maaf email atau password anda salah


Luapan Emosi dari Kursi Penonton Teater

Riset dosen Universitas Multimedia Nusantara menjelaskan alasan kita bisa merasakan berbagai macam emosi saat menonton teater.

arsip tempo : 173058318212.

Ilustrasi pengunjung menonton pertunjukkan teater. Shutterstock. tempo : 173058318212.

Secara historis, teater memainkan peran untuk mengungkapkan realitas secara apa adanya dalam masyarakat. Namun, dalam prosesnya, teater memiliki karakteristik, simbol, dan tandanya sendiri, sehingga tidak selalu mudah untuk memahami dan menikmatinya.

Penelitian saya pada 2017, menemukan bahwa, ketika melihat sebuah karya seni, termasuk teater, kita menikmati analogon atau material vehicle, yaitu representasi obyek yang diimajinasikan dalam cara yang unik sebagaimana dijelaskan dalam buku The Imaginary karya Jean-Paul Sartre, filsuf dan penulis drama dari Prancis.

Penelitian tersebut kemudian saya lanjutkan pada 2023 dengan menggunakan pendekatan empiris dalam melihat seni, yakni pendekatan neuroestetis yang bertujuan untuk melihat hubungan antara pengalaman estetis (perasaan obyektif atas seni yang muncul sebagai pengakuan bahwa sesuatu benar-benar indah) dan fungsi otak ketika menonton teater.

Melalui pendekatan ini, kita dapat melihat pengalaman estetis penonton secara lebih konkret, yakni dengan mengaitkan pandangan mata dan jaringan sistem saraf yang ada di otak. Dengan begitu, kita dapat lebih memahami emosi-emosi yang muncul saat menonton pertunjukan seni.

Ilustrasi pertunjukkan teater. Shutterstock

Apa itu Neuroestetis?

Neuroestetis adalah suatu kajian interdisipliner. Kajian ini, sebagaimana asal katanya, yaitu neuron dan aesthetics, menyelidiki hubungan antara ilmu saraf dan estetika.

Tujuan kajian neuroestetis adalah untuk memahami bagaimana otak memproses dan merespons keindahan, serta bagaimana pengalaman estetis dapat mempengaruhi perasaan, pikiran, hingga perilaku seseorang.

Neuroestetis dapat mendamaikan pandangan mengenai seni sebagai sesuatu yang subyektif atau obyektif. Misalkan saja, dengan menunjukkan bahwa rangsangan visual tertentu, seperti warna yang kontras, atau simbol tertentu dalam adegan teater, bisa menimbulkan respons estetika positif dalam budaya dan individu yang berbeda.

Sebuah artikel, contohnya, menyebutkan bahwa terdapat perbedaan makna warna merah di berbagai wilayah. Di Amerika Utara dan Eropa, warna merah dianggap sebagai simbol gairah, emosi, dan cinta, sedangkan di Amerika Tengah dan Amerika Selatan, meskipun warna merah tetap melambangkan gairah dan emosi, ia juga sering kali dihubungkan dengan paham kristiani, yakni darah Kristus dan penyaliban. Sementara itu, negara-negara Asia menganggap warna merah sebagai simbol kemakmuran.

Pada saat yang sama, neuroestetis juga menekankan peran konteks dan pengkondisian budaya dalam membentuk pengalaman estetis seseorang. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa faktor-faktor seperti norma sosial, latar belakang sejarah, dan pengalaman pribadi juga dapat mempengaruhi persepsi kita tentang keindahan dan cara kita merespons pengalaman estetis tertentu.

Sebagai contoh, penelitian di Jerman dan Cina pada 2019 mencoba memberikan perbandingan antara pengalaman estetis seseorang ketika melihat lukisan Eropa dan Cina dengan menggunakan teknik functional magnetic resonance imaging (FMRI). FMRI adalah alat untuk mendeteksi area otak mana yang aktif saat melakukan berbagai tugas.

Ketika dipindai dengan FMRI, pengalaman estetis seseorang ketika melihat lukisan Eropa menunjukkan aktivasi otak yang berbeda dibanding ketika melihat lukisan Cina.

