maaf email atau password anda salah


Tebar Uang Menjelang Pencoblosan

Politik uang kembali marak terjadi menjelang hari pencoblosan Pemilu 2024. Bawaslu kesulitan memproses sejumlah kasus.

arsip tempo : 171426233176.

Mural tentang pemilu di Depok, Jawa Barat, 5 Juli 2023. TEMPO/M Taufan Rengganis. tempo : 171426233176.

JAKARTA – Kasus politik uang di berbagai daerah mencuat menjelang hari pencoblosan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang berlangsung pada hari ini, Rabu, 14 Februari 2024. Kemunculan caleg instan hingga lemahnya penegakan hukum dinilai menjadi penyebab masih maraknya praktik haram tersebut. 

Di Bekasi, Jawa Barat, misalnya, calon anggota legislatif (caleg) DPR dari Partai Golkar, Ranny Fahd A. Rafiq, diduga menyebarkan uang kepada warga di daerah pemilihannya itu pada Senin, 12 Februari 2024. Video pembagian uang di sebuah rumah pun tersebar di media sosial. Berdasarkan video yang beredar, seorang warga tampak membuka sebuah amplop. Saat dibuka, amplop itu berisi sebuah kartu bergambar foto Ranny dan uang Rp 100 ribu. 

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Bekasi Vidya Nurrul Fathia menyatakan pihaknya masih menelusuri keabsahan video tersebut. Ia juga menyatakan pihaknya belum menerima laporan dari masyarakat secara langsung sehingga belum mengambil tindakan. “Kalau datang secara langsung dengan menyerahkan serta bukti fisiknya, nah, itu nanti pasti kami sampaikan ke rekan-rekan media. Sampai saat ini kami masih menunggu," ujarnya, Senin lalu. 

Pegawai Bawaslu membawa spanduk dan poster saat menggelar kegiatan Bawaslu on Car-Free Day di Bundaran HI, Jakarta, 21 Januari 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Selain di Bekasi, istri eks narapidana kasus korupsi Fahd El Fouz alias Fahd A. Rafiq itu diduga menyebarkan uang di Kecamatan Cinere dan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat. Seorang Ketua RT di Cinere bernama Konim mengaku mengetahui adanya pembagian uang itu melalui seorang warganya meskipun tak tahu-menahu siapa caleg yang membagikan uang. “Ya, saya melihat banyak orang keluar-masuk di rumah salah satu warga saya, dan saya datangi ternyata ada bagi-bagi uang,” kata Konim, Selasa kemarin. “Sebesar Rp 150 ribu setahu saya,” ujarnya, Selasa kemarin.

Komisioner Bawaslu Kota Depok Sulastio menyatakan pihaknya sudah menerima laporan dari Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Sukmajaya soal bagi-bagi uang ini. Hanya, menurut dia, pihak yang melaporkan hal itu ke Panwaslu tak mau diambil keterangan lebih lanjut sehingga kasus ini belum dapat ditangani. “Dia (pelapor) bilang 'Saya sudah tua, saya tidak mau ribut' dan sebagainya," tuturnya saat ditemui secara terpisah.

Sulastio pun berharap warga mau memberikan keterangan untuk pengusutan lebih lanjut. "Yang di Cinere mudah-mudahan mau memberikan informasi dia menerima kapan. Kalau dia tidak mengenal yang memberikan siapa, tidak apa. Tapi bisa cerita peristiwanya kapan, bagaimana itu diberikan, dan sebagainya. Setelah itu, kita bisa masuk ke pendalaman yang lain," katanya.

Ketua Badan Saksi Nasional Partai Golkar Kota Depok (BSNPGD) Tajudin Tabri membantah tudingan bahwa caleg partainya, Ranny Fahd, melakukan politik uang. Dia justru menuding video yang beredar di masyarakat soal praktik uang itu adalah fitnah yang sedang ditujukan kepada partai berlambang pohon beringin tersebut. “Yang tidak suka bisa saja menyebarkan berita palsu atau fitnah menjatuhkan kami," tutur Tajudin dalam keterangan tertulisnya.

Keterangan yang sama disampaikan Ketua Tim Pemenangan Ranny Fahd A. Rafiq, Faisal. Ia menyebut video itu fitnah. "Kami tidak pernah membagi-bagikan uang untuk masyarakat," tulisnya kepada berbagai jurnalis media di Bekasi.

Selain di Kota Bekasi dan Depok, kasus politik uang terjadi di Cianjur, Jawa Barat. Polisi menangkap seorang aparatur sipil negara (ASN) berinisial OS yang membagikan uang kepada warga untuk memilih seorang caleg DPRD Cianjur. Dalam penggeledahan di rumah OS, polisi menemukan amplop berisi uang dengan spesimen surat suara caleg tersebut. 

Anggota Bawaslu Kabupaten Cianjur, Yana Sopyan, mengatakan OS merupakan tim relawan seorang caleg DPRD Cianjur. "Seharusnya yang bersangkutan sebagai ASN dilarang terlibat politik praktis dan harus bersikap netral sesuai dengan aturan," katanya, Selasa kemarin.

