JAKARTA - Harga batu bara acuan (HBA) terus merosot sejak September lalu hingga semester pertama 2019. Tren negatif ini memaksa perusahaan tambang bersiasat agar kinerja keuangan mereka tak terganggu.
PT Adaro Energy Tbk, misalnya, berupaya meningkatkan efisiensi dan keunggulan operasional di seluruh rantai bisnis. Dengan cara tersebut, emiten berkode ADRO itu tak perlu menurunkan target produksi batu bara. "Kami masih optimistis bisa mencapai kinerja yang baik sesuai dengan panduan yang ditetapkan tahun ini," kata Head of Corporate Communication Adaro, Febriati Nadira, kepada Tempo, kemarin. Sepanjang tahun ini, Adaro menargetkan produksi batu bara sekitar 54-56 juta ton.
Strategi yang sama juga dilakukan PT Indika Energy Tbk. Head of Corporate Communication Indika Energy, Leonardus Herwindo, mengatakan tengah berupaya mengoptimalkan sumber daya manusia dan menjalankan belanja modal dengan hati-hati. "Kami juga terus melihat peluang untuk melakukan diversifikasi usaha, khususnya di bidang non-batu bara," kata dia.
Herwindo menuturkan, target produksi anak usaha Indika di bidang tambang, seperti PT Kideco Jaya Agung, tak berubah meski harga batu bara menurun. Kideco menargetkan produksi sebanyak 34 juta ton tahun ini, dan hingga Mei lalu produksinya sudah mencapai 13,6 juta ton. Anak usaha Indika lainnya, PT Multi Tambangjaya Utama (MUTU), ditargetkan memproduksi batu bara 1,5 juta ton. Hingga Mei lalu, produksinya telah mencapai 600 ribu ton.
Direktur PT Bumi Resources Tbk, Dileep Srivastava, mengatakan tak mengubah target produksi lantaran harga batu bara yang turun. Tahun ini, kata dia, emiten berkode BUMI itu menargetkan produksi batu bara 88-90 juta ton dengan rata-rata harga jual US$ 56 per ton. "BUMI telah mengontrak 85 persen dari total target produksi batu bara tahun ini dan sedang dalam proses memenuhinya," kata dia. BUMI berencana menggenjot produksi batu bara kalori tinggi dari PT Arutmin Indonesia untuk mencapai target produksi.
Efisiensi juga akan dilakukan BUMI. Dileep memperkirakan biaya produksi sekitar US$ 34 per ton sepanjang tahun ini. Dia tengah mengkaji kemungkinan untuk optimalisasi biaya, salah satunya dari harga minyak.
Pemerintah menetapkan HBA pada Juni 2019 di kisaran US$ 81,84 per ton. Harganya lebih rendah dari bulan sebelumnya, yaitu US$ 81,86 per ton. Harga acuan ini dihitung berdasarkan rata-rata Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platss 5900.
Kepala Seksi Pengawasan Usaha Operasi Produksi Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Hersanto Suryo, mengatakan tren penurunan HBA dipengaruhi oleh sejumlah faktor, salah satunya pembatasan impor batu bara oleh India. "Ada beberapa pabrik keramik yang ditutup sementara di India karena masalah lingkungan," ujarnya.
Selain itu, Cina saat ini tengah meningkatkan produksi batu bara mereka untuk memenuhi kebutuhan domestik. Di sisi lain, Rusia mulai menjual batu bara ke pasar Asia sehingga pasokan bertambah.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia, Hendra Sinadia, mengatakan menurunnya harga batu bara global saat ini juga dipengaruhi oleh pelemahan perekonomian dunia. Dampaknya, permintaan terhadap batu bara berkurang. Terlebih lagi Cina sebagai importir batu bara terbesar menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi mereka akibat perang dagang.
Meski begitu, dia tetap optimistis harga bisa berubah lebih baik. "Kami berharap harga semakin bagus. Pasar kan tidak stabil sehingga bisa saja terjadi perubahan harga," katanya. VINDRY FLORENTIN
Merosot Semakin Dalam