Bos Pertamina zonder Kompetensi
Pemerintah mengangkat politikus Gerindra yang miskin kompetensi dan pengalaman sebagai Direktur Utama Pertamina.
KEPUTUSAN pemerintah mengangkat Simon Aloysius Mantiri sebagai Direktur Utama PT Pertamina (Persero) patut disesalkan. Pemerintah semestinya bisa mencari dan menunjuk orang yang lebih kompeten untuk memimpin perusahaan minyak negara beraset Rp 1.390 triliun yang menentukan hajat hidup banyak orang Indonesia tersebut. Tapi kursi sepenting itu malah dipasrahkan kepada Simon, anggota Dewan Pembina Partai Gerindra.
Menaruh orang dalam di institusi sepenting Pertamina merupakan pertaruhan besar. Pertamina menyumbang 69 persen produksi minyak mentah, 32 persen produksi gas, dan mayoritas distribusi bahan bakar minyak nasional. Semestinya bos perusahaan ini adalah mereka yang memahami industri tersebut. Indikatornya, pengalaman kerjanya tak hanya nyambung dengan posisi puncak ini, tapi juga mesti mentereng.
Bukan meremehkan Simon. Rekam jejak pria asal Tomohon, Sulawesi Utara, itu di industri minyak dan gas belum mencorong. Simon memang pernah mencicipi peran sebagai insinyur di hulu migas ketika bergabung dengan operator blok South East Sumatera China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) setelah lulus dari Institut Teknologi Bandung pada 2003. Setelah itu, ia lebih banyak berkarier sebagai petinggi perusahaan energi milik Prabowo Subianto, PT Nusantara Energy. Ini bukan portofolio mengilau untuk memimpin perusahaan migas negara.
Pertamina bukan institusi atau badan usaha milik negara sembarangan. Di tengah gejolak politik global yang membuat harga minyak fluktuatif, dibutuhkan kapten yang memahami betul industri ini. Juga diperlukan orang yang tahu benar bagaimana menjaga keuangan perusahaan.
Memimpin Pertamina merupakan pekerjaan yang sangat teknis. Selain jago mengelola organisasi yang punya 45 ribu karyawan, bos Pertamina mesti lihai membaca tren industri, merancang strategi perusahaan yang tidak cepat usang, punya kemampuan entrepreneur dan intrapreneur sekaligus, serta memiliki jaringan luas di industri migas dan keuangan—karena Pertamina membutuhkan banyak modal segar untuk mengimpor dan mengolah minyak menjadi bahan bakar.
Inkompetensi ini seolah-olah mengulang episode Pertamina di era Orde Baru. Ketika itu Pertamina limbung dan nyaris bangkrut gara-gara dipegang Ibnu Sutowo, dokter-tentara yang dipercaya Soeharto menjadi Direktur Utama Pertamina pada 1968-1976. Pertamina juga tak ke mana-mana selama dipegang tentara kepercayaan Soeharto, seperti Piet Haryono (1976-1981) serta Soegianto (1996-1998).
Baru sejak era reformasi, kompetensi Direktur Utama Pertamina lebih baik. Baihaki Hakim (2000-2003), misalnya, pernah menjadi Presiden Direktur Caltex Indonesia. Widya Purnama (2004-2006) mantan petinggi PT Indosat. Adapun Dwi Soetjipto (2014-2017) mantan bos Semen Indonesia. Direktur Utama Pertamina yang digantikan Simon, Nicke Widyawati (2018-2024), pernah menjadi direktur di Rekayasa Industri dan PT PLN (Persero) sebelum duduk di pucuk Pertamina.
Penunjukan orang dengan pengalaman terbatas akan mengarah pada salah urus perusahaan yang bisa berakibat fatal. Sudah sering Pertamina kejeblos masuk jurang karena mismanajemen dan intervensi politik.
Risiko ini makin berlipat manakala komisaris perusahaan juga sama-sama tidak kompeten. Pemerintah menunjuk Mochammad Iriawan, mantan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, sebagai komisaris utama perusahaan ini. Sebagaimana Simon, Iriawan juga kader Gerindra, partai pimpinan Prabowo. Hal ini bisa membuat pengawasan komisaris terhadap direksi melemah karena kurangnya obyektivitas dan pergeseran fokus perusahaan ke agenda politik.
Di luar bahwa keduanya adalah politikus, sehari-hari direktur utama dan komisaris utama memang tidak sampai terjun ke pekerjaan teknis. Namun kapten yang paham ombak bisa menghindarkan kapal dari karam.