Yana berjanji menangani perkara ini dengan cepat. Dia menyatakan pihaknya masih mengumpulkan bukti lain untuk melengkapi unsur formil. "Kami masih mengumpulkan semua alat bukti dan keterangan agar memenuhi unsur formil, seperti pelapor, terlapor, barang bukti, dan kronologi. Kami akan melakukan pemeriksaan cepat soal dugaan politik uang untuk memenangkan seorang caleg DPRD Cianjur," ujarnya.

Tak hanya untuk pemilihan caleg, praktik politik uang terjadi untuk pemilihan presiden. Di Kabupaten Malang, Jawa Timur, seorang caleg berinisial P ketahuan membagikan uang Rp 1 juta kepada 20 warga di Desa Putat Kidul dan Desa Sepanjang, Kecamatan Gondanglegi. Uang itu diberikan agar warga memilih salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Komisioner Bawaslu Kabupaten Malang, Muhamad Hazairin, mengakui pihaknya tengah menangani pembagian uang yang videonya sempat viral di media sosial tersebut. Pembagian itu diduga dilakukan pada Ahad, 11 Februari lalu. Hazairin menyatakan mendapat laporan praktik politik uang tersebut dari kepala desa setempat. 

Kepada Bawaslu Kabupaten Malang, menurut Hazairin, P mengaku rutin membagikan uang kepada masyarakat setempat setiap Jumat Legi. "Katanya, memang biasanya setiap Jumat Legi itu menerima sumbangan dari beberapa pihak untuk dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan di sekitar rumah. Kebetulan (kali ini) uang tersebut berasal dari salah satu pasangan calon," katanya.

Hazairin menambahkan, pihaknya telah menarik uang itu dari masyarakat. Dia menambahkan, Bawaslu Kabupaten Malang juga akan melakukan tindak lanjut dalam tujuh hari kerja.

Anggota Bawaslu, Puadi. Dok. Bawaslu

Komisioner Bawaslu, Puadi, menyatakan pihaknya telah menindaklanjuti 11 laporan politik uang hingga hari ini. “Pada masa kampanye, laporan yang diterima terkait dengan politik uang sebanyak 11,” katanya saat dihubungi Selasa kemarin. 

Puadi menyatakan kesebelas laporan itu sebagian ada yang sudah masuk pengadilan, bahkan ada yang telah diputuskan di pengadilan. Hanya, Puadi tidak merinci secara detail siapa saja pelaku pelanggaran politik uang itu. 

Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Ihsan Maulana, menilai masih maraknya praktik politik uang disebabkan oleh gagapnya para caleg dalam menarik suara pemilih. Alih-alih menjual ide dan gagasan, peserta pemilu justru mengambil jalan pintas dengan menyebarkan uang. “Mereka tidak siap untuk menawarkan visi-misi program, juga memperkenalkan. Akhirnya, ya, politik uang digunakan,” tuturnya.

Biang keladinya, menurut Ihsan, adalah kegagalan partai politik dalam merekrut dan mempersiapkan para caleg. Masalah mahar politik yang masih terjadi, menurut dia, juga berperan. Setelah mengeluarkan uang mahar yang tidak sedikit, menurut dia, tak sedikit para calon yang menggunakan jalan pintas agar bisa menang dengan tujuan akhir mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan. “Mereka menggunakan cara politik uang supaya betul-betul terpilih di parlemen,” katanya.

Ihsan juga menyoroti soal tidak efektifnya Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang terdiri atas Bawaslu, kejaksaan, dan kepolisian. Menurut dia, ketiga lembaga itu harus menyepakati adanya unsur politik uang dalam sebuah kasus, tapi mereka memiliki pandangan berbeda dalam memahami politik uang. “Bahayanya, jika ada satu pihak saja yang menyatakan tidak memenuhi politik uang, itu enggak bisa ditindaklanjuti,” ujarnya.

Karena itu, Ihsan menyarankan perbaikan sistem penegakan hukum. “Harus ada perubahan regulasi dan keberanian penyelenggara pemilu. Politik uang itu cukup menjadi kewenangan Bawaslu saja seharusnya,” katanya.

Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana pun sependapat dengan Ihsan. Menurut dia, hal ini tak lepas dari para caleg yang muncul secara instan karena partai gagal melakukan fungsi kaderisasi. Selain itu, Arif menyoroti soal ancaman pidana politik uang yang tak menimbulkan efek jera. Dalam Undang-Undang Pemilu, pelaku politik uang hanya diancam penjara maksimal 2 tahun. “Tidak ada efek jera. Masak sama dengan mencuri ayam, bahkan hukumannya lebih tinggi mencuri ayam. Padahal ini kan mencuri kedaulatan rakyat,” katanya.

ADE RIDWAN YANDWIPUTRA | ADI WARSONO (BEKASI) | RICKY JULIANSYAH (DEPOK) | ANTARA

 

Konten Eksklusif Lainnya

  • 28 April 2024

  • 27 April 2024

  • 26 April 2024

  • 25 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan