maaf email atau password anda salah


Asal Sangkal Bahaya Deflasi Beruntun

Indonesia mengalami deflasi lima bulan beruntun. Salah urus bisa berujung depresi ekonomi.  

arsip tempo : 172848686063.

Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko. tempo : 172848686063.

RESPONS buruk pemerintah terhadap potensi bahaya yang timbul dari deflasi lima bulan berturut-turut bisa membahayakan perekonomian kita. Alih-alih mencari akar masalahnya, para menteri Presiden Joko Widodo sibuk menyangkal dengan mengatakan kondisi masih baik-baik saja.

Badan Pusat Statistik mengumumkan deflasi pada September 2024 mencapai -0,12 persen—lebih dalam dibanding pada Agustus 2024 yang cuma -0,03 persen. Deflasi tahun ini belum kunjung berbalik sejak pertama kali terjadi pada Mei lalu, yang mencapai -0,03 persen. 

Namun deflasi beruntun yang semestinya menjadi alarm pengingat justru dianggap biasa oleh pengambil kebijakan ekonomi. Bagi mereka, deflasi yang terjadi dalam sistem ekonomi menjadi kondisi yang sederhana, yang di dalamnya harga-harga barang sedang turun. Kemudian masyarakat dapat mengakses barang-barang tersebut dengan leluasa, yang sepintas menguntungkan konsumen.  

Indikasi respons buruk bisa terlihat dari pernyataan para menteri ekonomi Jokowi. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan tak suka terhadap deflasi. Sebab, hal itu berarti merugikan pedagang, sektor yang ia tangani. Menurut Zulkifli, deflasi membuat pedagang—juga petani—tak bisa menikmati harga secara optimal. 

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita juga mengatakan tak nyaman terhadap deflasi, sambil menyalahkan membeludaknya barang impor yang membuat pasokan berlebih. Barang-barang produksi dalam negeri kalah bersaing, yang kemudian menimbulkan inflasi.

Tanggapan paling buruk justru datang dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang merasa bangga atas deflasi yang terjadi dalam lima bulan beruntun. Dia beralasan deflasi tersebut positif karena yang turun adalah harga bahan pangan bergejolak, seperti cabai, telur, dan daging. Artinya, harga pangan sedang turun. Daya beli masyarakat terjaga untuk mengakses kebutuhan sehari-hari. Dengan argumentasi ini, Sri Mulyani ingin membantah anggapan orang-orang yang menyebutkan ekonomi sedang tidak baik-baik saja dan daya beli masyarakat sedang turun. 

Namun dia tidak menjelaskan angka-angka tersebut secara adil. Pada September lalu deflasi juga terjadi di sektor transportasi (-0,16 persen) serta informasi dan jasa keuangan (-0,01 persen). Pada Agustus, deflasi terjadi di sektor informasi (-0,02 persen). Bahkan, pada Mei 2024, deflasi terjadi di sektor pakaian dan alas kaki (-0,04 persen), transportasi (-0,36 persen), serta informasi, komunikasi, dan jasa keuangan (-0,05 persen).

Kemudian, disandingkan dengan data lain, tampak jelas kesejahteraan masyarakat sedang tergerus, terutama kelompok menengah. Menurut BPS, proporsi kelas menengah pada 2024 tinggal 17,13 persen, anjlok jauh dibanding angka pada 2019 yang masih 21,45 persen. Bukan karena naik kelas, justru anjlok ke kelas menengah rentan. Proporsi kelompok ini naik dari 48,2 persen pada 2019 menjadi 49,22 persen pada 2024. 

Bahkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dari Survei Konsumen Bank Indonesia, yang sering dipakai pemerintah untuk dijadikan bumper bahwa daya beli masih baik-baik saja, juga menunjukkan penurunan. IKK pada September 2024 turun di level 123,5 dari sebelumnya 124,4 pada Agustus 2024, kendati angka lebih dari 100 masih menunjukkan optimisme. 

Para menteri ekonomi Jokowi lupa bahwa, jika melorotnya daya beli masyarakat berlangsung lama dan bertambah parah, hal itu justru akan lebih berbahaya ketimbang inflasi—yang selama ini diusahakan pemerintah di angka lebih-kurang 3 persen. Sebab, dalam kondisi deflasi, masyarakat akan menahan belanja, berharap terus terjadi penurunan harga. 

Selanjutnya, deflasi berdampak beban utang menjadi lebih berat karena meningkatnya nilai rill utang. Peminjam harus membayar kembali utangnya dengan uang yang lebih berharga secara riil—kondisi yang berbahaya bagi negara seperti Indonesia, yang memiliki utang swasta dan utang publik besar. 

Deflasi juga akan menimbulkan masalah bagi perusahaan dalam urusan upah tenaga kerja. Upah cenderung susah turun pada saat industri menghadapi penurunan harga dan pendapatan. 

Jika akumulasi persoalan tersebut terus terjadi, perekonomian kita mesti siap menyongsong terjadinya resesi atau depresi ekonomi. Jika nanti Indonesia sampai ke kondisi buruk, yang paling bertanggung jawab adalah para menteri ekonomi Jokowi.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 9 Oktober 2024

  • 8 Oktober 2024

  • 7 Oktober 2024

  • 6 Oktober 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan