JAKARTA – Alarm utang luar negeri Indonesia kembali berbunyi. Baik pemerintah maupun swasta sama-sama mencatatkan tren kenaikan utang luar negeri di tengah resesi akibat pandemi Covid-19. Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede mengungkapkan peningkatan utang tersebut berisiko, lantaran tidak diiringi dengan peningkatan kemampuan membayar. Rasio pembayaran utang atau debt to service ratio (DSR) tier 1 terus melebar. Menurut dia, hingga semester I 2020, tingkat DSR Indonesia berada di level 29,5 persen, meningkat dari posisi akhir pada 2019 yang sebesar 26 persen.
“Peningkatan DSR mengindikasikan bahwa rasio pembayaran pokok dan bunga utang jangka panjang serta jangka pendek terhadap ekspor menurun,” ujar Josua kepada Tempo, kemarin. Hal itu mengindikasikan bahwa penambahan utang tidak disertai peningkatan kinerja ekspor dan komponen penambah devisa lainnya. Walhasil, suplai valuta asing untuk pembiayaan utang akan berkurang dan berpotensi menekan nilai tukar rupiah.
Josua menuturkan produktivitas utang luar negeri perlu ditingkatkan, khususnya dalam mendorong kinerja ekspor, sehingga tingkat DSR dapat terkendali di level yang rendah. “Pemerintah perlu semakin berfokus mendorong ekspor industri pengolahan,” katanya. Beberapa produk manufaktur domestik yang berdaya saing tinggi bisa menjadi andalan, seperti garmen, alas kaki, elektronik, dan otomotif. Tak hanya itu, menurut Josua, Indonesia membutuhkan transformasi ekonomi di sektor sumber daya alam, sehingga kinerja ekspor dapat terjaga, meski kondisi ekonomi global melemah.
Berdasarkan laporan International Debt Statistics 2021 yang dipublikasikan Bank Dunia, Indonesia menempati peringkat ketujuh dalam jajaran 10 negara berpendapatan menengah dan rendah dengan utang luar negeri terbesar hingga akhir tahun lalu. Utang Indonesia tercatat sebesar US$ 402,8 miliar atau setara dengan Rp 5.830 triliun dengan kurs rupiah 14.500 per dolar Amerika.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, memproyeksikan dalam beberapa tahun ke depan Indonesia bakal berada di atas Turki dan Meksiko yang saat ini menempati posisi keenam dan kelima dalam daftar pengutang terbesar. “Kenaikan utang luar negeri pemerintah utamanya didorong oleh penerbitan surat utang global, belum lagi tambahan utang valas swasta,” ujarnya.
Kenaikan utang yang tak terkendali di tengah pelemahan perekonomian pun berpotensi menekan sektor riil. “Bisa terjadi financial distress pada sektor swasta karena tekanan nilai tukar. Gelombang pailit bisa terjadi karena beban utang yang terlalu besar,” ujarnya. Hal tersebut berpotensi menjadi kian parah jika pada saat yang sama sektor swasta tak melakukan lindung nilai terhadap utang luar negeri.
Bank Indonesia, dalam statistik utang luar negeri (ULN) Agustus 2020, mencatat kenaikan utang dari US$ 409,7 miliar pada Juli 2020 menjadi US$ 413,4 miliar atau setara dengan Rp 6.084 triliun (kurs rupiah 14.717 per dolar Amerika). Jumlah tersebut meningkat 5,7 persen, lebih tinggi dibanding pertumbuhan pada bulan sebelumnya yang sebesar 4,2 persen. “Peningkatan ini disebabkan oleh transaksi penarikan neto ULN, baik pemerintah maupun swasta,” ujar Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Onny Widjanarko.
Ia mengatakan utang luar negeri pemerintah dan Bank Indonesia tumbuh 3,4 persen menjadi US$ 203 miliar, sedangkan utang swasta dan badan usaha milik negara naik 7,9 persen menjadi US$ 210,4 miliar. “Utang luar negeri pemerintah didorong oleh penarikan komitmen pinjaman dari lembaga multilateral untuk menangani pandemi dan program Pemulihan Ekonomi Nasional,” ucapnya.
Sementara itu, utang luar negeri swasta dan BUMN dipengaruhi oleh pertumbuhan utang perusahaan non-lembaga keuangan yang melonjak hingga 10,3 persen. Sebagian besar utang tersebut, kata Onny, digunakan untuk membiayai kegiatan investasi perusahaan. Adapun rasio utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto pada akhir Agustus lalu tercatat sebesar 38,5 persen.
Merespons hal tersebut, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Rahayu Puspasari, menuturkan nilai utang luar negeri Indonesia masih berada dalam kategori sehat. “Struktur ULN Indonesia tetap didominasi oleh ULN jangka panjang yang memiliki pangsa 88,8 persen dari total ULN,” ujarnya.
GHOIDA RAHMAH
Kemampuan Pembayaran Utang Luar Negeri Melemah