maaf email atau password anda salah


Transisi Ekonomi untuk Pembangunan Berkelanjutan

Transisi ke ekonomi hijau bukan lagi sebuah pilihan, tetapi keharusan demi generasi masa depan. #Infotempo

arsip tempo : 171416680837.

Ilustrasi kota hijau. Dok: PUPR. tempo : 171416680837.

Pertumbuhan ekonomi hijau (green economy) akan dan harus menciptakan lapangan kerja baru yang lebih berkualitas. Perubahan dan transisi ekonomi hijau, justru perlu dilihat sebagai peluang sebagai munculnya kebutuhan maupun investasi baru. Trajektori baru ini tentu akan menciptakan peluang pekerjaan hijau (green jobs) yang makin dibutuhkan pada masa kini dan masa depan.

Penciptaan lapangan kerja dan pendapatan  diyakini bisa dicapai lewat investasi publik dan swasta. Dalam hal ini dengan menggunakan infrastruktur dan aset yang dapat memangkas emisi karbon dan polusi, meningkatkan efisiensi energi dan sumber daya. Transisi ekonomi hijau juga perlu dipastikan agar seoptimal mungkin berbagai pihak mendapatkan manfaat, terutama bagi kelompok masyarakat miskin dan paling rentan (no one left behind).

United Nation Environment Programme (UNEP) mengaitkan pengertian ekonomi hijau dengan makna ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Dalam bahasa sederhana, pengertian ekonomi hijau dirumuskan sebagai kegiatan perekonomian yang tidak merugikan atau merusak lingkungan.

Filosofi ekonomi hijau adalah adanya keseimbangan antara kesejahteraan ekonomi rakyat dan keadilan sosial dengan tetap mengurangi resiko-resiko kerusakan lingkungan dan ekologi. Inilah esensi ekonomi hijau sebagai model pembangunan ekonomi yang menjadi basis pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals (SDGs).

Berdasarkan kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas), pertumbuhan ekonomi dengan konsep ekonomi hijau diharapkan bisa sejalur dengan tujuan SDGs. Hal ini tak bisa dilepaskan dari pertumbuhan penduduk yang cepat dan berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi serta konsumsi sumber daya alam.

Bappenas  mencatat pertumbuhan ekonomi hijau (green growth ) sendiri muncul dari keprihatinan tentang konsekuensi sosial, lingkungan dan ekonomi yang tidak diinginkan akibat pertumbuhan penduduk yang cepat, pertumbuhan ekonomi dan konsumsi sumber daya alam. Isu ini menyebabkan dikembangkannya berbagai pendekatan dan mekanisme berbasis sains dan teknologi, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang kuat, namun ramah lingkungan dan inklusif secara sosial.

Di Indonesia, program pertumbuhan ekonomi hijau ini dirancang untuk meningkatkan produk domestik bruto (PDB) dan standar penghidupan yang berkelanjutan dan adil, sekaligus mengurangi polusi. Selain itu untuk membangun infrastruktur bersih dan tangguh, menggunakan sumber daya lebih efisien dan menghargai aset-aset alam yang sering kali tidak dapat dirasakan secara ekonomi. Program ini juga berperan sebagai fasilitator yang menyatukan beragam kebutuhan para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, investor nasional dan internasional, serta para pengembang proyek, agar modal hijau dapat mengalir.

Indonesia telah menuangkan aspek perubahan iklim pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Rencana tersebut dilakukan melalui upaya peningkatan kualitas lingkungan hidup, peningkatan ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbon.

Program pertumbuhan hijau yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui  Kementerian PPN/Bappenas melibatkan berbagai kementerian/lembaga hingga pemerintah daerah. Salah satunya adalah Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab dalam aspek pembiayaan dan pendanaan melalui instrumen fiskal APBN.

Melalui komponen pendapatan, belanja serta pembiayaan, APBN diarahkan sebagai katalisator pembangunan berkelanjutan. Kas negara juga mendukung metamorfosis pertumbuhan ekonomi eksploitatif menuju ekonomi hijau dengan menumbuhkan komitmen setiap pihak untuk ambil bagian dalam menciptakan climate governance.  

Pelaksanaan program pertumbuhan hijau berfokus pada tiga sektor, yaitu energi, lanskap dan infrastruktur. Tiga sektor prioritas ini dipilih untuk mencerminkan dan memastikan keselarasan dengan Nawa Cita, serta komitmen global negara ini terhadap Perjanjian Paris —sebagaimana dinyatakan dalam kontribusi yang ditetapkan secara nasional (nationally determined contributions/NDC) — dan tentu saja SDGs. 

Kementerian PPN/Bappenas juga membentuk Green Economy Index (GEI) atau Indeks Ekonomi Hijau untuk mengukur capaian dan efektivitas pemerintah dalam mentransformasi menuju ekonomi hijau untuk mendukung Visi 2045. Visi ini menjadikan Indonesia negara berpendapatan tinggi. GEI terdiri atas 15 indikator yang mencakup tiga pilar berkelanjutan.

Ketiga pilar itu adalah ekonomi yang terdiri dari indikator produktivitas tenaga kerja sektor jasa, produktivitas tenaga kerja sektor industri, produktivitas pertanian, pendapatan nasional bruto per kapita, intensitas energi final, dan intensitas emisi. Lalu pilar lingkungan yang terdiri dari indikator persentase luas tutupan lahan dari luas daratan Indonesia, bauran energi baru terbarukan (EBT) dari sumber energi primer, persentase sampah terkelola, persentase penurunan emisi kumulatif dari baseline, dan penurunan tutupan lahan gambut. Terakhir adalah pilar sosial yang terdiri dari empat indikator, yakni rata-rata lama sekolah, angka harapan hidup, tingkat kemiskinan, dan tingkat pengangguran terbuka.

Berdasarkan data yang dipaparkan Kementerian PPN/Bappenas, ekonomi hijau akan mendatangkan banyak manfaat positif bagi Indonesia, antara lain tambahan 1,8 juta tenaga kerja di sektor ekonomi hijau pada 2030. Tambahan ini tersebar di sektor energi, kendaraan listrik, restorasi lahan, dan sektor limbah.

Pertumbuhan PDB rata-rata juga diperkirakan ada di angka 6,1-6,5 persen per tahun hingga 2050. Pendapatan nasional bruto (PNB) juga diprediksi akan lebih tinggi, yakni di rentang 25-34 persen, setara US$ 13.890-14.975 per kapita pada 2045.

Dan yang tak kalah penting adalah 87-96 miliar ton emisi gas rumah kaca diperkirakan terselamatkan pada rentang 2021-2060. Penurunan intensitas emisi diprediksikan akan mencapai 68 persen pada 2045.

www.bappenas.go.id

Konten Eksklusif Lainnya

  • 26 April 2024

  • 25 April 2024

  • 24 April 2024

  • 23 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan