Jember Fashion Carnaval, yang dihelat sejak 2003 dan salah satu karnaval terbaik di Asia dan dunia, tak menyerah pada pandemi Covid-19. Budi Setiawan, Presiden Jember Fashion Carnaval, dan kawan-kawan tetap mengadakan acara ini secara virtual pada 22 November lalu. “Kami ingin tetap ada karya yang bisa dihadirkan,” kata Budi Setiawan kepada Dian Yuliastuti dari Tempo melalui aplikasi pesan, Kamis-Jumat, 3-4 Desember lalu.
Memang berbeda dengan biasanya, yang jauh-jauh hari panitia sudah sibuk menyiapkan parade kostum besar. Kali ini, mereka berfokus ke anak-anak dalam World Kids Carnaval (WKC), yang melibatkan peserta dari 13 negara dari lima benua. Mengangkat tema persaudaraan seluruh bangsa di dunia, sebagian anak melakukan parade secara luring di Jember. Sebagian lagi di negaranya menonton video atraksi mereka yang ditayangkan secara bergantian.
Iwan—panggilan akrab Budi Setiawan menceritakan proses menyiapkan karnaval beserta segala kerumitannya. Berikut ini petikannya.
Akhirnya JFC digelar dengan konsep yang berbeda, ya?
JFC Grand Carnaval seperti pada tahun-tahun sebelumnya tak bisa terselenggara karena pandemi. Namun kami berpikir ingin tetap ada karya yang bisa dihadirkan. Karena selama ini, sejak 2003, tidak pernah absen. Aneh rasanya kalau enggak ngapa-ngapain. Bagaimana dalam kondisi terbatas ini tetap bisa ada kegiatan berskala internasional.
Akhirnya kami menggagas World Kids Carnaval, setara dengan JFC, yang selama ini kami buat setiap tahun. Tidak sekadar bikin event, tapi ada juga pesan yang ingin kami sampaikan bahwa pada masa pandemi ini harus tetap bisa berkarya. Anak-anak ini ikut terkena dampak.
Word Kids Carnival (WKC), pre-event Jember Fashion Carnaval (JFC) di Jember, Jawa Timur, 22 November 2020. ANTARA/Seno
Apakah pesertanya dari lima benua?
Pertimbangan lima benua, negara-negara yang ikut mewakili negara yang ada di dunia. Sebab, pesannya adalah World Kids Carnaval: We are All One. Kita adalah satu. Harapannya, dengan keterwakilan lima benua, bisa menjadi simbol persatuan seluruh dunia. Pesertanya ada 13 negara, termasuk Indonesia.
Bagaimana cara mendapatkan peserta dari negara-negara lain?
Kami mencoba melakukan pendekatan ke semua jaringan. Peserta direkrut dari komunitas yang selama ini sudah berinteraksi dengan KBRI di negara masing-masing. Di Asia ada India, Filipina, Jepang, dan Indonesia. Lalu Australia. Benua Amerika diwakili Kanada. Benua Afrika diwakili Uganda, Nigeria, Senegal, dan Pretoria. Eropa diwakili Hongaria, Bosnia Herzegovina, dan Serbia.
Apa tantangannya dalam penyelenggaraan acara ini?
Tantangannya terkait dengan pandemi. Beberapa negara itu, Amerika dan Eropa, kan sedang menjalankan protokol kesehatan luar biasa karena peningkatan jumlah kasus Covid. Mengumpulkan anak-anak berkegiatan menjadi tantangan tersendiri. Yang semula menyatakan bergabung, karena perkembangan terakhir jumlah kasus meningkat, jadi batal. Ada juga yang tidak diplot ternyata ikut bergabung dalam acara ini.
Ada masalah lain?
Kendala berikutnya adalah keterbatasan waktu. Persiapan sangat singkat. Kami mulai dari Agustus, dengan penyiapan konsep, mendistribusikan proposal. Mulai aktif berkomunikasi dengan negara-negara itu punya waktu 1,5 bulan sebelum show time. Ada pula yang memang dari awal sudah berkomunikasi dengan Jember Fashion Carnival, yakni Jepang dan Hongaria, karena sudah terbentuk sejak awal. Tapi sebagian besar lainnya baru mulai aktif ya 1,5 bulan itu. Karena itu, langsung koordinasi, dan ini juga menjadi tantangan berikutnya.
Ketua Yayasan Jember Fashion Carnaval (JFC), Budi Setiawan (kanan), saat pembukaan JFC ke-18 di Jember, Jawa Timur, 31 Juli 2019. Foto: www.jemberkab.go.id
Apa konsep kegiatannya?
