maaf email atau password anda salah


Pengertian Jalur Rempah Nusantara dan Sejarah Pentingnya

Mendalami pengertian Jalur Rempah Nusantara dan meresapi sejarah pentingnya.

arsip tempo : 171489332899.

Rempah bunga lawang dan kapulaga. Dok. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo. tempo : 171489332899.

Wilayah Nusantara dikenal sebagai negeri dengan kekayaan rempah-rempah yang melimpah. Sejak zaman dahulu kala, Nusantara menjadi salah satu lokasi penting dalam jalur perdagangan.

Apabila perjalanan rempah-rempah itu dipetakan, Indonesia menjadi pusat dari jalur rempah dunia. Sejarah mencatat jalur ini menjadi cermin perjalanan peradaban, perdagangan, dan kekayaan alam yang tak ternilai. Berikut adalah pengertian Jalur Rempah Nusantara dan sejarah pentingnya.

Pengertian Jalur Rempah Nusantara

Jalur Rempah Nusantara adalah istilah penamaan untuk jalur perdagangan maritim yang menghubungkan kepulauan rempah di wilayah Nusantara dengan berbagai negara di Asia, Timur Tengah, dan Eropa. Jalur ini merupakan rute utama perdagangan rempah-rempah yang sangat dicari pada masa lalu dan memainkan peran kunci dalam sejarah perdagangan internasional.

Jalur rempah menjadi salah satu faktor penting dalam perkembangan peradaban dan ekonomi di wilayah Nusantara. Rempah-rempah, seperti cengkih, pala, lada, kayu manis, dan kapulaga, menjadi komoditas berharga yang dihargai tinggi serta menjadi daya tarik utama bagi pedagang dari berbagai belahan dunia. Bahkan jenis-jenis komoditas tersebut menjadi pemicu hadirnya kolonialisme di Indonesia.

Jalur rempah terbentuk dari perdagangan "perencah" melalui jalur laut yang telah terjalin selama ribuan tahun, jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Para pedagang dan pelaut pada masa itu mengandalkan musim untuk menentukan arah angin, membentuk jalur perdagangan yang strategis.

Adapun rute jalur rempah-rempah global di Asia yang melewati Samudra Hindia ke Samudra Pasifik, menghubungkan tiga benua besar yaitu Asia, Afrika, dan Eropa. Dengan demikian, jalur tersebut memiliki jejak peradaban yang signifikan.

Restoran Rempah-Rempah, Jakarta. Dok. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo

Sejarah Jalur Rempah

Mengutip laman Museum Nasional, kawasan Nusantara sudah sangat lama dikenal sebagai penghasil rempah dengan kualitas nomor wahid, berharga mahal, dan sangat terkenal di dunia. Pada 400 Masehi, sastrawan India, Kalidasa, menyebut istilah “Dvipantara” sebagai kepulauan penghasil cengkeh dalam kumpulan puisinya yang berjudul Raghuvamsa. Para sejarawan mempercayai Dvipantara adalah Nusantara.

Catatan sejarah menunjukkan jalur rempah ada sejak 4.500 tahun lalu. Kedatangan bangsa Austronesia ke wilayah Nusantara sekitar periode tersebut dengan perahu menandai awal dari pertukaran rempah dan komoditas lainnya antar-pulau di Indonesia timur. Budaya yang mereka bawa menjadi akar dari budaya bahari yang membawa rempah hingga ke wilayah Asia Selatan dan bahkan Afrika Timur.

Selanjutnya, pada rentang abad ke-9 hingga ke-16, beberapa kerajaan di Nusantara mengeluarkan uang logam yang terbuat dari emas, timah, perak, dan tembaga. Peningkatan perdagangan dapat dikenali dari meluasnya sirkulasi uang tembaga kasha, yang diusung oleh pedagang Cina di Nusantara pada masa tersebut.

Berdasarkan informasi dari Anri.go.id, Eropa aktif terlibat dalam perdagangan rempah-rempah pada abad ke-15 dan ke-16. Perdagangan ini menjadi sumber kemakmuran bagi negara-negara di sekitar Laut Mediterania. Bangsa Eropa, seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda, kemudian melakukan penjelajahan untuk mencari jalur laut baru ke Nusantara dengan tujuan mengendalikan perdagangan rempah.

Meskipun mereka berusaha memperoleh informasi tentang kepulauan rempah-rempah, usaha tersebut tidak membuahkan hasil. Kegagalan ini mendorong bangsa Eropa menjelajahi samudra guna menemukan daerah penghasil rempah-rempah. Upaya ini menghasilkan penemuan baru dan, sebagai dampak lainnya, menyebabkan munculnya kolonialisme oleh bangsa Eropa terhadap bangsa-bangsa di benua lain.

