Dalam setahun, semua penerbit buku di Indonesia rata-rata bisa menerbitkan hingga 30 ribu judul buku. Namun, dari jumlah itu, baru sedikit yang dirancang untuk kaum tunanetra. Penerbitan buku Braille, seperti dicatat oleh Yayasan Mitra Netra Indonesia, rata-rata hanya sebanyak 2.800 judul, ditambah 2.500 buku dalam bentuk audio. Kondisi ini jelas tidak ideal. Apalagi jumlah penduduk tunanetra saat ini diperkirakan mencapai 6,6 juta jiwa.
Berbagai inisiatif untuk mempermudah akses literatur bagi para tunanetra sebetulnya sudah digaungkan sejak beberapa tahun lalu. Pada 2014, Yayasan Mitra Netra memulai gerakan Books for The Blind. Dalam gerakan ini, para volunter diajak untuk mengetik ulang buku guna dikonversi menjadi huruf Braille bagi tunanetra dalam rangka Hari Penglihatan Sedunia yang jatuh setiap 11 Oktober.
Kelompok yang peduli tunanetra sebetulnya saat ini tak lagi terlalu bergantung pada bahan bacaan yang menggunakan huruf Braille. Komunitas Difalitera dari Solo, Jawa Tengah misalnya, sudah mulai memproduksi buku audio sastra. Yulianto, aktivis di Difalitera, menjelaskan, sebetulnya saat ini keberadaan buku audio lebih membantu bagi tunanetra. Sebab, para tunanetra generasi muda banyak yang kesulitan membaca Braille. "Untuk membaca satu paragraf (berhuruf Braille) saja mereka bisa menghabiskan waktu sekitar 20-30 menit," kata Yulianto kepada Tempo, beberapa waktu lalu.
Menurut Yulianto, ada beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan Braille kian luntur di kalangan tunanetra generasi muda. Pertama, sebagian besar dari mereka tak bisa melihat karena kecelakaan atau penyakit saat beranjak dewasa. Akibatnya, kepekaan dalam meraba huruf Braille tidak sekuat mereka yang mengalami disabilitas netra sejak lahir.
Faktor kedua, Yulianto berujar, mayoritas tunanetra masuk generasi milenial, yang lahir pada 1980-1990-an dan generasi Z yang lahir pada periode 1995-2014, sehingga tumbuh dan besar dalam era kebangkitan teknologi digital.
"Dalam sistem pendidikan inklusif, SMP, dan SMA di Solo yang menerima siswa disabilitas netra juga jarang menggunakan Braille. Jadi, kalau siswa biasa pakai buku, siswa tunanetra pakainya laptop. Sebab, banyak tugas atau ujian yang dikerjakan di e-mail, setelah selesai langsung dikirim," ujar Yulianto.
Yulianto menambahkan, Braille memang masih menjadi standar pendidikan dasar bagi tunanetra. Namun Braille pada masa kini sekadar diperkenalkan, tapi tidak terlalu sering diterapkan. "Braille sekarang hanya sebatas simbol. Braille paling digunakan untuk surat suara saat pemilu atau hanya tertera pada produk-produk tertentu," kata Yulianto.
Penyandang disabilitas netra yang aktif di Pusat Pengembangan dan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (PPRBM) Solo, Agatha Febriany, mengatakan majalah atau buku bacaan yang dicetak dalam huruf Braille selama ini juga kurang populer di kalangan tunanetra muda karena jumlahnya sangat terbatas.
"Dulu saya masih sering membaca majalah Braille dari Balai Penerbitan Braille Indonesia Abiyoso Cimahi di Dinas Sosial Solo," kata alumni Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta yang menjadi difabel netra karena glukoma yang dideritanya saat kuliah semester akhir ini.
Meski demikian, Agatha melanjutkan, muatan sastra dalam majalah yang biasa dihibahkan ke sekolah luar biasa dan panti-panti difabel netra sangat terbatas. Sedangkan buku-buku sastra yang dicetak dalam huruf Braille mayoritas hanya roman-roman klasik, misalnya Siti Nurbaya.
Demi melanjutkan kegemarannya membaca karya sastra, Agatha kini juga mengandalkan aplikasi pembaca layar atau screen reader di komputer dan gawai. "Memang ada beberapa karya sastra yang juga diterbitkan dalam bentuk audiobook. Tapi tidak sedikit yang berbayar," kata Agatha.
Persoalan biaya memang menjadi salah satu kendala penerbitan buku berhuruf Braille. "Terutama untuk penerbitan buku yang naskahnya dari penulis dan penerbit luar negeri," ujar Deputi Direktur World Intellectual Property Organization Asia-Pasifik, Candra Darusman, kepada Tempo, Senin lalu. Masalah ini, kata dia, sudah menjadi perhatian di lembaga PBB yang mengurusi persoalan hak cipta dan kekayaan intelektual tersebut.
Pada 2013, Indonesia sebetulnya sudah menandatangani Traktat Marrakesh. Perjanjian antarnegara ini memfasilitasi akses atas ciptaan yang dipublikasikan bagi tunanetra. Ketentuan pada traktat itu diimplementasikan pada Pasal 44 ayat 4 Undang-Undang tentang Hak Cipta tahun 2014.
Menurut Candra, dengan adanya traktat ini, penerbit Braille di Indonesia bisa meminjam naskah-naskah buku dari penerbit maupun penulis di luar negeri untuk diterbitkan ulang di Indonesia maupun sebaliknya. "Tanpa harus membayar royalti atau hak cipta," kata Candra. "Karena tujuannya untuk menjamin akses bacaan kaum tunanetra."
Pada traktat itu, kata dia, ada pengecualian pembayaran royalti dalam mereproduksi, mendistribusikan, dan membuat tersedianya karya cetak yang dirancang dalam format yang bisa diakses penyandang disabilitas tanpa melanggar hak cipta dan hak terkait. Dengan cara ini, Candra menambahkan, diharapkan penerbitan buku Braille akan semakin banyak dan murah.
Adapun Direktur Kerja Sama dan Pemberdayaan Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Molan Karim Tarigan, mengatakan, meski sudah meratifikasi traktat Marrakesh, pemerintah masih merancang implementasinya. "Ketentuan soal itu akan diatur lebih rinci dalam peraturan pemerintah yang masih dalam tahap pembahasan," ujarnya dalam keterangan tertulis, Juli lalu. PRAGA UTAMA | DINDA LEO LISTY (SOLO)