Target awalnya kami selenggarakan dengan kondisi terbatas. Karena itu, ada beberapa konsep yang dibuat lebih mudah. Misalnya pemilihan tema untuk kostum, ambil kostum dengan tema-tema bercirikan negara-negara masing-masing. Kontennya lalu kami bebaskan, selama itu masih terkait dengan dunia anak-anak. Kalau tahun-tahun ke depan bisa memberikan tema lebih spesifik jika waktu atau durasinya mencukupi.
Bagaimana teknis penyelenggaraannya?
Semua negara yang terlibat membuat dokumentasi konten kreasi tampilan semua anak-anak, bisa perorangan atau kelompok. Lalu dalam konten kreasi itu mereka saling menyapa, menunjukkan kreasinya. Ada yang menyanyi, ada yang menari, ada kegiatan seperti sport. Lalu konten mereka rekam dan dokumentasikan, lalu dikirimke panitia untuk disatukan.
Puncaknya di Jember pada 22 November lalu, acara diselenggarakan secara luring. Pemutaran video bergantian, selang-seling dengan parade kostum yang disiarkan secara live. Komunitas atau peserta dari negara lain juga mengikuti acara live tersebut. Karena ada 13 negara dan ada selisih zona waktu berbeda. Jadi, mereka bersama-sama menonton.
Paling jauh beda waktu Kanada, mereka tidak komplain?
Kami cari titik aman dari sisi perbedaan waktu yang terjauh, yakni Kanada, 13 jam. Kami mulai pukul 10.00, di Kanada mereka nonton pukul 11 malam. Kalau mulai lebih siang lagi, mereka bisa-bisa nonton dinihari. Negara lain paling selisih 2-4 jam.
Mengapa berfokus ke World Kids Carnival?
World Kids adalah tema universal, menggarisbawahi dunia anak-anak di mana pun, sangat mudah diterima, memberi perhatian, dan menghilangkan segala rasa perbedaan. Ini salah satu upaya agar lebih memudahkan mendapatkan atensi atau kepesertaan. Selain itu, ada misi soft diplomacy, diplomasi budaya, memperkenalkan karya Indonesia bagi dunia melalui anak-anak.
Ini memberikan wadah bagi anak-anak. Pada masa pandemi ini mereka masih bisa berkarya, ceria, bisa tetap tampil menunjukkan karya-karya dan talenta mereka. Itu sebagai simbol kita untuk menyemangati semua anak-anak di dunia. Itu juga sebagai ikon untuk Indonesia menyampaikan ke masyarakat dunia ini, kami masih tetap berkarya, tidak capek berusaha membuat karya, dan tampil dengan protokol kesehatan yang benar.
Untuk tahun depan rencananya bagaimana?
Tahun depan akan lebih detail, bukan hanya dokumentasi, tapi juga proses saat membuat kegiatan karnavalnya di-streaming-kan secara langsung. Nah, saat ini karena belum sampai tahap streaming, ya dokumentasinya dulu yang di-streaming-kan saat puncak acara. Tahun depan juga kami rencanakan ada archipelago, lalu seperti fashion week juga, serta melibatkan banyak figur publik.
Bagaimana dengan sesi utama JFC?
Semoga pandemi segera berlalu. Kami sudah menjadwal ulang banyak program, berharap tahun depan bisa selenggarakan event lebih spektakuler daripada tahun-tahun sebelumnya. Kami sudah siapkan konsep event yang relatif sangat berbeda dari tahun sebelumnya, dari konsep event, panggung, durasi penyelenggaraan, yang memungkinkan mengorganisasi kegiatan dan show time bisa menghadirkan puluhan ribu orang untuk menyaksikan.
Bagaimana cara membatasi masyarakat agar datang ke lokasi?
Penyelenggaraan tak diumumkan secara luas, tapi tidak benar-benar dirahasiakan. Agar tidak memancing penonton, kami batasi umbul-umbul dan tak menyebutkan lokasi. Hanya menyebutkan channel untuk menyaksikan secara virtual, untuk menghindari orang datang. Rencana awal 300 orang, lalu harus dikurangi menjadi 120 orang, dan itu pun sudah mengurangi personel kru.
Bagaimana penerapan protokol kesehatan, sampai dites cepat?
Tidak sampai rapid test, tapi cuma pengukuran suhu tubuh, wajib cuci tangan, pakai masker dan face shield, lalu jaga jarak. Sebelum show, subuh, venue sudah disemprot disinfektan. Saat peserta datang, kostum dan sepatu disemprot disinfektan. Pemilihan area pun sangat selektif untuk membatasi jumlah penonton. Jauh hari koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Jember dan Satgas Covid.