Lukisan Eropa menciptakan emosi yang lebih kuat di area visual, sensori-motor, posterior cingulate cortex (PCC) yang mengatur fokus perhatian, dan hipokampus yang berhubungan dengan memori.

Sementara ketika melihat lukisan tradisional Cina, yang umumnya menggunakan perspektif geometris yang berbeda dan lebih menitikberatkan pada informasi kontekstual, pengalaman estetis orang menunjukkan aktivitas saraf yang lebih tinggi di area occipital cortex medial yang merespons visual, serta wilayah parietal lobule yang berfungsi untuk merespons rangsangan dan menafsirkan pesan.

Berdasarkan penelitian tersebut, kita dapat melihat bahwa pada dasarnya pemahaman dan penilaian atas seni lebih bersumber pada selera personal dan penafsiran di dalam pengalaman estetis masing-masing individu. Dalam konteks ini, tentu saja klaim sepihak tidak dapat obyektif karena setiap individu memiliki pengalaman estetis berbeda yang tidak bisa disamaratakan.

Selain itu, asumsi bahwa seni yang layak adalah seni yang “indah” pada hakekatnya adalah asumsi yang konyol. Seni selalu menghadirkan dua wajah sekaligus: indah dan tidak indah. Tentu kata indah di sini dapat diganti dengan selera masing masing, misalnya teater yang menampilkan humor, teater yang menampilkan kritik, dan teater yang absurd/kompleks.

Dalam menilai karya seni, seseorang cenderung menggunakan pengalaman estetis mereka untuk membentuk preferensi. Tapi sebenarnya, penilaian karya seni juga dapat dipengaruhi oleh faktor lain, seperti pengetahuan dan pengalaman sebelumnya dengan karya seni yang serupa.

Ilustrasi pengunjung menyaksikan pertunjukkan teater. Shutterstock

Bagaimana Proses Neuroestetis dalam Menonton Teater

Menikmati sebuah karya seni, khususnya dalam hal ini pertunjukan teater, sering kali membuat kita diliputi beragam emosi. Hal ini disebabkan adanya peran empati dalam diri manusia yang berkaitan dengan apa yang dilihat di atas panggung.

Ketika menonton pertunjukan teater, kita memberikan fokus penuh kepada indra visual dan pendengaran. Ketika kita melihat aktor memainkan adegan emosional, misalnya, wilayah otak yang terlibat dalam empati otomatis aktif dengan sendirinya.

Ini menunjukkan bahwa kita dapat memproses secara mental, emosi yang ada di atas panggung dan mengimajinasikannya. Selain itu, penggunaan musik dan tata suara dalam teater berperan penting dalam memperkuat pengalaman estetis. Sebab, musik dan tata suara di dalam teater dapat membuat ilusi yang semakin kuat, menyatukan penonton dengan adegan di atas panggung. Misalkan saat adegan sedih, musiknya akan cenderung berisi nada-nada yang menyayat hati.

Kemudian kita membentuk rasa empati atas peristiwa yang terjadi di atas panggung. Penonton di dalam sebuah pertunjukan teater pada dasarnya tidak hanya mengamati pertunjukan, tapi juga memeriksa ke dalam dirinya sendiri tentang memori, perasaan, dugaan-dugaan, hingga perspektif atas adegan yang terjadi di atas panggung. Dalam hal ini, penonton menghidupkan tokoh yang dimainkan oleh sang aktor dan mengimajinasikannya di dalam pikirannya.

Pada dasarnya, empati merupakan jembatan penghubung antara penonton dan sang aktor di atas panggung. Ketika kita melihat adegan penyiksaan, otak kita cenderung mengasosiasikan diri sebagai korban. Kita dapat merasakan kepedihan, rasa sakit dipukul, serta rasa haru sebagaimana adegan di atas panggung. Hal itu terjadi karena area sensori yang ada dalam diri kita diaktifkan oleh otak saat kita melihat sebuah karya seni.

---

Artikel ini ditulis oleh Yogi Pranowo, dosen Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang. Terbit pertama kali di The Conversation.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 2 November 2024

  • 1 November 2024

  • 31 Oktober 2024

  • 30 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan