maaf email atau password anda salah


Representasi Pocong dalam Sinema Indonesia

Pocong paling banyak direpresentasikan dalam film Indonesia. Berubah dari waktu ke waktu.

arsip tempo : 171424095320.

Ilustrasi pocong. Shutterstock. tempo : 171424095320.

Tubuh yang terbalut kain putih dengan tali kafan terikat, berlumuran tanah, diisi belatung, melompat dan terbang menerjang, mencekik, menyemburkan cairan tubuh melalui mulut, mengeluarkan cahaya hijau dari mata, serta membalas dendam dan membunuh menjadi elemen dari representasi pocong dalam film horor Indonesia.

Menurut riset yang kami lakukan sebagai dosen ilmu komunikasi dan media di Universitas Padjadjaran, representasi tersebut menjadi pantulan ketakutan yang tertanam di benak masyarakat Indonesia.

Menariknya, representasi pocong ini mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Mengutip Sigmund Freud, ahli saraf dan ilmuwan psikologi asal Austria yang dikenal sebagai bapak psikoanalisis, terkadang tubuh orang mati hanyalah mayat. Namun, di lain waktu, mayat menjadi mekanisme yang tidak dapat dipisahkan dari wacana sosial, ideologi gagasan, sikap, dan ketakutan yang ada di masyarakat.

Dengan demikian, ketika situasi masyarakat berubah, representasi atas pocong pun berubah.

Cuplikan film Mumun. Dok. Dee Company

 
Representasi Pocong Sebelum Era 90-an: Pelengkap dan Sederhana


Berbeda dengan di Indonesia, masyarakat Timur Tengah tidak mempercayai manusia dapat menghantui setelah kematiannya. Dengan demikian, film horor supernatural klasik Timur Tengah menempatkan jin dan variannya sebagai antagonis.

Sementara itu, horor supernatural Indonesia lebih banyak menempatkan manusia yang mati penasaran akibat pembunuhan dan menyimpan dendam sebagai hantu. Hal ini karena pocong dan banyak hantu lain di Indonesia berdiri di atas sistem kepercayaan sinkretik, berkelindan antara kepercayaan atas roh gentayangan, tempat keramat, dan momen-momen ngeri.

Pocong sendiri merupakan entitas spektral (terikat secara geografis) yang unik. Sebab, walaupun representasinya berkaitan erat dengan ritual religi, pocong sebagai hantu tidak (pernah) benar-benar dominan mengisi layar sinema negara dengan mayoritas penduduk Islam lainnya. Bahkan negara Timur Tengah tidak memiliki film horor pocong sama sekali.

Penelusuran yang kami lakukan juga menunjukkan bahwa hantu pocong di Melayu pada awal abad ke-20 disebut sebagai hantu bungkus, hantu golek, atau hantu guling. Richard James Wilkinson, seorang administrator Kolonial Inggris, sarjana Melayu sekaligus sejarawan dari Inggris, dalam kumpulan makalahnya berjudul Malay Beliefs (1906) menjelaskan bahwa hantu kochonk yang terikat kafan hanya dapat berjalan berguling ke samping. Pocong dalam wacana awal abad ke-20 di Melayu memang direpresentasikan secara sederhana, yaitu sebagai hantu yang tergolek atau terguling.

Setan Kuburan (1975) adalah film horor yang paling vulgar menjadikan pocong sebagai hantu utama pada periode sebelum 1990-an. Setelah itu, terdapat film yang merepresentasikan pocong sebagai hantu, seperti Malam Satu Suro (1988). Tapi pocong tidak mendominasi layar sinema kita pada periode 1970-1998. Pocong hanya menjadi elemen pembangkitan hantu yang kemudian termanifestasi menjadi hantu lain, seperti sundel bolong dalam Malam Satu Suro (1988); atau sebagai pelengkap untuk menambahkan nuansa teror pada bagian akhir film, seperti dalam Pengabdi Setan (1982).

Poster film Malam Satu Suro tahun 1988. Dok. IMDB

Representasi Pocong Pascareformasi: Tokoh Utama di Berbagai Media


Pascareformasi, khususnya setelah tayangnya Pocong 2 (2006) yang disutradarai Rudi Soedjarwo, pocong berkali-kali "menghantui" layar sinema Indonesia.

Berdasarkan catatan kami, pada periode 2000-2020, terdapat 37 film horor Indonesia yang merepresentasikan pocong sebagai hantu utama. Data ini sangat signifikan bila dibanding representasi pocong dalam film horor sebelum 1998.

Kemunculan Pocong 2 (2006) yang disusul oleh serentetan film pocong lain merupakan indikasi terjadinya pergeseran wacana ketakutan masyarakat Indonesia. Penelitian kami mengungkap terjadinya peningkatan kuantitas film horor Indonesia secara signifikan, terutama pada genre horor spiritual yang mengandalkan nuansa religi pascareformasi.

Studi Inaya Rakhmani, Direktur Asia Research Centre Universitas Indonesia, pada 2014 menunjukkan hubungan antara dinamika praktis televisi komersial dan peningkatan kesalehan baru masyarakat, terutama pascareformasi. Hal ini mendorong lahirnya gelombang menuju “Islam arus utama”, yang mencerminkan simbiosis antara pengaruh Islam yang berkembang dan komersialisasi di industri televisi Indonesia.

Sinetron Jadi Pocong (2002-2003), yang merupakan referensi dari film Mumun (2022), menjadi bagian dari arus utama tersebut, khususnya dalam genre horor dengan latar religi. Kehadiran hantu pocong menjadi semacam spiritual turn dalam wacana film Indonesia.

Spiritual turn yang dimaksudkan adalah adanya peningkatan horor spiritual secara signifikan dan semakin menipisnya horor dengan genre lain, seperti monster, slasher atau jagal, serta horor psikologis, terutama bila dibanding horor Indonesia pada 1970-1980-an.

Periode 2000-an juga menandai banyaknya representasi pocong di berbagai media lain selain film. Media cetak yang memberikan visualitas dan narasi pocong secara masif adalah Hidayah, majalah dengan oplah paling besar pada periode 2000-2004 di Indonesia, dengan angka tertinggi 320 ribu penjualan per edisi. Hidayah adalah satu-satunya terbitan dalam bentuk majalah yang mengekspos visualitas pocong secara superlatif pada halaman sampul dan kontennya.

Representasi ini kemudian "diadopsi" oleh media televisi melalui sinetron Jadi Pocong (2002-2003). Walaupun sutradara Jadi Pocong menyatakan bahwa sinetron tersebut berasal dari cerita rakyat yang telah ada bertahun-tahun, kenyataannya ia muncul setelah majalah Hidayah mengisi loper-loper koran dan majalah di seluruh Jakarta, bahkan Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa Jadi Pocong mendapat efek dari popularitas pocong yang sudah ada sebelumnya. Hidayah kemudian diadaptasi dalam format sinetron yang ditayangkan pada 2005-2007.
 

*) Artikel ini ditulis oleh Justito Adiprasetio dan Annissa Winda Larasati, pengajar di Universitas Padjadjaran, dan tayang pertama kali di The Conversation.

 

Konten Eksklusif Lainnya

  • 27 April 2024

  • 26 April 2024

  • 25 April 2024

  • 24 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan