JINGZHOU – Sepuluh guci berisi abu jasad sejumlah orang tampak teronggok di sebuah krematorium di Jingzhou, sebuah kota di Provinsi Hubei, Cina tengah, tempat asal pandemi virus corona.
Tidak hanya melarang pemakaman, pemerintah Cina juga masih memerintahkan sejumlah warga di Hubei melakukan karantina. Akibatnya, banyak warga harus menunggu untuk mengambil sisa-sisa jasad kerabat yang mereka cintai.
Sheng-Direktur Krematorium Jingzhou yang hanya memberikan nama keluarganya-mengatakan bahwa abu warga yang meninggal kini berada di bawah perawatan mereka karena para anggota keluarganya berada dalam karantina.
“Tidak ada perpisahan, tidak ada upacara pemakaman yang diizinkan,” kata Sheng kepada Reuters tanpa basa-basi di kantornya, di gedung putih yang kosong itu, kemarin.
Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 700 ribu orang secara global dan menewaskan sekitar 34 ribu jiwa di lebih dari 200 negara. Bagi banyak orang, virus ini merenggut kesempatan keluarga untuk mengucapkan selamat tinggal terakhir.
“Pandemi ini membunuh dua kali,” ujar Andrea Cerato, yang bekerja di rumah duka di Milan, Italia, kepada BBC. “Pertama, wabah ini mengisolasi korban dari orang yang kita cintai tepat sebelum mereka meninggal. Lalu wabah ini tidak mengizinkan siapa pun untuk mendapatkan perpisahan secara layak. Keluarga pun hancur dan sulit menerima.”
Hingga kemarin, tercatat ada 97.689 kasus Covid-19 di Italia dengan 10.779 orang meninggal. Hal ini membuat Italia menjadi negara dengan jumlah kasus kematian terbanyak di dunia, atau sepertiga dari total kematian global.
Akibatnya, banyak pasien Covid-19 yang meninggal dalam isolasi rumah sakit tanpa keluarga atau teman. Pemerintah melarang mereka dikunjungi karena risiko penularannya terlalu tinggi.
Kendati otoritas kesehatan mengatakan virus tidak dapat ditularkan setelah korban meninggal, virus corona baru masih dapat bertahan hidup di pakaian selama beberapa jam. Ini berarti mayat harus segera disegel dan dimakamkan.
“Begitu banyak keluarga bertanya kepada kami apakah mereka dapat melihat mayat itu untuk terakhir kalinya, tapi hal tersebut dilarang,” tutur Massimo Mancastroppa, seorang pengurus di Cremona.
Bagi umat Islam, pemakaman korban meninggal akibat Covid-19 juga menjadi tantangan tersendiri. Mansur Ali, dosen studi Islam di Universitas Cardiff, mengatakan Dewan Cendekiawan dan Imam Inggris sekarang merujuk pada “poin hukum Islam yang jarang digunakan terkait dengan upacara penguburan”.
Misalnya, mereka mengizinkan jenazah tidak dimandikan seperti biasa dan kantong mayat dapat digunakan untuk menggantikan kain kafan.
Beberapa institusi permakaman muslim di Inggris pun mengambil langkah-langkah untuk mencegah risiko penularan. “Mereka memasukkan mayat ke kantong plastik, melakukan tayamum (menyeka kantong mayat), memasukkan mayat ke peti mati, dan langsung ke kuburan,” kata Hasina Zaman, salah seorang pendiri lembaga permakaman muslim di London.
Douglas Davies, Direktur Pusat Studi Kematian dan Kehidupan di Universitas Durham, mengatakan hilangnya sebuah komunitas fisik saat terjadinya kematian akan terasa di seluruh tradisi agama ataupun sekuler.
REUTERS | AL JAZEERA | THE ECONOMIST | SITA PLANASARI AQUADINI