Dalam tiga bulan pertama tahun ini saja, suhu rata-rata merupakan yang terpanas kedua, hanya kalah oleh tahun 2016 saat El Nino melanda dunia. Demikian Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) mengumumkannya kemarin.
“Suhu udara panas yang terjadi tahun ini tak biasa,” kata Deke Arndt dari Pusat Informasi Lingkungan Nasional NOAA. “Apalagi tak ada badai El Nino seperti empat tahun lalu.” Arndt menambahkan, pemanasan alami air tropis yang terjadi di Samudra Pasifik mempengaruhi suhu di seluruh dunia.
Dia mengatakan Februari dan Maret adalah bulan terhangat dalam catatan tanpa kehadiran El Nino. Tren jangka panjang dari panas yang terus-menerus terjadi di planet ini terutama disebabkan oleh emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil.
Bahkan, seandainya pun 2020 berakhir bukan sebagai tahun terpanas, NOAA menyatakan ada kemungkinan 99,9 persen tahun ini akan berakhir di antara lima tahun terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah. Suhu panas ini merata di seluruh dunia.
“Untuk suhu Januari hingga Maret, rekor panas terlihat di seluruh bagian Eropa, Asia, Amerika Tengah dan Selatan, serta Samudra Atlantik, India, dan Pasifik Barat," demikian pernyataan NOAA. “Tak ada daratan atau wilayah samudra yang memiliki suhu dingin selama periode ini.”
Maret 2020 merupakan bulan terpanas kedua yang pernah dicatat, hanya kalah oleh Maret 2016. Adapun 10 bulan Maret terpanas semua terjadi setelah 1990. NOAA menyatakan Maret 2020 juga merupakan bulan berturut-turut ke-44 dan bulan ke-423 dengan suhu di atas rata-rata pada abad ke-20.
Ke depan, para ilmuwan NOAA mengatakan, pada akhir musim panas, baik El Nino maupun rekannya yang lebih dingin, La Nina, diharapkan terbentuk. Di luar itu, peluang pembentukan La Nina meningkat 35-40 persen pada akhir musim gugur dan awal musim dingin. La Nina ditandai oleh suhu lautan yang lebih dingin dari rata-rata di Samudra Pasifik tropis dan dapat menyebabkan musim topan Atlantik yang lebih aktif.
Selain suhu tinggi, kelembapan menjadi masalah. Apalagi bila suhu panas dibarengi oleh udara lembap. Beberapa ilmuwan memproyeksikan, pada akhir abad ini, di beberapa daerah tropis dan subtropis, suhu panas dapat menyebabkan panas dan kelembapan mencapai tingkat yang belum pernah dialami oleh manusia.
Kondisi seperti itu akan merusak ekonomi, bahkan mungkin melampaui batas fisiologis kelangsungan hidup manusia. Menurut sebuah studi baru, proyeksi tersebut keliru. Sebab, kondisi seperti itu sudah terjadi saat ini.
Studi ini mengidentifikasi kenaikan suhu panas dan kelembapan ekstrem yang sebelumnya jarang atau belum pernah terjadi, baik di Asia, Afrika, Australia, Amerika Selatan, maupun Amerika Utara, termasuk di wilayah Pantai Teluk Amerika. Studi tersebut telah diterbitkan dalam jurnal Science Advances, pekan ini.
“Studi sebelumnya memproyeksikan bahwa ini akan terjadi beberapa dekade dari sekarang, tapi kami menemukan itu sudah terjadi sekarang,” kata pemimpin penulis, Colin Raymond, dari Observatorium Bumi Lamont-Doherty Earth, Universitas Columbia, Amerika Serikat.
Raymond menambahkan, peristiwa ini akan terus meningkat dan daerah-daerah yang terpengaruh akan lebih banyak serta berkorelasi langsung dengan pemanasan global.
SCIENCEDAILY | GRAPHIC NEWS | FIRMAN ATMAKUSUMA
Ilmu dan Teknologi
Ketika Bumi Memanas
Tahun ini berpeluang besar untuk menjadi tahun terpanas dalam catatan sejarah planet bumi. Peluangnya hampir 75 persen.
Edisi, 15 Mei 2020

Reporter: Tempo

- - Tahun ini akan menjadi tahun terpanas dalam sejarah. Peluangnya 75 persen.
- - Dalam tiga bulan pertama tahun ini saja, suhu rata-rata merupakan yang terpanas kedua, hanya kalah oleh tahun 2016 saat El Nino melanda dunia. .
- - Suhu panas ini merata di seluruh dunia.