Tokoh Pejuang Obat Modern Asli Indonesia Perjuangkan Masuk JKN
Kemandirian farmasi nasional adalah salah satu visi Presiden Joko Widodo yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Namun hingga lima tahun berjalannya instruksi tersebut, Indonesia masih mengimpor bahan baku obat dalam jumlah besar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor produk farmasi Indonesia meningkat USD 148,6 juta atau 133,78 persen pada awal tahun 2021. Di tengah tingginya nilai impor produk farmasi, sejumlah tokoh dari beragam latar belakang terus aktif memperjuangkan kemandirian farmasi nasional lewat pengembangan obat modern asli Indonesia (OMAI).
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro
Menteri Riset dan Teknologi/ Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan, OMAI dapat menjadi masa depan farmasi nasional. Ia bercerita, pada 10 tahun silam keberadaan obat bahan alam masih dipandang sebelah mata di Cina karena belum adanya riset yang lengkap. Namun, berkat keseriusan dalam melakukan penelitian, obat herbal buatan Cina kini diterima di banyak negara.
“Mereka terus mengembangkan riset di bidang farmasi dengan berbasis herbal,” kata dia kepada Tempo, kemarin.
Bambang mengakui, proses pengembangan OMAI untuk menuju kemandirian farmasi Indonesia bukan tanpa hambatan. Menurut dia, ada beberapa faktor yang membuat penelitian obat herbal stagnan. Salah satunya adalah tidak masuknya OMAI dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), sehingga pemanfaatannya oleh masyarakat jadi terbatas.
Ia mengatakan, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 54 tahun 2018 tidak mencantumkan OMAI dalam Formularium Nasional JKN. Terhambatnya pemanfaatan OMAI ini jadi penyebab tidak tercapainya percepatan kemandirian bahan baku obat dalam negeri. Ketidakpastian soal penyerapan produk, menurut Menteri Bambang, membuat investor enggan berinvestasi di bidang pembuatan OMAI.
“Kalau prospek pasarnya terbatas hanya untuk pembelian pribadi, tidak menjanjikan, karena biaya riset dan uji klinisnya mahal,” ucapnya.
Keterlibatan dokter juga penting guna meningkatkan pengadaan dan pemanfaatan obat di fasilitas kesehatan. Bambang menuturkan, masih ada dokter yang tidak mau meresepkan obat herbal. Hal itu terjadi bukan karena kurangnya pengetahuan ihwal obat herbal, melainkan masalah kebiasaan. “Sekali memakai obat tertentu, dokter cenderung memakainya lagi.”
Bambang berharap para dokter mau mempertimbangkan penggunaan OMAI saat meresepkan obat bagi pasien. Berdasarkan inisiasi Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), saat ini OMAI masuk e-katalog sektor inovasi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dalam program kesehatan nasional. Tidak hanya mendorong sisi permintaan, pemerintah juga mendorong riset obat modern asli Indonesia dengan mengucurkan super tax deduction kepada pelaku usaha yang mau melakukan penelitian dan pengembangan di sektor farmasi.
Insentif pajak itu pengurangan penghasilan bruto hingga 300 persen dari biaya yang dikeluarkan. Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.010/2020 tentang Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto atas Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Tertentu di Indonesia. Bambang mendorong pelaku usaha farmasi memanfaatkan insentif yang mulai berlaku pada 9 Oktober 2020 itu.
“Pemerintah tidak dapat berusaha sendiri untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku obat. Tentunya di satu sisi, insentif akan membantu,” tutur Bambang.
Direktur Eksekutif Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences, Dr. Raymond R. Tjandrawinata
Direktur Eksekutif Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences, Dr. Raymond R. Tjandrawinata, mengatakan Dexa sudah mengembangkan obat berbahan baku herbal sejak 2005. Ia juga menyatakan mendukung keinginan Bambang untuk memasukkan OMAI Fitofarmaka ke daftar obat JKN. Pengembangan OMAI Fitofarmaka masuk program JKN di Tanah Air terkendala Permenkes 54/2018 mengenai Penyusunan dan Penerapan Formularium Nasional dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Dalam beleid tersebut OMAI Fitofarmaka belum masuk JKN.
“Dengan begitu impor bisa dikurangi dan ada efek dominonya mulai dari petani sampai dokter,” kata Dr. Raymond yang juga Bapak Obat Modern Asli Indonesia.
Dikenal demikian, karena beliau adalah sosok pelopor pengembangan OMAI Fitofarmaka. Dia sudah mengantongi 66 paten di dunia farmasi baik di Indonesia maupun mancanegara. Sebanyak 64 paten dikembangkan dalam DLBS yang berkaitan dengan pengembangan OMAI Fitofarmaka. Atas prestasi tersebut, pada tahun 2018 Dr. Raymond mendapatkan penghargaan World Intellectual Property Organization (WIPO) Award 2018 untuk kategori WIPO Medal for Inventor yang diserahkan langsung oleh Wakil Presiden RI periode 2014-2019, H. M. Jusuf Kalla. Selain itu pada tahun 2016 beliau menerima Habibie Award dan menjadi peneliti terbaik Indonesia hingga masuk daftar Science and Technology Index (SINTA) dari Kemristek pada 2018 dan 2020.
