NEW DELHI—India kemarin melaporkan rekor peningkatan kasus baru Covid-19 dalam sehari, mencapai lebih dari 90 ribu kasus. Angka yang juga merupakan rekor dunia itu mendorong total kasus infeksi virus SARS-CoV-2 itu di India menembus 4,11 juta orang dengan 70.626 kematian.
Angka itu hampir mendekati jumlah kasus yang dilaporkan Brasil, yang saat ini menjadi negara kedua paling parah di dunia terkena dampak pandemi. Hingga kemarin, Brasil mencatat 4,12 juta kasus dengan 126 ribu kematian.
Jika tren peningkatan terus berlanjut, India hari ini diprediksi menyalip Brasil dalam jumlah infeksi Covid-19. Keduanya berada di bawah Amerika Serikat, yang menyumbang 6,4 juta dari total 26,9 juta kasus Covid-19 di dunia hingga kemarin.
Dengan peningkatan dari 3 juta kasus menuju 4 juta kasus hanya dalam 13 hari, tingkat infeksi di India sekarang lebih cepat dibanding di AS dan Brasil. Para pakar kesehatan pun memperkirakan, pada akhir September, India bisa menggeser AS di posisi teratas sebagai negara yang paling parah terkena dampak pandemi.
India juga menjadi negara dengan angka kasus harian Covid-19 tertinggi di dunia selama hampir satu bulan. Hal ini terjadi seiring usaha pemerintah India untuk mendorong kembali perekonomian dengan mengizinkan pembukaan kembali sejumlah tempat usaha.
Awalnya, virus menyebar di kota-kota India yang luas dan sering kali padat penduduk. Kini, penyakit ini telah meluas ke hampir setiap negara bagian di India, menyebar hingga ke desa-desa dan kota-kota kecil, di mana akses ke perawatan kesehatan menjadi lumpuh.
“Pandemi tidak akan selesai tahun ini karena virus telah menyebar dari kota-kota besar ke seluruh negara bagian India,” kata Randeep Guleria, Direktur Institut Ilmu Kedokteran India di New Delhi, dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi India Today.
Sebagian besar kasus di India terjadi di negara bagian wilayah barat, Maharashtra, dan empat negara bagian selatan, yakni Tamil Nadu, Andhra Pradesh, Telangana, dan Karnataka.
Dengan populasi hampir 1,4 miliar orang, besarnya kasus Covid-19 di India tidak mengejutkan para ahli kesehatan. Respons negara yang lamban terhadap virus memaksa pemerintah menerapkan penguncian ketat pada akhir Maret.
Selama lebih dari dua bulan, ekonomi tetap bangkrut, mengulur waktu bagi sistem perawatan kesehatan yang kekurangan dana untuk bersiap menghadapi yang terburuk.
Bahkan ketika pengujian di India telah meningkat menjadi lebih dari satu juta per hari, penggunaan tes cepat antibodi untuk mendeteksi kasus Covid-19 justru menimbulkan banyak masalah.
Tes ini lebih murah dan memberikan hasil yang lebih cepat, tapi tidak seakurat tes usap tenggorokan atau swab. Akibatnya, banyak warga India yang terinfeksi Covid-19 justru memperoleh hasil negatif karena tubuh belum membentuk imunitas.
Di perdesaan Maharashtra, negara bagian yang paling parah terkena dampak dengan 863.062 kasus dan 25.964 kematian, dokter mengatakan sebagian besar warga telah meninggalkan tindakan pencegahan, seperti memakai masker dan mencuci tangan.
"Sekarang ada kelelahan perilaku," ujar Dr S.P. Kalantri, direktur sebuah rumah sakit di Desa Sevagram, Maharashtra. "Yang terburuk belum datang.”
Sementara itu, di Uttar Pradesh, negara bagian terpadat di India dengan sistem perawatan kesehatan terbatas, situasi sudah suram. Dengan total 253.175 kasus dan 3.762 kematian, negara bagian ini menghadapi lonjakan angka kasus dan kekurangan tempat tidur rumah sakit.
Sujata Prakash, seorang perawat di ibu kota negara bagian, Lucknow, baru-baru ini dinyatakan positif mengidap Covid-19. Tapi bangsal rumah sakit tempat ia bekerja menolaknya masuk karena tak ada tempat tidur kosong. Dia menunggu lebih dari 24 jam di luar bangsal bedah, duduk di kursi pasien, sebelum akhirnya dapat dirawat.
"Pemerintah bisa menghujani dengan kelopak bunga di rumah sakit atas nama prajurit corona (tenaga medis). Tapi, tidak bisakah pemerintah menyediakan tempat tidur ketika prajurit yang sama membutuhkannya?" tutur suami Sujata, Vivek Kumar.
Yang lainnya tidak seberuntung itu. Ketika jurnalis Amrit Mohan Dubey jatuh sakit pekan ini, teman-temannya menelepon pemerintah daerah untuk memanggil ambulans. Ambulans datang terlambat dua jam. Pada saat Dubey dibawa ke rumah sakit, dia mengembuskan napas terakhir.
"Seandainya ambulans tiba tepat waktu, kami bisa menyelamatkan Amrit," kata Zafar Irshad, sahabat Dubey.
REUTERS | AL JAZEERA | THE HINDUSTAN TIMES | ANADOLU | SITA PLANASARI AQUADINI
Tiada Lagi Masker di Perdesaan
Harmahan Deka tidak lagi memakai masker untuk menghindari Covid-19. Ia juga tak berusaha menjaga jarak aman dari orang lain.
Bagi 25 pria dan wanita yang bekerja bersamanya dalam bisnis bahan bangunan di dekat kota kecil Baihata Chariali, di Negara Bagian Assam, India, itu hidup kurang-lebih tetap seperti dulu, kata Deka.
"Virus tidak bisa menyerang saya, penyakit itu melemah," kata pria berusia 50 tahun itu. "Saya sering nongkrong di toko kelontong yang ramai tanpa masker, dan tidak terjadi apa-apa. Mungkin kami sudah mengalaminya tanpa gejala."
Di dua lusin kota kecil dan desa yang dikunjungi Reuters dalam beberapa pekan terakhir, sebagian besar warga telah menyerah menjaga jarak sosial dan memakai masker, setelah berbulan-bulan berpegang pada aturan.
Perubahan perilaku di perdesaan India ini--tempat dua pertiga dari 1,3 miliar penduduknya tinggal, sering kali hanya dengan fasilitas kesehatan paling dasar--menyebabkan angka infeksi di perdesaan melonjak. Hal ini menyebabkan tenaga medis kesal.
"Warga menganggap enteng virus hanya karena mereka menghirup udara segar dan makan sayuran segar," ujar Rajni Kant, anggota tim tanggap cepat Dewan Riset Medis India (ICMR), yang dibentuk negara untuk melawan pandemi.
"Infrastruktur kesehatan buruk di daerah perdesaan. Itulah sebabnya mereka harus menjaga jarak sosial, memakai masker, menghindari kerumunan, dan terus mencuci tangan. Jika tidak, mereka akan menderita."
L REUTERS | SITA PLANASARI AQUADINI