Upaya Kemenperin Mengakselerasi Berkembangnya Industri Modul Surya Dalam Negeri
Pemanfaatan energi surya tidak hanya terbatas untuk menjual listrik tetapi juga untuk menghasilkan produk bernilai tambah baru.
Indonesia Solar Energy Outlook 2023 yang dikeluarkan oleh IESR melaporkan, tenaga surya akan memainkan peran penting dalam dekarbonisasi mendalam di Indonesia pada tahun 2060 atau lebih cepat pada tahun 2050. Setidaknya, menurut laporan tersebut, 88 persen dari kapasitas listrik terpasang akan berasal dari tenaga surya pada tahun 2050.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pun berupaya untuk mengakselerasi berkembangnya industri modul surya dalam negeri. Hal itu untuk mendukung pengembangan pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) khususnya pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Apalagi EBT termasuk dalam salah satu transformasi besar yang akan dilakukan Indonesia. Ketersediaan energi listrik yang berkelanjutan (sustainable), terjangkau (equity), dan cukup (security) merupakan salah satu kunci keberhasilan transformasi tersebut.
Akan tetapi industri masih menghadapi tantangan dari sisi kebutuhan pasar dalam negeri saat ini yang masih belum memenuhi skala ekonomis. Diketahui, penggunaan energi surya di Indonesia baru mencapai 0,2 GWp dan hanya akan menghasilkan kurang dari 1 persen dari total pembangkit listrik pada akhir tahun 2021.
Hal ini menjadi perhatian karena industri manufaktur panel surya memerlukan adanya demand pembangunan pembangkit energi surya di masa mendatang untuk dapat memenuhi skala ekonomis dalam memproduksi modul surya.
Kondisi saat ini, industri panel surya dalam negeri yang sebagian besar tergabung dalam Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI) sudah mampu memproduksi panel surya dengan kapasitas produksi total setara 1.600 MWp. Namun demikian, spesifikasi modul surya buatan dalam negeri harus selalu ditingkatkan untuk mampu memenuhi kebutuhan perkembangan Pembangunan PLTS, terutama kebutuhan untuk modul surya dengan kapasitas diatas 550 Wp dan efisiensi diatas 20 persen.
Selain itu, tren pembangunan PLTS saat ini yang menggunakan skema PLTS terapung, membutuhkan modul surya dengan spesifikasi yang berbeda dengan PLTS di darat (ground mounted). Hal ini tentu menjadi tantangan positif, baik bagi manufaktur modul surya dan komponen dalam meningkatkan spesifikasi dan realibilitas produknya maupun seluruh stakeholder lainnya yang terkait dengan industri PLTS.
Untuk mengakselerasi berkembangnya industri Energi Baru dan Terbarukan (EBT) khususnya modul surya dalam negeri, Kementerian Perindustrian mendukung target bauran EBT sebesar 23 persen pada tahun 2025. Namun, saat ini capaian bauran energi hanya sebesar 12,5 persen, hal ini menjadi peluang dalam menumbuhkan industri PLTS.
Berdasarkan studi BloombergNEF dan IESR, untuk mencapai target bauran energi dalam jangka pendek, energi surya yang dibutuhkan sekitar 18 GW dengan nilai investasi sebesar USD 14,1 miliar. Selanjutnya, pemanfaatan energi surya tidak hanya terbatas untuk menjual listrik tetapi juga untuk menghasilkan produk bernilai tambah baru, seperti hidrogen hijau dan amonia.
Saat ini terdapat 10 proyek hidrogen hijau dan amonia yang telah dirintis sejak tahun lalu, dengan tujuan memanfaatkan tenaga surya sebagai sumber listrik utama. Proyek-proyek tersebut saat ini sedang dalam tahap studi dan diharapkan dapat terealisasi dalam 2-3 tahun ke depan.
Permintaan energi surya juga tidak hanya datang dari dalam negeri saja, kerja sama bilateral antara Indonesia dengan Singapura untuk listrik hijau mensyaratkan modul surya dan baterai harus diproduksi di Indonesia, sehingga permintaan yang muncul menjadi pemicu terbentuknya industri PLTS di Indonesia. Selanjutnya, Indonesia juga mendapatkan dukungan Just Energy Transition Partnership (JETP) pada KTT G-20 di Bali. Tindak lanjut dari program JETP ini adalah melalui penyusunan rencana investasi dan kebijakan yang komprehensif dengan pemangku kepentingan terkait, yang mencakup penghentian awal batu bara, langkah-langkah transisi yang adil, dan percepatan pengembangan energi terbarukan.
Khusus untuk pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan, Kementerian Perindustrian juga telah memberikan ketentuan mengenai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) melalui Peraturan Menteri Perindustrian Nomor: 54 tahun 2012 Tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri Untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, khusus untuk industri modul surya dan proyek PLTS, diatur melalui Permenperin No. 04 Tahun 2017 dan No. 05 Tahun 2017. Dengan adanya regulasi tersebut, diharapkan produksi modul surya dalam negeri dapat terserap secara maksimal untuk proyek energi surya untuk beberapa tahun mendatang.
Dengan meningkatnya porsi EBT pada RUPTL Tahun 2021-2030, dukungan kebijakan transisi menuju karbon netral 2060, dan implementasi program JETP serta perjanjian jual beli energi internasional, menjadi indikasi bahwa kebutuhan atau pasar untuk industri EBT khususnya modul surya dalam negeri masih sangat besar.
Pasar yang besar ini harus bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh industry dalam negeri dan dengan dukungan seluruh stakeholder terkait. Diperlukan koordinasi dan kolaborasi dalam perencanaan pengembangan industri modul surya dalam negeri baik dari BUMN, kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, dan pihak pengembang swasta. Dengan demikian, akselerasi pengembangan industri modul surya maupun target realisasi energi surya di Indonesia dapat tercapai.