Penataan panggung sesuai dengan protokol Covid-19. Peserta yang dilibatkan 65 orang, itu sudah dibatasi. Awalnya berjumlah 100 anak, tapi kemudian total jumlah peserta yang diperbolehkan hanya di kisaran 120 orang, maka jumlah peserta kami turunkan menjadi 65. Tiap peserta didampingi satu pendamping. Media kami batasi hanya 10, tidak ada penonton luar atau undangan. Sehingga yang ada di venue hanya peserta, pendamping, kru panggung, tim streaming, media, dan petugas satgas Covid-19.
Karnaval ini biasanya menghasilkan dampak ekonomi yang sangat luas. Nah, yang kemarin ini bagaimana?
Dampak ekonomi, sangat berbeda dibanding era sebelum masa pandemi. Tapi penyelenggaraan event ini memberi harapan luar biasa bagi pihak yang terkait dengan kegiatan. Poin terbesar kami adalah menancapkan pilar baru yang akan menjadi satu bangunan untuk memicu dampak ekonomi bagi Kota Jember, yaitu jaringan organisasi internasional yang akan menggerakkan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan orang datang ke Jember.
Ketua Yayasan Jember Fashion Carnaval (JFC), Budi Setiawan (kanan), saat pembukaan JFC ke-18 di Jember, Jawa Timur, 31 Juli 2019. Foto: www.jemberkab.go.id
Kegiatan kemarin apakah melibatkan rumah mode atau individu?
Keterlibatan rumah mode tidak ada. Tapi peserta itu personel atau individu melalui proses training cuma-cuma, cara memperagakan, cara memahami sebuah tema, memproduksi desain atau kostum dari bahan yang sederhana. Di JFC, sistemnya, kostum masing-masing individu.
Bagaimana ceritanya JFC menjadi tim karnaval terbaik ketiga dunia?
Pada 2016, pemerintah menunjuk JFC tampil di Carnaval International de Victoria, Seychelles, Afrika Selatan. Indonesia mendapat peringkat ketiga. Indonesia di bawah tim Notting Hills, Amerika Serikat, dan (Reunion) Prancis. Karnaval itu diikuti puluhan peserta.
Bagaimana cara mempertahankan?
Upaya mempertahankan terbaik dunia memang PR besar. JFC pada 2014 sudah pernah mengantarkan Indonesia berprestasi di kompetisi Miss Universe di Amerika Serikat. Best National Costum, Kostum Terbaik, dirancang oleh Mas Dynan Fariz (almarhum) dan diproduksi tim kreatif JFC. Setelah itu berturut-turut dapat penghargaan best national costum di Miss Univers, Miss Supranational di Polandia; di Tokyo, Jepang; Miss Tourism di Malaysia; lalu Miss Grand di Las Vegas. Lebih dari 15 kostum dalam waktu berdekatan diciptakan oleh JFC.
Kami harus merawat sumber daya manusia di JFC. Tantangannya tinggi, apalagi ini kegiatan sosial, sebagai volunter. Bentuk organisasi ini adalah yayasan. Tapi ada hal besar yang melandasi kami memperjuangkan hal ini sebagai warisan generasi penerus, untuk Jember dan Indonesia. Konten ini harus didukung sistem agar program yang dibangun bisa dilaksanakan dengan baik. Poinnya, memperluas jaringan, memperkenalkan JFC lebih luas, berinteraksi dengan berbagai kementerian dan organisasi lain yang bersifat internasional.
Selepas acara JFC World Kids Carnival kemarin, apa kesibukan Anda?
Kami sedang ada program 19 Days Challenge, bikin program bagi milenial untuk workshop menciptakan pemimpin yang menjadi social enterpreuner. Setelah etape ini, mereka harus bisa membuat sistem dan diterapkan di UKM-UKM atau sektor pariwisata di Jember. Masa pandemi ini malah jadi menyempatkan diri melihat komunitas yang ada di Jember.
Menjalankan hobi?
Hobi khusus enggak ada, he-he-he. Musik saya dari dulu enggak spesifik. Kalau ada yang enak, ya, ikut dengerin saja. Enggak hafal sampai penyanyi siapa, he-he-he.
Kegiatan lain?
Saya juga sedang mencoba mengajak anak-anak di Jember mulai belajar digital dari anak TK dan SD. Yang ringan-ringan saja. Mengembangkan talenta anak-anak dalam desain.
Kami Perkenalkan Karya Indonesia Melalui Anak-anak