JAKARTA – Badan Restorasi Gambut (BRG) tengah mencari lahan gambut potensial untuk dimanfaatkan sebagai tempat bertani, beternak, hingga budi daya ikan. Pemetaan selama tiga pekan terakhir dilakukan di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.
Kepala BRG Nazir Foead menuturkan pencarian difokuskan kepada lahan gambut rusak dan terbengkalai yang dapat dipulihkan kembali, baik milik masyarakat, perusahaan, maupun negara. Salah satunya kawasan gambut yang pernah terbakar. Dia memastikan program ini dilakukan tanpa membuka lahan gambut baru dan mengganggu zona lindung gambut.
Nazir menyebutkan proyek pemetaan ini diminta langsung oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. "Karena ada kekhawatiran ketahanan pangan," kata dia, kemarin. BRG diminta mengembangkan percontohan budi daya di lahan gambut skala kecil yang selama ini telah dilakukan di sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan. Juru bicara Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi, belum merespons saat dimintai konfirmasi mengenai tugas tersebut.
Sejauh ini, BRG telah membuka sawah seluas 86 ribu hektare di Kalimantan Tengah. Namun produktivitas di lahan tersebut belum mencapai 3 juta ton per hektare. Padahal, petani baru bisa menutupi modal pengelolaan lahan dan mendapat untung jika produksi di atas 4 juta ton per hektare. Berbeda dengan padi, sejumlah program budi daya di lahan gambut untuk komoditas hortikultura dan ternak ikan terbilang sukses.
Untuk menghindari kerugian seperti pengalaman sebelumnya, BRG menyiapkan beberapa skema pengelolaan. "Opsi pertama, bisa sepenuhnya dikerjakan petani melalui kelompok tani," kata dia.
Namun skema tersebut terlalu berisiko karena petani harus menanggung modal yang tinggi. Skema lainnya berupa bantuan pembiayaan dari pemerintah melalui BUMN maupun APBN. Alternatif ketiga berupa kolaborasi antara pemerintah, pihak swasta, dan dana hibah.
Nazir menilai pengelolaan akan lebih menguntungkan jika lahan milik masyarakat yang hendak digunakan itu dimanfaatkan dengan skema bagi hasil. Masyarakat dapat menghidupkan asetnya dan membantu pemerintah mengurangi potensi kebakaran gambut.
Petani juga tidak harus menanggung risiko gagal panen lantaran biaya ditanggung investor, baik itu melalui pemerintah, perusahaan, maupun dana hibah. "Investor bisa mendapatkan keuntungan dari pembagian hasil panen," kata dia.
Skema tersebut, menurut Nazir, sebaiknya dievaluasi selama lima tahun. Selama periode tersebut, lahan pertanian diperkirakan sudah optimal. Petani diasumsikan sudah memahami pengelolaan hingga distribusi hasil pertanian.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyatakan terdapat potensi 400 ribu hektare lahan basah yang dapat digunakan untuk menambah produksi pasokan pangan. "Selain mempercepat tanam sebelum kemarau, dengan tambahan produksi di lahan ini, saya yakin pasokan akan aman," ujar dia. Ia berjanji akan membantu produktivitas di lahan gambut dengan menyediakan benih unggulan.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Sarwo Edhy menambahkan, sekitar 19 juta hektare rawa bisa dimanfaatkan tak cuma untuk sawah, tapi juga untuk perkebunan dan tanaman hortikultura. "Kalau mau mengantisipasi krisis dan kekeringan, program ini harus segera berjalan karena Juli sudah masuk musim kering," kata Sarwo Edhy.
VINDRY FLORENTIN