Ia menilai, OMAI Fitofarmaka dapat menjadi masa depan farmasi Indonesia. Namun, ketidakpastian soal penyerapan obat membuat banyak perusahaan tidak berani berinvestasi. Dr. Raymond mengungkapkan, tingkat ketidakpastian dalam membuat obat Fitofarmaka jauh lebih tinggi ketimbang membuat obat generik. “Karena ada risiko gagal dan risiko (pengeluaran) lebih tinggi dari yang dianggarkan,” kata dia.
Dari pengalaman Dexa, waktu yang dibutuhkan menghasilkan satu produk Fitofarmaka mencapai 4 hingga 6 tahun, bahkan lebih. Dr. Raymond memberi contoh pengembangan Inlacin, yang merupakan obat Fitofarmaka antidiabetes tipe II buatan Dexa. Menurutnya, pengembangan obat ini dimulai pada 2005, diluncurkan sebagai Obat Herbal Tersandar pada 2011, dan baru mendapatkan klasifikasi Fitofarmaka pada 2014.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam, mengakui pengembangan OMAI butuh biaya tinggi serta waktu yang panjang. Namun, senada dengan Menteri Riset, ia optimistis Indonesia dapat membuat obat dengan kualitas tinggi. Para dokter pun, kata dia, mendukung melalui riset di tahap uji klinik. Ari yakin, obat herbal dapat membantu kemandirian farmasi Indonesia dan mengurangi impor bahan baku obat.
Ahli penyakit dalam ini berpendapat, riset kesehatan inovatif harus didukung, terutama yang dilakukan oleh lembaga penelitian atau institusi pendidikan. Penelitian dianggap penting demi menghasilkan obat yang murah dan dapat digunakan oleh masyarakat secara luas. “Harus ada upaya untuk membuat obat, vaksin, dan alat kesehatan yang bisa diproduksi di dalam negeri. Hal ini harus dipercepat di era pandemi,” katanya.
Pandemi Covid-19, menurut Ari, harusnya menyadarkan pemerintah bahwa Indonesia sangat bergantung terhadap bahan baku obat impor. Ia berujar, sebanyak 90 persen produk kesehatan yang dimanfaatkan rakyat berasal dari luar negeri. Ari meminta pemerintah mendukung pengembangan OMAI dengan membatasi impor bahan baku obat, serta mendukung riset yang dilakukan oleh akademisi dan industri.
“Pandemi memberikan pelajaran bahwa Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan ratusan juta penduduk butuh kemandirian farmasi,” ujarnya.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny K. Lukito
Kepala BPOM, Penny K. Lukito menyampaikan komitmennya untuk membantu industri farmasi dengan cara melakukan pendampingan saat uji praklinis dan klinis, serta mempercepat prosesnya. Bantuan lainnya, kata dia, adalah mendorong permintaan produk OMAI dengan memasukkannya ke dalam program JKN dan mempromosikan penggunaannya di kalangan praktisi kesehatan dan masyarakat.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita memastikan pemerintah bekerja keras menekan impor bahan baku obat melalui substitusi impor dan peningkatan utilisasi industri lokal. Kementerian Perindustrian, kata dia, menargetkan substitusi impor dari berbagi sektor industri senilai Rp 152,83 triliun di 2022, termasuk industri farmasi. Angka itu setara dengan 35 persen impor di 2019 yang mencapai Rp 434 triliun.
“Kita harus berfokus pada bahan baku obat. Kita mengarah ke sana, bukan hanya industri farmasi dan alat kesehatan, tapi juga secara umum,” tuturnya kepada Tempo.
Selain itu, Agus mengimbuhkan, pemerintah terus mendorong penerapan Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri. Bentuk dukungan yang dilakukan adalah menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 Tahun 2020 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) Produk Farmasi.
Dengan beleid tersebut, tata cara penghitungan nilai TKDN produk farmasi tidak lagi menggunakan metode cost based, tetapi metode processed based. Dampaknya, produk-produk farmasi dalam negeri berpeluang mendapatkan tingkat TKDN yang lebih baik. “Dengan begitu kami bisa memfasilitasi produk farmasi masuk ke dalam (daftar obat) JKN,” ucap Agus.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan RI melalui Sekjen Kemenkes, Oscar Primadi pada akhir tahun 2020 menyatakan akan merevisi Permenkes 54/2018. Namun, hal itu belum terwujud hingga kini. Padahal, dukungan berbagai pihak seperti Kemenristek/BRIN, Kemenperin, BPOM, perhimpunan profesi dokter, serta akademisi kedokteran semakin nyata. Kebangkitan farmasi nasional harus direalisasikan di bawah kepemimpinan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.(*)
INFO TEMPO