Otoritarianisme Masuk Kampus
Dekan FISIP Universitas Airlangga membekukan kegiatan BEM karena membuat satire untuk Prabowo Subianto. Gagal tes demokrasi.
PEMBEKUAN kegiatan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga pada 25 Oktober 2024 membuktikan otoritarianisme telah masuk kampus. Kendati pembekuan itu dicabut atas permintaan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, watak otoriter tak bisa dihilangkan dari muka Dekan FISIP Bagong Suyanto dan universitas negeri di Surabaya tersebut.
Bagong Suyanto, seorang yang mendaku diri sebagai Guru Besar Sosiologi, menganggap karangan bunga yang dibuat pengurus BEM FISIP sebagai “narasi kasar yang tak sesuai dengan habitus akademik”. Para pengurus BEM membuat papan bunga selamat atas pelantikan “jenderal bengis” sebagai presiden dan wakil presiden yang lahir dari “rahim haram konstitusi”. Papan itu memuat foto Prabowo Subianto dengan predikat “Ketua Tim Mawar” dan Gibran Rakabuming Raka sebagai “Admin Fufufafa”.
Apa yang disampaikan para pengurus BEM itu adalah fakta. Semasa menjadi Komandan Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat, Prabowo membentuk “Tim Mawar” yang diakuinya menculik aktivis mahasiswa prodemokrasi pada 1998. Sedangkan Gibran, dari banyak bukti di media sosial, terafiliasi sebagai pengendali akun Kaskus “Fufufafa” yang mengejek dan menghina Prabowo dan keluarganya secara personal selama pemilihan presiden 2014 dan 2019.
Gibran naik menjadi wakil presiden berkat cawe-cawe ayahnya, Presiden Joko Widodo, yang memakai aparatur negara dan bantuan sosial untuk mempengaruhi pemilih agar mencoblos anaknya. Ipar Jokowi pula yang mengubah Undang-Undang Pemilihan Umum agar Gibran cukup syarat menjadi calon wakil presiden. Maka pengirim karangan bunga yang mengatasnamakan “Mulyono: Bajingan Penghancur Demokrasi” juga mengacu pada fakta yang sudah terjadi. Mulyono, seperti diakui Jokowi, adalah nama kecilnya.
Karena itu, jika Profesor Bagong menilai narasi para mahasiswa tersebut kasar hingga menjadikannya alasan membekukan BEM FISIP, ia tak paham ekspresi kritik, narasi satire, bahkan bisa dikatakan ia tengah menodai metode ilmiah. Premis dan hipotesis yang ia bangun dengan menilai karangan bunga itu menghasilkan penarikan kesimpulan yang keliru. Profesor Bagong melawan fakta yang disampaikan para mahasiswanya dengan penilaian subyektif yang tak diakui dalam standar akademik.
Bagi Bagong Suyanto, habitus akademik adalah kritik yang sopan. Ia memberi contoh, watak akademik adalah menulis di jurnal-jurnal ilmiah. Mungkin karena sedang membela diri dengan argumen yang rapuh, Bagong Suyanto melupakan sejarah gerakan mahasiswa dan ekspresinya dalam menyampaikan kritik kepada penguasa. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ekspresi kritik mahasiswa jauh lebih keras, tapi tak ada BEM yang dibekukan.
Bagong Suyanto contoh dosen yang terpengaruh pernyataan “demokrasi santun” Prabowo Subianto. Dalam pidato pelantikannya, Prabowo mengatakan bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi tanpa permusuhan dan mengoreksi tanpa caci maki. Sama seperti Prabowo yang hendak mengendalikan makna demokrasi, Bagong hendak memonopoli arti kritik. Ia tak hanya mengkritik ekspresi mahasiswa. Bahkan Bagong juga memakai kuasa sebagai dekan untuk membekukan kegiatan ketua, wakil ketua, dan menteri politik BEM FISIP Unair.
Jika watak otoritarianisme pejabat kampus seperti Bagong makin luas dan bercokol di pikiran para guru besar, kita akan menghadapi tembok represi sejak dari rahim kritik. Mahasiswa dan insan kampus adalah kelompok masyarakat yang menjadi andalan penyeimbang agar penguasa tak memakai kekuasaan secara kebablasan.
Kritik mahasiswa, masyarakat sipil, dan siapa pun warga negara penting agar demokrasi Indonesia tetap di jalan yang benar. Ekspresi dan penyampaian kritik, hanya soal cara, yang terjamin oleh hukum dan konstitusi. Maka, sadarlah wahai Bapak Profesor Bagong, watak otoriter Anda justru menodai kebebasan akademik, berbahaya bagi kehidupan kampus dan demokrasi.