Pada 1511, Portugis menaklukkan Malaka. Pada tahun berikutnya, mereka mencapai kepulauan Maluku dan Banda dengan bantuan pelaut Melayu yang mengetahui jalur maritim ke wilayah tersebut. Persaingan sengit di antara negara-negara Eropa terjadi sehingga mengakibatkan perubahan kekuasaan di wilayah ini.

Kedatangan Portugis diikuti oleh kedatangan orang Spanyol sekitar delapan tahun kemudian. Dalam perkembangannya, Portugis dan Spanyol bersaing untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah. Portugis bersekutu dengan Kesultanan Ternate, sedangkan Spanyol bermitra dengan Kesultanan Tidore.

Perubahan terjadi saat orang-orang Belanda tiba di kepulauan rempah-rempah di Indonesia timur pada 1599. Kapal Belanda yang dikomandoi oleh Jacob van Neck tiba di Maluku. Ini menjadi kunjungan pertama mereka ke wilayah tersebut. Kedatangan itu disambut baik oleh masyarakat Maluku. Belanda pun berhasil membeli rempah-rempah dalam jumlah besar.

Bahkan, keuntungan yang diperoleh dari penjualan rempah-rempah mencapai 400 persen, memicu pengiriman besar-besaran armada dagang dari berbagai pelabuhan di Belanda. Namun, karena Belanda membawa rempah-rempah dalam jumlah yang besar, menyebabkan pasar mengalami penawaran berlebihan, yang kemudian mengakibatkan penurunan harga rempah.

Untuk mengatasi penurunan harga rempah, pada 1602, Belanda memutuskan untuk mendirikan Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Dengan adanya VOC, kegiatan perdagangan Belanda dapat dijalankan secara terorganisasi di bawah satu badan.

Sekitar abad ke-17 hingga ke-18, Indonesia menjadi negara penentu dalam perkembangan perdagangan global karena menghasilkan komoditas rempah-rempah. Dalam perdagangan di jalur rempah, komoditas unggulan kepulauan Indonesia adalah cengkih, pala, dan lada. Ketiga komoditas ini sangat dicari oleh pedagang asing yang datang ke Asia Tenggara karena memiliki nilai tinggi di pasar dunia.

Pala dan cengkih merupakan tanaman asli Indonesia yang pada abad ke-17 hanya tumbuh di Kepulauan Maluku (cengkih) dan Banda (pala). Sementara itu, tanaman lada bukanlah tanaman asli Indonesia, melainkan diperkenalkan oleh orang India yang membawa tidak hanya komoditas, tapi juga agama (Hindu dan Buddha) serta budayanya ke Indonesia.

Pada abad ke-20, Indonesia meraih kemerdekaan. Meskipun perdagangan rempah-rempah tidak lagi menjadi pusat utama ekonomi, warisan Jalur Rempah Nusantara tetap kental dalam budaya, kuliner, dan sejarah Nusantara.

Sejak 2017, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memulai upaya untuk mengusulkan Jalur Rempah sebagai warisan dunia kepada UNESCO. Pengajuan Jalur Rempah (Spice Routes) sebagai warisan budaya dunia didasarkan pada pemahaman bahwa Jalur Rempah bukan sekadar jalur pertukaran antar-budaya dan pengetahuan yang melampaui konteks ruang serta waktu.

Jalur Rempah dianggap sebagai Cultural Route atau Jalur Budaya, suatu aspek yang memberikan peluang besar untuk diajukan sebagai warisan budaya ke UNESCO oleh Indonesia bersama dengan negara-negara lain (joint nomination) yang terlibat dalam jalur perdagangan ini.

Salah satu tujuan dari menghidupkan kembali Jalur Rempah adalah untuk memberikan pengingat kepada generasi muda tentang peran sentral Jalur Rempah dalam membentuk identitas bangsa, negara, dan peradaban Indonesia. Upaya ini tidak dimaksudkan untuk terperangkap dalam romantisme sejarah semata, melainkan sebagai usaha untuk merevitalisasi nilai-nilai budaya rempah serta memahaminya sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan pada zaman ini dan masa depan.

Rizki Dewi Ayu

Konten Eksklusif Lainnya

  • 5 Mei 2024

  • 4 Mei 2024

  • 3 Mei 2024

  • 2 Mei 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan