Menunggu Undang-undang Pelindungan Data Pribadi segera Disahkan
Tren penggunaan aplikasi digital meningkat selama pandemi Covid-19. Data terakhir menurut Bank Indonesia menunjukkan transaksi belanja digital (e-commerce) mencapai Rp186,7 triliun pada semester I 2021. Angka itu melesat 63,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Namun, penggunaan transaksi digital yang kian marak berdampak kepada keamanan data pribadi seseorang. Menurut Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Semuel Abrijani Pangerapan, maraknya kasus pencurian data pribadi memperlihatkan adanya tantangan terkait pelindungan data pribadi di berbagai sektor. Salah satunya adalah kebocoran data pasien kesehatan.
“Penyimpanan data pribadi pasien dalam ruang digital tentu mempermudah akses. Namun karena ruang digital sifatnya terbuka, kami harus pastikan keamanan digitalnya agar jangan ada celah dimasuki orang lain,” ujar Semuel.
Selain sektor kesehatan yang kerap terjadi pertukaran data pasien, kondisi yang sama juga terjadi di sektor perdagangan digital atau e-commerce. “Belum optimalnya tata kelola dan manajemen pelindungan data pribadi menjadi tantangan,” kata Semuel.
Untuk memproteksi data strategis publik tersebut, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang Pelindungan Data Pribadi. Saat ini rancangan tersebut masih di bahas di parlemen.
Koordinator Hukum dan Kerja Sama Ditjen Kementerian Komunikasi dan Informatika, Josua Sitompul, mengatakan Indonesia sudah memiliki regulasi sektoral yang berkaitan dengan pelindungan data pribadi. Mulai dari Undang-undang Kesehatan, Undang-undang Perbankan, telekomunikasi, administrasi kependudukan dan lainnya. “Regulasi sektoral pada dasarnya memiliki karakteristik tersendiri. Namun, dalam cakupan nasional diperlukan suatu peraturan yang komprehensif,” kata dia.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Setyawati Fitri Anggraeni, dalam makalahnya “Polemik Pengaturan Kepemilikan Data Pribadi, Urgensi untuk Harmonisasi dan Reformasi Hukum di Indonesia” menyebutkan masih ada aturan hukum yang secara implisit mengizinkan pengalihan hak milik data pribadi. Padahal, menurut dia, hak milik seharusnya tetap berada di tangan individu sebagai subyek data, bukan malah dipindahkan ke lembaga atau perusahaan.
Setyawati menyatakan hukum yang ada sekarang baru sekadar menyatakan pelindungan saja. “Tapi belum mengatur secara rinci tentang bagaimana cara melakukan pelindungan tersebut,” tulisnya.
Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang Pelindungan Data Pribadi sejak sejak 2016 dan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019. Namun pembahasan di parlemen masih terganjal hal yang belum mencapai kata mufakat perihal lembaga independen yang akan mengawasi pelanggaran pelindungan data pribadi.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar, mengatakan poin lembaga yang mengawasi ini yang belum tuntas dalam pembahasan sehingga mengganjal pengesahan Rancangan Undang-undang Pelindungan Data Pribadi. Dalam pembahasan, kata dia, draf usulan pemerintah, otoritas pelindungan data pribadi melekat pada Kementerian. Namun, mayoritas fraksi di DPR menginginkan otoritas ada di luar pemerintah atau independen.
Menurut Wahyudi, rancangan undang-undang ini sangat penting karena bersinggungan dengan banyak hal di era pertukaran data. Banyak isu pelindungan data pribadi yang belum bisa dijangkau oleh peraturan yang ada seperti Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik khususnya Pasal 26, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik dan Peraturan Menkominfo Nomor 20 Tahun 2016 tentang Pelindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik. Elsam, kata dia, mendorong DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-undang tersebut agar dapat mengatur secara komprehensif kewajiban pengendali dan pemrosesan data pribadi.
TIM INFO TEMPO