Drucilla Roberts dan Vanda Torous memperhatikan secara saksama jaringan plasenta dua bayi kembar fraternal. Mereka pun tercengang oleh apa yang dilihat. Si kembar yang berbagi rahim dari satu ibu positif SARS-CoV-2 selama persalinan itu ternyata memiliki kondisi plasenta individu yang sangat berbeda.
Jaringan salah satu plasenta meradang parah, penuh dengan sel kekebalan. Yang lainnya tampak sehat. Ketika Roberts dan Torous keduanya ahli patologi di Rumah Sakit Umum Massachusetts di Boston, Amerika Serikat—melakukan tes jaringan plasenta untuk penanda SARS-CoV-2, organ yang radang tampak terinfeksi virus secara parah. Adapun yang lain mengalami infeksi, dengan RNA virus yang relatif sedikit.
Kedua bayi tersebut tak ada yang dinyatakan positif mengidap virus corona setelah lahir. "Bayi-bayi itu baik-baik saja,” kata Roberts kepada The Scientist. Fakta bahwa satu plasenta sangat terinfeksi oleh virus dan meradang parah, sedangkan yang lainnya hanya terinfeksi ringan, menimbulkan pertanyaan tentang peran organ dalam mencegah penularan SARS-CoV-2 dari ibu ke keturunan selama kehamilan.
Saat Roberts dan Torous mengidentifikasi plasenta kembar yang secara mengejutkan berbeda, para peneliti mulai mengumpulkan data yang menunjukkan bahwa virus memang dapat menular ke janin selama kehamilan. Bukti paling meyakinkan datang dari seorang ibu berusia 23 tahun di Prancis.
Saat persalinan, hasil usap hidung, darah, dan cairan ketuban semuanya dinyatakan positif terpapar virus. Begitu pula hasil usapan hidung bayi. Bayi laki-laki itu juga menunjukkan gejala Covid-19, dan pemindaian otaknya menunjukkan organ tersebut meradang dengan kerusakan pada materi putih, mirip dengan yang dilaporkan pada orang dewasa yang menderita ensefalitis setelah terinfeksi SARS-CoV-2.
Studi kasus tersebut tidak hanya menunjukkan bahwa seorang ibu hamil sebenarnya dapat menularkan virus kepada anaknya yang belum lahir. “Tapi juga menyoroti kekhawatiran bahwa penularan tersebut dapat memiliki konsekuensi yang membahayakan bayi,” kata Roberto Romero, kepala spesialis kedokteran ibu dan janin di cabang penelitian perinatologi yang berbasis di Detroit dari Eunice Kennedy Shriver National Institute of Child Health and Human Development (NICHD).
Setelah penelitian itu diterbitkan pada Juli lalu, dia menjelaskan, salah satu pertanyaan paling mendesak dalam memahami Covid-19 dan kehamilan menjadi: "Berapa frekuensi ibu dapat menularkan virus ke janin?"
Data menunjukkan bahwa calon ibu yang terinfeksi relatif jarang menularkan virus ke bayi mereka. Mungkin hanya sekitar 1 persen wanita hamil yang tertular Covid-19, meskipun beberapa perkiraan sebesar 30 persen. Untuk virus zika, tingkat penularan ibu-janin minimal 10 persen. Sedangkan cytomegalovirus, sejenis virus herpes, kira-kira 30 persen pada trimester pertama dan kedua, serta 70 persen pada trimester ketiga.
Plasenta, menurut penelitian Roberts dan lainnya, mungkin menjadi penyangga yang lebih baik untuk penularan virus dari ibu ke bayi dalam kasus SARS-CoV-2 daripada ketika ibu terinfeksi virus lain.
Hanya karena bayi tidak tertular virus corona di dalam rahim, bukan berarti tidak ada risiko komplikasi setelah lahir. “Jika janin terkena peradangan karena infeksi virus ibunya, mungkin ada efek jangka panjangnya,” ucap Diana Bianchi, ahli genetika medis dan neonatologi serta Direktur NICHD. "Hanya, sejauh ini kami belum tahu."
THE SCIENTIST | SCIENCE DAILY | FIRMAN ATMAKUSUMA