maaf email atau password anda salah


Korupsi Makin Terang-terangan, Vonis Makin Ringan

Jumlah kasus korupsi naik dari tahun ke tahun. Hukumannya makin ringan.

arsip tempo : 172931280816.

Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo. tempo : 172931280816.

PARA koruptor makin dimanjakan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Mereka makin leluasa menilap uang negara. Setelah ketahuan pun, vonisnya ringan. Laporan Indonesia Corruption Watch menunjukkan, pada 2023, dari 1.718 terdakwa korupsi, hukumannya rata-rata 3 tahun 4 bulan penjara.

Denda untuk para koruptor juga rendah. ICW menghitung rata-rata denda untuk koruptor hanya Rp 180 juta. Sebanyak 48 koruptor bebas dan 11 terdakwa lepas karena jaksa salah memakai pasal tuntutan. Padahal nilai uang yang terbukti dikorupsi mencapai Rp 28,4 triliun pada 2023 dan Rp 42,7 triliun tahun sebelumnya.

Soal denda memang bikin miris. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi hanya mengatur denda maksimal Rp 1 miliar, berapa pun nilai korupsinya. Sementara itu, hukuman bui bervariasi, dari 1 tahun penjara hingga hukuman mati.

Lembeknya hukum dan pertimbangan hakim yang menjatuhkan vonis rendah membuat pemberantasan korupsi tak memberikan efek jera. Pada 2019, jumlah kasus korupsi sebanyak 271 perkara, sedangkan pada 2023 melonjak menjadi 791, dengan kenaikan kasus korupsi rata-rata 22 persen.

Selain kerugian negara yang jomplang dengan denda, biaya penanganan kasus korupsi dari penyelidikan hingga tuntas pun tak sedikit. Di Kejaksaan Agung, penanganan satu perkara menghabiskan Rp 200 juta, sementara di Komisi Pemberantasan Korupsi rata-rata Rp 1 miliar per kasus. Maka, jika tahun lalu ada 791 kasus, KPK menghabiskan biaya Rp 791 miliar untuk menangani korupsi.

Dengan angka-angka itu, tak mengherankan jika indeks persepsi korupsi Indonesia tahun lalu anjlok ke posisi 115 dari sebelumnya 110. Pemberantasan korupsi tidak efektif membuat kapok dan tak efisien karena jumlah pengembalian uang kerugian negara jauh lebih kecil dibanding biayanya.

Meski begitu, bukan berarti kita menyerah memberantas korupsi. Pangkal persoalan korupsi meruyak adalah aturan dan kewenangan lembaga yang menanganinya dipangkas. Presiden Jokowi merevisi Undang-Undang KPK sehingga lembaga ini tak lagi independen memberantas korupsi. Dengan berada di bawah presiden, KPK jadi politis dan tebang pilih menangani perkara korupsi.

Kejaksaan dan kepolisian—dua lembaga yang sejak dulu tak bisa diharapkan memberantas korupsi sehingga KPK dibentuk—malah acap diberitakan memain-mainkan perkara. Teror polisi terhadap Kejaksaan Agung yang sedang menangani korupsi timah menunjukkan aparat penegak hukum tak kompak dalam memberantas korupsi.

Akibatnya, para politikus—profesi paling banyak menjadi terdakwa—merapat kepada penguasa agar selamat setelah melakukan korupsi. Para penegak hukum umumnya agresif menangani korupsi bagi mereka yang jauh dari kekuasaan. Tak mengherankan jika publik memiliki persepsi korupsi makin terang-terangan. Indeks perilaku antikorupsi dari Badan Pusat Statistik menunjukkan penurunan dari 3,9 menjadi 3,8 dari skala 1-5.

Karena problemnya adalah kebijakan, memberantas korupsi mesti dimulai dari tekad politik penguasa. Korupsi adalah kejahatan luar biasa karena merugikan banyak orang. Tanpa hukum tegas dalam memberikan efek jera, korupsi akan meruyak sampai kapan pun. Sayangnya, kita tak melihat tekad itu dalam pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto, yang memilih menteri berdasarkan bagi-bagi kuasa semata.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 19 Oktober 2024

  • 18 Oktober 2024

  • 17 Oktober 2024

  • 16 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan