkan banyak kemajuan. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas minimal usia perkawinan bagi perempuan disamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi laki-laki, yaitu 19 tahun. Sebelumnya, dalam UU Perkawinan, batas usia minimal bagi perempuan adalah 16 tahun.
Advokasi perkawinan anak juga berlanjut melalui UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pasal 10 menyebut perkawinan paksa sebagai salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Perkawinan paksa yang dimaksudkan termasuk perkawinan anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, dan pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku pemerkosaan.
Revisi UU Perkawinan dan lahirnya UU TPKS memuat semangat untuk menghapus perkawinan anak di Indonesia.
Selain itu, Indonesia memiliki Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) 2020-2024. Dua dari tujuh prinsip Stranas PPA adalah hak anak dan kesetaraan gender. Perkawinan anak ditempatkan sebagai isu kunci pembangunan sumber daya manusia.
Terlepas dari sejumlah kemajuan dalam hal kebijakan dan aturan hukum, angka perkawinan anak di Indonesia masih relatif tinggi. Untuk bisa menghasilkan solusi yang tepat sasaran, perlu kita telaah lebih jauh faktor apa saja yang mendorong terjadinya perkawinan anak.
Faktor Penyebab Perkawinan Anak
Berbagai riset menunjukkan ada beragam faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak.
Riset terbaru menunjukkan kehamilan yang tidak diinginkan di kalangan remaja menjadi salah satu faktor pendorong perkawinan anak di Indonesia.
Sementara itu, riset PUSKAPA UI (2023) mencatat 36,36 persen dari total perkawinan anak yang diputus Pengadilan Agama pada 2022 adalah karena alasan anak telah hamil. Ini berarti sekitar sepertiga dari pengajuan dispensasi perkawinan diajukan karena alasan kehamilan pada anak.
Salah satu riset di Sukabumi, Jawa Barat, menunjukkan ketakutan akan zina, pendidikan rendah, dan kemiskinan menjadi faktor penyebab tingginya angka perkawinan anak di daerah itu.
Riset terhadap suku Dayak Mali di Kalimantan Barat menunjukkan kemiskinan menjadi faktor perempuan dari suku tersebut melakukan perkawinan di usia anak. Ketiadaan akses pekerjaan dan mengalami kehamilan pada usia anak juga menjadi faktor pendorong perkawinan anak.
Ada pula riset yang menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya berpengaruh terhadap praktik perkawinan anak, seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Barat. Praktik perkawinan anak pada umumnya terjadi melalui mekanisme merariq (lari bersama). Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk merariq adalah kedewasaan. Sementara itu, anak perempuan di komunitas adat Sasak dianggap telah dewasa dan siap menikah apabila mampu menenun ataupun mengolah mutiara meskipun baru masih berusia 14 tahun.
Secara garis besar, sebagian besar faktor yang mendorong perkawinan anak berakar pada budaya patriarki yang menempatkan perempuan di posisi subordinat dalam berbagai aspek. Anak perempuan dari keluarga miskin, misalnya, sering kali tidak mendapatkan akses pendidikan tinggi dan dianggap menjadi beban ekonomi keluarga. Di sisi lain, akses pekerjaan layak dan pendidikan seksual komprehensif (comprehensive sexuality education/CSE) masih belum tersedia secara memadai di Indonesia.
Ilustrasi buku nikah. Shutterstock
Krisis Iklim
Selain faktor-faktor di atas, krisis iklim berpengaruh terhadap ketidakadilan gender.
Perempuan dan anak perempuan sering kali dibebani tanggung jawab untuk mengumpulkan air dan bahan bakar, mencari makanan, serta menyiapkan makanan untuk keluarga. Dalam situasi bencana, perempuan bekerja dengan waktu yang lebih lama untuk mengakses sumber pangan dan air bersih. Beberapa di antaranya harus bermigrasi sebagai bentuk adaptasi terhadap krisis iklim.
Contoh nyatanya adalah perempuan di wilayah pesisir Lombok dan Jawa Timur yang harus menanggung beban kerja berlapis serta kesulitan ekonomi akibat kekeringan ekstrem dan banjir.
Krisis iklim bisa menjadi persoalan gender karena perempuan sering mengalami dampak lebih buruk dibanding laki-laki. Krisis iklim memperburuk ketidaksetaraan gender yang sudah ada sebelumnya bagi perempuan dan anak perempuan. Krisis iklim juga secara spesifik berkorelasi terhadap meningkatnya angka perkawinan anak.
Hasil riset menemukan bahwa bencana alam (gempa bumi, tsunami, banjir, badai, tanah longsor, letusan, kekeringan, kebakaran, dan air pasang) meningkatkan kerentanan perempuan untuk menikah di usia anak. Menikahkan anak perempuan menjadi salah satu pilihan dan strategi keluarga untuk keluar dari dampak negatif bencana.
#GerakBersama Menghapus Perkawinan Anak
Perkawinan anak adalah persoalan multidimensi sehingga diperlukan #GerakBersama semua pihak. Kebijakan yang tersedia menjadi instrumen penting, tapi itu saja tidak cukup. Diperlukan perubahan cara pandang yang radikal, dari tingkat individu, keluarga, komunitas, pasar tenaga kerja, hingga negara.
Di level individu, anak-anak harus mendapatkan pengetahuan mengenai bahaya perkawinan anak. Di level keluarga, suara dan aspirasi anak perempuan atas pendidikan juga perlu didengar sama halnya dengan anak laki-laki. Di tingkat komunitas (masyarakat, adat, agama) perlu dibangun ruang aman bagi anak untuk mewujudkan cita-citanya.
Di level pasar, peluang pekerjaan layak harus lebih banyak lagi tersedia bagi perempuan, alih-alih menjadikan perempuan sebagai buruh berupah murah. Di level negara, perlu dipastikan bahwa semua kebijakan dan instrumen bukan sekadar dokumen dan ceklis, tapi juga implementatif.
Agenda penghapusan perkawinan anak perlu menjadi arus utama dan melibatkan suara anak.
---
Artikel ini ditulis oleh Anti Misbahul Pratiwi, peneliti dari Pusat Riset Gender Universitas Indonesia dan mahasiswa doktoral University of Leeds. Terbit pertama kali di The Conversation.