JAKARTA – Undang-Undang Cipta Kerja tak kunjung mendapat dukungan dari organisasi buruh dan pekerja. Suara penolakan terus menggema, meski undang-undang telah disahkan dan draf rancangan peraturan pemerintah (RPP) telah diterbitkan. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek), Mirah Sumirat, mengatakan sikap pemerintah yang ngotot menerbitkan RPP tanpa merespons aspirasi buruh dan pekerja hanya menambah panjang kekecewaan.
“Memang ketika isi undang-undang buruk, tidak mungkin peraturan pemerintah menjadi baik. Kami sudah menegaskan penolakan karena masih saja ada yang tidak sesuai dan tidak berkenan dari aspek aturan ketenagakerjaan yang layak,” ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Adapun tiga draf yang telah dirilis itu adalah RPP tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan; RPP tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja; serta RPP tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo sudah mengesahkan UU Cipta Kerja pada 2 November 2020. Sesuai dengan ketentuan dalam UU ini, aturan turunan harus selesai dalam tiga bulan setelah UU Cipta Kerja berlaku.
Mirah menjelaskan, poin-poin keberatan asosiasi masih sama. Pertama, penolakan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Kedua, aturan pemberian hak pesangon ketika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Ketiga, aturan perlakuan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Keempat, kelonggaran aturan penggunaan tenaga kerja asing. “Semua itu membuka celah penyelewengan yang dapat dimanfaatkan oknum-oknum pengusaha nakal, yang kemudian dapat merugikan pekerja,” ucapnya.
Pekerja keluar dari pabrik di Bekasi, Jawa Barat, 3 September 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, berujar bahwa kalangan serikat buruh dan pekerja pun tidak pernah serta tidak akan terlibat dalam pembahasan aturan turunan UU Cipta Kerja. “Tidak mungkin buruh yang menolak kemudian secara bersamaan juga terlibat dalam pembahasan RPP,” katanya.
Said menambahkan, organisasi buruh dan pekerja juga tidak menyetujui pembahasan aturan turunan tersebut karena proses gugatan uji materi atau judicial review sedang berjalan di Mahkamah Konstitusi. Bila gugatan dikabulkan, pembahasan aturan turunan menjadi sia-sia.
Poin-poin dalam RPP yang disiapkan Kementerian Ketenagakerjaan itu justru dinilai melanggar norma-norma hukum dan tujuan dibentuknya UU Cipta Kerja. Maka, KSPI meminta pemerintah menghentikan pembahasan RPP atau asosiasi akan terus melanjutkan aksi penolakan hingga aspirasi yang disampaikan diakomodasi dalam perbaikan aturan tersebut.
“Kami meminta pemerintah tidak membuat kebijakan yang blunder dan justru merugikan buruh dan pekerja di Indonesia,” ujar Said. Organisasi buruh, kata dia, akan tetap melanjutkan aksi lapangan dan virtual untuk meminta Mahkamah Konstitusi mencabut atau membatalkan UU Cipta Kerja, khususnya kluster ketenagakerjaan
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 9 Februari 2021. ANTARA/Hafidz Mubarak A
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah menyanggah adanya dampak negatif Undang-Undang Cipta Kerja terhadap kesejahteraan buruh dan pekerja. Menurut Ida, aturan tersebut justru diyakini bakal mereformasi regulasi ketenagakerjaan saat ini serta mampu menciptakan 2,7-3 juta lapangan kerja setiap tahun. “Di dalamnya terdapat urgensi penyederhanaan, sinkronisasi, dan pemangkasan regulasi yang menghambat penciptaan lapangan kerja,” ujarnya.
Tak hanya menyiapkan regulasi, Ida menuturkan, pemerintah akan mengintegrasikan data Sistem Informasi Ketenagakerjaan dengan data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan untuk menjalankan program JKP. Dengan demikian, pelaksanaan program tersebut diharapkan dapat tepat sasaran. “Integrasi data dibutuhkan karena salah satu syarat penerima program JKP adalah pekerja harus terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan untuk program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JM).”
GHOIDAH RAHMAH