JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan selama triwulan I atau periode Januari-Maret 2020 surplus sebesar US$ 2,62 miliar dengan nilai ekspor US$ 41,79 miliar dan impor US$ 39,17 miliar. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan capaian tersebut lebih baik dibanding periode sama tahun lalu yang mengalami defisit US$ 62,8 juta.
Meski begitu, Suhariyanto mengatakan komposisi impor sepanjang triwulan pertama perlu menjadi perhatian. Impor barang konsumsi selama Januari-Maret naik 7,9 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Hal ini berkebalikan dengan impor bahan baku yang turun 2,82 persen periode sama 2019.
Selain itu, kata Suhariyanto, yang perlu mendapat perhatian adalah penurunan impor barang sebesar 13,07 persen selama tiga bulan pertama 2020 dibanding periode tahun lalu. "Tentunya komposisi impor ini perlu mendapat perhatian karena penurunan impor bahan baku dan penurunan impor barang modal berpengaruh pada pergerakan sektor industri perdagangan dan juga pembentukan modal tetap bruto atau investasi," ujarnya, kemarin.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan,Kasan Muhri, mengatakan surplus neraca perdagangan pada Maret dipicu oleh penurunan impor yang lebih besar dari penurunan ekspor. Total impor Maret 2020 turun 0,75 persen dibanding tahun lalu. Sementara itu, total ekspor hanya turun 0,20 persen.
"Apabila dilihat dari penggunaan barang, impor barang modal turun signifikan mencapai 18,07 persen secara tahunan dan impor bahan baku untuk industri juga turun mencapai 21,90 persen secara tahunan," ujar Kasan.
Menurut Kasan, sebagian besar impor bahan baku dan barang modal didominasi dari Cina. Adanya pandemi Covid-19 menyebabkan arus barang dari negara itu dan beberapa negara utama terhambat, yang menyebabkan impor Indonesia turun.
Secara tahunan, Kasan mencatat penurunan impor dari Cina sebesar 6,2 persen, Singapura turun 2,5 persen, Jepang turun 8,3 persen, Thailand turun 10,2 persen, dan Korea Selatan turun 8,9 persen. "Mengingat impor tersebut didominasi oleh bahan baku atau penolong dan barang modal yang sangat dibutuhkan industri, penurunan impor ini dikhawatirkan justru akan menurunkan kinerja ekspor beberapa bulan ke depan, terutama ekspor produk manufaktur."
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional, Shinta Kamdani, mengatakan surplus perdagangan pada Maret bukan hal yang patut dirayakan. Pada penurunan impor bahan baku atau penolong dan barang modal terjadi kombinasi hambatan rantai pasok global dan penurunan kinerja manufaktur. Hal itu berkebalikan dengan naiknya impor barang konsumsi ketika pandemi.
"Struktur impor yang seperti ini sama sekali bukan kabar baik karena berarti industrialisasi kita terancam eksistensi dan pertumbuhannya," ujar Shinta.
Di sisi lain, ketergantungan terhadap impor konsumsi bisa menjadi tren yang tidak baik sepanjang wabah. Menurut dia, hal itu akan menjadi faktor yang memperlebar defisit bila produktivitas dan harga komoditas ekspor nasional terus turun akibat wabah serta penurunan permintaan global atas komoditas mentah.
Pemerintah tidak bisa lagi mengandalkan ekspor komoditas mentah sebagai penghasilan karena agregat permintaan dunia juga turun drastis. "Hampir tidak ada komoditas yang tidak turun permintaan ekspornya, kecuali bahan baku obat-obatan dan alat kesehatan," ujar Shinta.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan purchasing managers index (PMI) manufaktur Indonesia menurun sepanjang Maret lalu. Riset IHS Markit menunjukkan PMI manufaktur turun ke 45,3 dari bulan sebelumnya yang mencapai 51,9. Menurut dia, yang perlu dikhawatirkan adalah tekanan kondisi ekonomi dalam negeri akan menekan manufaktur.
"Jadi semua kegiatan produktif juga mengalami perlambatan saat ini, dan akan ada penurunan ekspor," ujar Faisal. LARISSA HUDA